Oleh: Eqhalifha Murad
Tulisan ini bukan mau membahas masalah banjir di musim hujan saat ini, pun bukan juga mengenai run way, landasan pacu bandara yang mengalami kebanjiran. Corona? Iya, tapi bukan tentang pencetusnya dan keterangan ilmiah serta penelitian atau riset yang berhubungan dengannya. Tapi lebih kepada sikap politis ideologis dalam menyikapi segala permasalahan dan kebijakan yang ditimbulkannya.
Berikut pernyataan dari Presiden Direkrur Lion Air grup mengenai Batik Airline yang mengoperasikan jenis pesawat Airbus seri A330 yang berhasil mengevakuasi 238 WNI dari Wuhan, China, wilayah endemik penyebaran wabah penyakit yang disebabkan oleh virus Corona. Sepertinya kami ini dapat berkah, ujarnya, rasa syukur dan terimakasih kepada pemerintah yang telah memberikan kepercayaan dalam misi kemanusiaan, ini adalah sebuah apresiasi buat kami bahwa kami adalah yang mampu menjalankan misi ini, pungkasnya. (inews.id 16/02/2020).
Sebelumnya Menhub, Budi Karya Sumadi mengatakan, Kemenhub juga mensupport , penerbangan kami kawal sesuai peraturan ICAO (International Civil Aviation Organization) dan peraturan yang berkaitan dengan safety dan security . WNI yang dievakuasi termasuk kru pesawat, serta tim medis yang ikut misi tersebut sebelumnya dikarantina terlebih dahulu di pulau Natuna selama 14 hari. TNI pun tidak ketinggalan siap siaga dengan pesawat Herculesnya melakukan misi ini.(Kompas.com, 1/2/2020)
Upaya evakuasi ini juga dilakukan karena desakan dari berbagai pihak yang tidak ingin WNI yang berada di Wuhan seperti ditelantarkan oleh pemerintah Indonesia, sementara negara-negara lain telah mengevakuasi warganya dari jauh hari. Sedangkan alasan kenapa harus Lion Air Grup yang ditunjuk dalam hal ini Batik Air, karena memang hanya maskapai inilah yang memiliki izin penerbangan reguler yang rutenya langsung ke Wuhan.
Penolakanpun juga terjadi dari berbagai pihak yang khawatir akan terjadi penyebaran virus yang berasal dari para WNI ini nanti. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa penulis sampaikan terkait hal ini : pertama, dalam SOP penerbangan sudah ada peraturan yang baku jika kasus endemi melanda. Tidak mudah bagi seorang kru pesawat untuk mengambil amanah yang dipikulkan kepadanya, tanpa adanya embel-embel kompensasi sesudahnya yang melebihi kebiasaan saat menjalankan tugas reguler.
Merekapun berhak untuk menolak dengan alasan tidak bisa menjalankan tugas dengan semestinya jika amanah itu tetap dilakukan. Tindakan yang bisa dikatakan terlalu nekat atau kalau tidak bisa tidak dikatakan bak pahlawan kesiangan. Tindakan heroik sekalipun tanpa adanya pertimbangan dalam kaca mata syari'at juga tidak diperbolehkan. Selaku muslim diharuskan untuk menjauhi hal yang bisa mencelakakan diri dan orang lain.
Kedua, suatu tindakan hanya karena berdasarkan hawa nafsu dan sikap membebek kepada negara lain, tidak mau terikat dengan syari'ah dan prinsip akidah, bahwa takdir yang Maha Menciptakan Penyakit itu sudah ditentukan. Ikhtiar untuk lari darinya ke takdir yang lain tetap harus sesuai SOP yang Maha Pengatur. Ratusan abad lalu Rasulullah sudah memerintahkan: "Jika kalian mendengar kabar wabah melanda suatu negeri maka jangan memasukinya. Dan jika kalian berada di dalamnya jangan pula kalian keluar untuk lari darinya." ( HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun mengenai perkataan beliau tentang jangan mendekati orang yang berpenyakit kusta dan berusaha menjauh darinya, ini sudah dibatasi oleh hadist sebelumnya. Sehingga ini tidak bisa diambil pegangan untuk menjauhkan WNI yang berada di Wuhan dari pasien Corona. Ketiga: Lebih mulia mana menjaga orang kebanyakan dari orang yang sedikit tapi akan terjadi kemungkinan membahayakan orang banyak.
Meminjam istilah jangan karena nila setitik rusak pula susu sebelanga, bukan mengecilkan arti WNI disana saat itu atau bermaksud menelantarkan mereka, toh di sana mereka juga dikarantina dan pemerintah China menjamin keselamatan dan keamanan mereka. Selebihnya keimanan kita diuji disini, bagaimana kita menerima takdir dan bersabar karenanya.
Keempat, jika mau mengambil komparasi, misalnya jika terjadi situasi darurat dalam suatu kecelakaan pesawat. Orang pertama yang harus dievakuasi oleh awak kabin sesaat setelah pesawat melakukan pendaratan darurat di darat atau di air adalah menurut urutannya. Mulai dari penumpang dewasa terlebih dahulu, laki-laki, sehat, wanita, ibu hamil, manula, penumpang sakit baru terakhir anak-anak.
Apakah peraturan ini tidak manusiawi, tentu saja tidak bisa dikatakan begitu, karena dengan pertimbangan bahwa yang di prioritaskan untuk dievakuasi terlebih dahulu adalah orang yang mempunyai potensi dan tenaga yang lebih banyak dalam melakukan survival, kemampuan bertahan di alam dan mampu membantu proses evakuasi selanjutnya dalam waktu singkat mengingat sewaktu-waktu pesawat bisa saja segera meledak dan terbakar.
Pun dalam kondisi darurat di mana dalam kabin pesawat mengalami dekompresi, yang harus memakai masker oksigen terlebih dahulu adalah seorang ibu baru kemudian bayinya, karena kalau bayinya yang didahulukan besar kemungkinan ibunya mati terlebih dahulu, sehingga tidak bisa membantu bayinya, jadi aturan skala prioritas.
Kelima, masih ada misi kemanusiaan lain yang lebih urgent dan mendesak seperti kewajiban melakukan jihad membantu saudara yang diperangi di negerinya. Keenam, negara melakukan tindakan preventif terhadap wabah penyakit dengan cara menjadikan Islam sebagai landasan berpikir dan bertindak, mulai dari menjaga hal dari yang diharamkan baik terhadap pola hidup, makanan, pergaulan, politik, ideologi dan lainnya. Islam sebagai sistem hidup yang Rahmatan Lil'alamin, rahmat bagi sekalian alam. Wallahu'alam.
*(Pengamat penerbangan, eks stewardess, aktivis pemerhati sosial)
Tags
Opini