Oleh: Neng Ipeh
(Aktivis BMI Community Cirebon)
Kekhawatiran masyarakat Indonesia terhadap merebaknya infeksi virus corona membuat masker banyak diburu. Bahkan, dilaporkan beberapa pedagang menjualnya dengan harga yang tak masuk akal. Stok yang semakin menipis membuat harga masker naik berkali-kali lipat.
Ada empat jenis masker yang di jual apotek-apotek, yaitu masker biasa (surgical mask), masker N95, masker karbon, dan masker hijab. Hampir seluruh jenis masker ini alami kenaikan harga. Tak hanya di apotek, bahkan harga di marketplace pun mengalami kenaikan yang tidak terkendali. Fakta tersebut bahkan kini menjadi sorotan media asing.
Straits Times menurunkan laporan mengenai ketidakwajaran harga jual masker di Indonesia dengan tajuk "Coronavirus: Price of a box of N95 masks cost more than a gram of gold in Indonesia". Media berbasis di Singapura ini menyebut masker N95 dijual dengan harga yang tidak masuk akal.
"Harga satu kardus N95 berisi 20 masker di Pasar Pramuka, yang merupakan pasar jual beli bahan farmasi dan obat-obatan terbesar di Jakarta, telah meningkat tujuh kali lipat menjadi Rp1,5 juta," demikian laporan media tersebut. (m.pikiran-rakyat.com/12/02/2020)
Di samping itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun telah dengan tajam mengkritik pemerintah karena tak dapat melakukan apa-apa dalam situasi ini. (detik.com/12/02/2020)
Dalam dunia bisnis, ada satu mitos bahaya yang terkadang masih dipraktikkan yaitu bisnis tanpa moral (amoral). Richard De George menyebut pandangan ini dengan the myth of morl business. Bisnis adalah bisnis, tidak perlu dicampur dengan etika. Karena bisnis tidak akan sukses jika diiringi dengan etika. Dengan demikian, etika hanya dapat dipakai apabila menunjang dan menguntungkan. Mitos ini melihat bahwa jika merugikan, maka etika tidak perlu dilakukan. Bisnis tidak memerlukan moral dan tidak memiliki tanggung jawab sosial. Sehingga wajarlah terjadi jika dalam bencana wabah yang seperti ini, masih ada manusia-manusia yang tetap mencari keuntungan tanpa ada batasan.
Dalam pandangan Islam, sesungguhnya setiap musibah, penyakit dan sebagainya, adalah pengingat betapa lemahnya manusia, dan betapa kuasanya Allah. Jika ditinjau lebih dalam lagi, tentu kondisi ini menyadarkan kita bahwa benarlah firman Allah Subhanahu wata'ala:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (TQS. Ar-Ruum: 41)
Islam memang telah memerintahkan kepada setiap orang untuk mempraktikkan gaya hidup sehat. Selain memakan makanan halal dan baik, kita juga diperintahkan untuk tidak berlebih-lebihan. Apalagi sampai memakan makanan yang sesungguhnya tak layak dimakan, seperti kelelawar.
Namun demikian, penguasa pun punya peran sentral untuk menjaga kesehatan warganya. Apalagi saat terjadi wabah penyakit menular. Tentu rakyat butuh perlindungan optimal dari penguasanya.
Boleh jadi, meski tidak kita harapkan, virus corona juga telah menjangkau negeri ini. Maka sudah selayaknya pemerintah mengusahakan secara maksimal agar wabah tersebut tidak menyebar dan menimbulkan kepanikan. Sebagaimana rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ
Siapa yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum Muslim, lalu dia tidak mempedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan mempedulikan kebutuhan dan kepentinganya (pada Hari Kiamat). (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Tags
Opini