Oleh: Indriyatul Munawaroh
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia agar tetap bisa melangsungkan aktivitas hidupnya. Berneka ragam kresi pangan mulai bermunculan. Usaha di bidang kuliner pun merebak bak jamur di kawasan lembab. Maka di era modern saat ini banyak sekali pangan yang beredar dengan berbagai macam bahan mulai dari yang halal sampai haram.
Kebutuhan akan jaminan halal bagi penduduk mayoritas muslim terbesar di Indonesia pun sudah menjadi keharusan yang dilakukan oleh pemerintah. Selama ini jaminan halal yang dikelola oleh MUI berpindah kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang kini resmi mengelola Jaminan Produk Halal (JPH).
BPJPH mewajibkan seluruh pelaku usaha (produsen) untuk menyertifikasi halal produknya terhitung bulan oktober tahun lalu. Kewajiban yang tertuang dalam pasal 4 Undang-Undang (UU) JPH nomor 33 tahun 2014 ini berlaku untuk semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia.
Pendangan yang menonjol dari pengalihan tugas ini adalah akan semakin sulitnya birokrasi pengurusan sertifikasi halal. Sehingga timbullah masalah-masalah baru yang dianggap menghambat perkembangan perekonomian di Indonesia, khususnya dalam bidang Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di bidang kuliner.
Oleh sebab itu, jaminan konsumen untuk mendapatkan produk UMKM yang tersertifikasi menjadi salah satu hal yang diusulkan masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Sebagaimana pernyataan Menteri Koperasi dan UMKM Masuki yang dikutip dari kompas.com (01/02) bahwa Saat ini, UMKM sulit menyertakan sertifikasi BPOM maupun halal pada produknya. Pasalnya, sertifikasi itu diperuntukkan ke masing-masing produk.
"Misalnya warung Padang, sertifikat halalnya mesti satu per satu produk. Katakanlah dia punya 20 menu, satu menu biayanya Rp 10 juta. Satu restoran Padang untuk sertifikasi bisa Rp 80 juta. Ini kan menghambat," ujar Teten.
Kementeriannya pun mengusulkan agar sertifikasi bukan lagi pada produk jadi, namun pada bahan bakunya. Dengan demikian, sertifikasi tidak dibebankan kepada pelaku UMKM, namun kepada produsen bahan baku. Dengan demikian, lembaga terkait harus rajin melakukan cek produk. Apabila ditemukan ada produk yang bahan bakunya tidak tersertifikasi, maka akan ditindak tegas.
Maka tampaklah jaminan halal pada UMKM akan dihapus dengan alasan menggenjot produktifitas dan kemudahan. Mencukupkan jaminan halal di tingkat produsen saja dan mengabaikan jaminan halal di tingkat pengolahan (produksi) dan distribusi.
Masyarakat Butuh Jaminan Halal, Bukan Sertifikat Halal
Menegaskan bahwa sertifikasi halal adalah regulasi yg lahir karena desakan publik semata, tidak sejalan dengan misi negara sekuler liberal sehingga rawan dimanipulasi demi tercapainya kepentingan materialistik, yaitu menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya pada produk secara bebas, tanpa aturan.
Inilah kapitalisasi. Harusnya produk beredar itu wajib halal, bukan wajib bersertifikat halal. Tapi akibat sistem kapitalisme, di mana tidak semua pelaku usaha paham halal-haram dan ketidakpastian ketentuan halal di masyarakat, akhirnya sertifikat halal menjadi solusi pragmatis.
Sebagai seorang muslim, sudut pandang kita dalam masalah ini tentu dikembalikan bagaimana islam mengatur tentang makanan yang dikonsumsi oleh individu. Sebagaimana yang tercantum dalam Surat Al Maidah ayat 88 “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thoyyib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”.
Permasalahan ini menjadi sebuah tanggungjawab negara untuk menjamin kehalalan dan kethoyyiban makanan yang dikonsumsi rakyatnya. Negara harus mewaspadai praktik kapitalis yang hanya melihat kegiatan jual beli dari sisi keuntungan semata.Tentu saja produk makanan apapun yang beredar di pasaran tetap harus diawasi dan jika itu membahayakan harus secepatnya ditarik dari peredaran dan menghentikan aktivitas produksi dan distribusinya.