Layakkah Indonesia Menjadi Negara Maju, Di Tengan Ekonomi Yang Kian Lesu?



(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)

Baru-baru ini, Amerika Serikat lewat Kantor Perwakilan Perdagangan (Office of The Trade Representative) resmi mengeluarkan Indonesia dari status negara berkembang untuk kemudian naik kelas menjadi negara maju. Keputusan tersebut diambil oleh pemerintahan Donald Trump guna mengurangi negara-negara yang selama ini mendapatkan perlakuan istimewa karena status berkembangnya. Terutama, perlakuan istimewa dari sisi perdagangan di pasar global. (www.kaskus.co.id, 23/2/2020)

Penetapan Indonesia sebagai negara maju merupakan kebijakan sepihak AS. WTO (World Trade Organitation) milik PBB sendiri tidak memiliki definisi resmi untuk mengategorikan sebuah negara sebagai negara maju atau berkembang. Di dalam aturan WTO, penentuan sebagai negara maju atau berkembang ditentukan sendiri oleh negara bersangkutan. Namun, tak serta merta disetujui oleh semua negara-negara anggota WTO.

Dalam praktiknya, negara pemberi preferensilah (negara besar) yang bisa memutuskan apakah negara berkembang akan mendapatkan manfaat dari preferensi tersebut. Maka sikap AS menunjukkan kuatnya dominasi Negeri Paman Sam ini di WTO. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keberadaan organisasi-organisasi internasional seperti PBB dan semua sayapnya merupakan alat bagi AS untuk menguasai dunia dan mengaturnya.

Kalau kita melihat fakta sebagai rakyat Indonesia, tentu kita bertanya – tanya. Kenapa kita bisa menjadi negara maju di saat kondisi ekonomi semakin lesu. Kita merasakan sendiri beban ekonomi yang kian berat. Utang luar negeri menggunung, aneka subsidi dicabut, biaya hidup meningkat, sementara lapangan kerja kian sempit karena badai PHK melanda banyak perusahaan. Kondisi Indonesia saat ini tak mencerminkan gambaran negara maju sama sekali.

Dengan pencoretan dari negara berkembang, Indonesia akan kehilangan beberapa fasilitas negara berkembang. Pertama, Indonesia tidak akan menerima fasilitas Official Development Assistance (ODA). Fasilitas ini merupakan alternatif pembiayaan dari eksternal untuk pembangunan sosial dan ekonomi dengan bunga rendah. Penghilangan fasilitas ini akan berdampak pada perdagangan karena Indonesia akan menjadi subjek pengenaan tarif lebih tinggi.

Kedua, Indonesia akan kehilangan Generalized System of Preferences (GSP). GSP adalah fasilitas bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima yang diberikan oleh negara maju demi membantu ekonomi negara berkembang. Saat ini terdapat 3.544 produk Indonesia yang menikmati fasilitas GSP (cnnindonesia.com, 24/02/2020).

Ketika tidak menikmati GSP, Indonesia akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk. Ekspor tujuan AS terancam turun. Ujung-ujungnya, akan memperlebar defisit neraca dagang. Padahal Indonesia telah mencatat defisit neraca perdagangan pada Januari 2020 sebesar US$864 juta.

Dengan labeling Indonesia menjadi negara maju, justru defisit perdagangan Indonesia sudah di depan mata. Lalu, layakkah kita berbangga? Pemerintah kita harusnya peka dengan labelling ini serta dampaknya. Jika ingin menjadi negara maju yang hakiki, Indonesia bersama negeri muslim lainnya harus menerapkan ideologi yang sahih yakni Islam. Yaitu dengan mewujudkan negara yang menerapkan ideologi Islam yakni khilafah. Khilafah akan mengayomi kita, bukan mengeksploitasi. Itulah sebabnya, di masa khilafah, wilayah Afrika yang biasanya identik dengan kemiskinan bisa menjadi sangat kaya dan maju. Wallhu a’lam bi ash showab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak