Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti
Era milenial adalah era berjayanya para pemuda, katanya. Mereka bisa berekspresi sesuka hati mereka. Teknologi, sosial budaya, dan seabrek kegiatan bakal dijabanin oleh mereka yang berambisi menaklukkan dunia. Tak terlepas dari sikap pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Hingga muncullah istilah bucin yakni singkatan dari budak cinta. Mereka yang terlanjur menjadi bucin akan terperdaya dengan tipu-tipu muslihat syaitan. Apalagi jika mereka tidak memiliki benteng untuk menjaga iffah dan izzahnya. Namun, jika mereka memiliki tameng maka mereka akan menjaga kehormatannya.
Solusi yang ditawarkan agar para bucin ini bisa menjaga kehormatannya dengan ridho Allah adalah dengan cara menikah. Namun perlu dipastikan pula jika jalan nikah ini memang benar-benar telah dipersiapkan. Bukan hanya ingin menghalalkan namun memang karena keimanannya untuk bisa menjaga kehormatannya.
Nikah muda memang dibolehkan, tapi apakah fiqih tentang pernikahan sudah dipelajari? Misal pertanyaan di bawah ini, bisakah mereka menjawab?
1. Bolehkah membatalkan lamaran yang sudah diterima?
2. Apakah sepupu boleh menjadi wali?
3. Siapakah yang mestinya mengadakan walimah, keluarga suami atau istri?
4. Jika seorang suami mengatakan kepada istrinya, “silahkan pulang ke rumah orangtuamu” apakah sudah jatuh talak?
5. Bolehkah istri yang berada dalam masa iddah bekerja di luar rumah?
6. Adakah anjuran shalat dua rakaat setelah akad?
7. Apa perbedaan talak ba’in dan talak raj’i?
Jika memang cukup ilmu dan siap menanggung tanggungjawab sebagai suami-istri, maka segera laksanakan pernikahan. Tapi jika memang belum, maka segera persiapkan bekal.
Sebab, pernikahan dalam Islam meski hukumnya Sunnah namun karena banyak Fadhilah ( keutamaan) di dalamnya hingga disebut pemenuhan separuh agama. Untuk itulah dibutuhkan ilmu yang cukup untuk menjadikannya benar-benar bernilai ibadah.
Menikah muda bukan aib juga bukan halangan, sebagaimana yang dinarasikan kaum sekuler hari ini. Mereka menutupi kebaikan pernikahan dengan fakta-fakta bohong. Misal jika menikah muda keluarga akan berantakan, padahal faktor penyebab berantakan jika digali lebih dalam bukan sebab dari syariat menikah itu. Namun dari sistem ekonomi,sosial, pendidikan dan keamanan yang buruk.
Negara gagal mengupayakan terterapkan ya aspek penting diatas. Sebab orientasi negara bukan penerap amanah syariat, namun lebih kepada regulator kebijakan yang lebih condong kepada pihak yang berseberangan dengan syariat.
Akibatnya, pernikahan paling rentan menerima imbasnya. Bukan syariat yang salah, namun sebab Islam kaffah tak diterapkan, maka kesempitan hiduplah yang didapat. Wallahu a'lam Bish-Showwab.
Tags
Opini