Oleh : Rantika Nur Asyifa
Rakyat berharap 2020 menjadi tahun perubahan. Perubahan yang diinginkan dan diharapkan sudah pasti menuju kemajuan dalam segala aspek bidang kehidupan. Namun, lain hal nya dengan perubahan yang akan dirasakan oleh para guru honorer, bukannya menuju kemajuan atau penghidupan yang layak tetapi malah sebaliknya.
Nasib para guru honorer sudah diambang ketidakpastian, terlebih lagi saat ini Komisi II DPR RI bersama Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) sepakat untuk memastikan tidak ada lagi status pegawai yang bekerja di instansi pemerintah selain PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Dengan demikian ke depannya secara bertahap tidak ada lagi jenis pegawai tetap, pegawai tidak tetap, tenaga honorer, dan lainnya.” Jelas Komisi II DPR. (CNBC Indonesia, 20/01/20).
Selain itu, tenaga honorer dianggap menjadi beban untuk pemerintah pusat sebagaimana yang dikatakan oleh Tjahjo Kumolo selaku Menteri PAN-RB. Ia mengatakan kehadiran tenaga honorer lebih banyak di pemda dan biasanya tidak direncanakan dengan penganggaran yang baik, sehingga banyak kepala daerah yang meminta anggaran gaji tenaga honorer dipenuhi oleh pusat.
“ Kalau daerah masih menggunakan honorer silahkan, tapi pakai dana APBD, jangan pakai pusat. Semuanya harus jelas anggarannya,” kata Tjahjo saat dihubungi detik.com. (detikfinance, 25/01/20).
Guru honorer yang sekarangan dianggap sebagai beban oleh pemerintah, berbanding terbalik ketika awal rekrutmen. Kehadiran tenaga honorer dianggap upaya mengurangi tingkat pengangguran sekaligus pemerintah mendapatkan tenaga yang mau dibayar rendah (sesuai anggaran Negara). Pemerintah memandang bahwa rakyat hanyalah permasalahan ekonomi, ketika merugikan Negara maka akan dianggap sebagai beban dan problematika rakyat bukanlah wujud tanggung jawab Negara untuk melayani dan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyat.
Kenyataan pahit ini sungguh sangat jauh dari janji-janji yang disampaikan pemerintahan Joko Widodo untuk memberantas kemiskinan. Melambungnya ekonomi bagai roket yang meluncur ke langit hanyalah hayalan belaka. Kini, pada kenyataannya begitu banyak kebijakan pemerintah yang semakin menyengsarakan rakyat dan bukan mensejahterakan rakyat, seperti dicabutnya beberapa subsidi lain selain upah guru honorer yaitu gas LPG 3 kg, subsidi untuk pelajar tuna netra, kenaikan tarif listrik, kenaikan BPJS Kesehatan, dll.
Lagi-lagi dalam sistem sekuler, rakyatlah yang dijadikan pihak yang paling mudah menjadi pundak limpahan beban atas ketidakmampuan penguasa dalam menangani permasalahan yang ada. Tidak hanya dalam menangani masalah pekerjaan, tetapi juga hampir di segala sektor yang menunjang kelangsungan hidup rakyat. Sungguh malang nasib rakyat, seharusnya rakyat mendapatkan subsidi akan tetapi subsidi itu kini ditarik dan dicabut dengan alasan dana subsidi akan dialihkan untuk pembangunan.
Keadilan yang disuarakan oleh pemerintah hanyalah isapan jempol belaka dan justru keadaan sebenarnya menunjukkan kebalikannya. Keadilan tidak akan terwujud ketika suatu perkara ditempatkan pada tempat yang salah atau ditempuh dengan jalan yang salah. Kezaliman yang kini tengah dirasakan oleh para guru honorer akan terus terjadi selama belum ada sistem yang mampu memberikan keadilan, tidak hanya kepada guru honorer saja melainkan seluruh aspek pemenuh kebutuhan rakyat.
Sudah saatnya rakyat dan pemerintah sadar bahwa sistem islam yang berasal dari Allah yang sanggup mencapai realisasi paripurna dan mampu mewujudkan cita-cita Negara. Karena itu siapapun yang merindukan terwujudnya keadilan, hendaknya saling bahu-membahu memperjuangkan penerapan syariah islam secara menyeluruh. Wallahu a’lam
Bogor, 01 Februari 2020