Oleh: Nafisah Az-zahrah (Muslimah Pesuli Umat)
Di zaman sekarang tak sulit bagi kita untuk mencicipi kuliner dari berbagai negara. Tak harus berkunjung langsung ke sebuah negara, dengan mudah kita akan menjumpai berbagai bisnis kuliner yang kian menjamur. Lengkapnya hidangan nusantara maupun mancanegara telah ada dimana-mana. Bahkan untuk membuatnya sendiri, berbagai tutorial sudah tersedia di internet.
Sebagai manusia yang diberi potensi naluri dan kebutihan jasmani, maka wajar bagi kita untuk memenuhinya agar bisa menghilangkan kegelisahan dan menghindari kematian. Sebagai kebutuhan mendasar, jenis makanan terus berkembang dengan semakin kompleksnya peralatan dan sumber bahan pangan. Sehingga wujud maknanan tidak lagi sekali olah, yang sampai di tangan kita mungkin sudah melalui berkali-kali masa olah. Dengan kemajuan ilmu pangan, hal tersebut dilakukan untuk memperpanjang masa awet dan perluasan distribusinya. Kondisi ini membuka peluang besar untuk para pembisnis.
Dari urgensi kebutuhan makanan tersebut, peluang terhadap bisnis kuliner sangat menjanjikan. Di era kapitalis sekarang, sangat memungkinkan orientasi manusia tak jauh dari nilai meterial. Produsen makanan akan berupaya mendapatkan konsumen sebanyak-banyaknya dengan kreatifitas produknya. Entah apakah produk tersebut halal dan tayib, atau hanya halal saja atau bahkan yang penting pas di lidah. Inilah persoalan baru yang dihadapi kaum muslimin saat ini, juga bebarengan dengan kewajiban pemerintah mencantumkan label halal produk, tanpa memperhatikan prosesnya.
Dari sisi penguasa memberikan kelonggaran sertifikat halal pada proses terakhir saja, tanpa menjamin proses bahan-banyannya, untuk mendongkrak konsumen yang mayoritas muslim. Maka tantangan kekhawatiran nanti tidak hanya pada produk tanpa label halal saja, tapi yang sudah memiliki label halalpun belum tentu menjamin kehalalan produk.
Dari segi individunya sendiri, masih banyak yang tidak memperhatikan ketayyiban makanan. Mengikuti selera lidah dan tren kuliner yang lebih diutamakan. Sebetulnya perilaku tersebut muncul ketika ada stimulus dari luar. Dimana berbagai restoran, tempat makan, iklan serta promo makanan yang mempermudah akses kita, untuk mencicipi berbagai panganan saat ini.
Apa yang timbul dari berbagai makanan yang tidak tayyib tentu gangguan kesehatan, baik yang berdampak pendek maupun panjang. Sehingga tidak heran kalau sekarang kita menjumpai berbagai penyakit yang timbul dari pola makan yang tidak baik.
Ideologi kapitalis saat ini, secara langsung memberikan peluang kepada pemilik usaha makanan untuk bermodal sekecil-kecilnya dan meraih untung sebesar-besarnya. Dengan bahan sembarangan bisa menjadi ide dagangan, dengan kesulitan ekonomi, sebagian pedagang kecil berjualan asal-asalan. Dari segi individu sendiri, pemenuhan kebutuhan jasmani tidak berorientasi pada penjagaan kesehatan. Komplek sudah persoalan perut kini, ditambah negara memberi kelonggaran jaminan kehalalan.
Adanya berbagai jenis makanan sebagai pemuas nafsu, merupakan sebuah keniscayaan, sebab faham kebebasan sebagai produk ideologi kapitalisme telah memangkas batasan-batasan sebagai bentuk keterikatan dalam hukum syariat.
Kondisi tersebut sangat berkebalikan dengan pandangan ideologi islam. Dimana, syariat dijadikan landasan kehidupan, pun terhadap urusan makanan. Tujuan makan adalah untuk beribadah kepada Allah, berlindung dari perbuatan mendzalimi diri sendiri, tentu makanan yang akan dikonsumsi selaras dengan syara’ yaitu halal dan tayyib. Bersamaan dengan hal ini, negara mengambil peran dalam pendistribusian bahan makanan. Para pedagang makananpun dalam upaya beribadah, akan menyediakan makanan yang baik dan halal. Sistem saling mendukung tersebut tiada terwujud melainkan ada komando sentral khalifah sebagai pemimpin satu-satunya umat muslim dalam sistem khilafah islamiyah.
Tags
Opini