Oleh : Ummu Tsaharo
Beberapa hari terakhir, terbongkarnya kasus/skandal korupsi makin mengerikan dan menyakitkan hati umat. Adanya kasus Jiwasraya, Asabri, Pelindo, proyek fiktif di Kemen PUPR, Suap di KPU yang libatkan partai penguasa, kasus di Garuda dan sebagainya.
Kasus Jiwasraya sudah bermula sejak tahun 2002. Mengalami kesulitan dan kemudian membukukan laba semu sejak 2006. Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna menuturkan, penyebab utama gagal bayarnya Jiwasraya adalah kesalahan mengelola investasi di dalam perusahaan. Jiwasraya kerap menaruh dana di saham-saham berkinerja buruk.
"Saham-saham yang berisiko ini mengakibatkan negative spread dan menimbulkan tekanan likuiditas pada PT Asuransi Jiwasraya yang berujung pada gagal bayar," kata Agung di BPK RI, Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Belum selesai kasus PT Asuransi Jiwasraya, penegak hukum kini harus bersiap menangani kasus yang diperkirakan tak kalah besar. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, ada informasi korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI).
Mahfud segera memanggil menteri keuangan (Menkeu) dan menteri BUMN untuk mengetahui lebih detail masalah yang tengah membelit ASABRI. Dia menegaskan, pemerintah dan aparat penegak hukum tidak boleh toleran terhadap kejahatan korupsi.
Apalagi, kata dia, ASABRI bertalian langsung dengan prajurit TNI dan anggota Polri yang setiap hari bekerja di lapangan. Dia pun memastikan, bila ada indikasi pelanggaran hukum dalam masalah yang membelit ASABRI, pihaknya langsung menyerahkan kepada penegak hukum.
Lain halnya dengan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Agung Firman Sampurna juga mengungkapkan adanya empat proyek di lingkungan Pelindo II merugikan negara lebih dari Rp6 triliun. Hal itu terungkap berdasarkan laporan hasil pemeriksaan.
"Maka ini wewenang ada di aparat penegak hukum," katanya usai menandatangani kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Menurut dia, empat proyek di Pelindo II yang merugikan negara itu yakni perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT), Terminal Peti Kemas Koja, proyek Kalibaru dan juga global bond.
Selain tiga kasus korupsi di atas, KPK juga menahan Agustiani Tio Fridelia setelah terjaring operasi tangkap tangan terkait kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji pada penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024.
Kasus dugaan suap yang menimpa Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan (WS), menyambung deretan kasus korupsi di lembaga Indonesia. Hal ini menunjukkan perilaku koruptif yang tidak hanya merusak demokrasi, tapi juga mengkhianati kedaulatan politik rakyat.
Dalam penanganan kasus di atas, KPK sebagai penegak hukum tindak pidana korupsi diharapkan menangani kasus itu. Lembaga antirasuah tersebut pun menyatakan siap jika ada permintaan pengusutan, dilengkapi dengan data-data dan informasi yang cukup untuk membuka dugaan kasus korupsi itu. ”Kami berencana mengumpulkan info dan meminta data kepada Pak Mahfud,” ungkap Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kemarin.
Mampukah kasus-kasus di atas diberantas dengan kerja KPK yang lebih berorientasi penindakan dan sanksi?
Korupsi di Indonesia telah berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang, korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi paling rendah. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin ditingkatkan oleh pihak yang berwenang.
Perkembangan korupsi juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Kenyataannya, hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan hasil memuaskan, terlihat dari peringkat dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia.
Sebenarnya pihak yang berwenang, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah berusaha melakukan kerja maksimal. Tetapi antara kerja yang harus digarap jauh lebih banyak dibandingkan dengan tenaga dan waktu yang dimiliki KPK. Selain hal di atas, penyebab utamanya adalah karena korupsi di lingkaran kekuasaan merupakan penyakit bawaan sistem sekuler dan ini mustahil diberantas dengan kerja lembaga semacam KPK.
Bagaimanapun, KPK dipastikan tidak akan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat dalam upaya memberantas korupsi. Hanya sedikit yang mampu terungkap ke permukaan, itupun dalam pelaksanaanya selama ini bisa dibilang masih tebang pilih, ada beberapa pihak yang masih kebal terhadap penyidikan KPK.
Lembaga ini pada dasarnya hanya berfungsi sebagai pemburu dan penangkap koruptor. Pelaku korupsi yang tertangkap hanya sebagian, yang kemudian dipidanakan atau maksimal cuma divonis dengan sanksi yang sangat ringan oleh lembaga peradilan. Bahkan banyak pelaku korupsi kelas kakap yang sekarang ini masih bebas berkeliaran di luar negeri. Sistem pencegahan (preventif) dan sistem efek jera pun juga tidak berjalan secara efektif. Padahal ini merupakan faktor penting dalam pemberantasan korupsi.
Berbagai upaya sebenarnya sudah ditempuh pemerintah, dari masa orde lama, orde baru sampai masa reformasi. Namun keberadaan lembaga yang dibentuk dalam kerjanya ternyata hanya sekedar formalitas dan tidak leluasa dalam bekerja. Munculnya KPK untuk pertama kalinya di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri. Alhasil, Korupsi di negeri ini masih saja menggurita, karena bentuk korupsi yang sistematis. Sedangkan solusi yang ditawarkan tidak sistematis.
Bagaimanakah sistem Islam memandang korupsi?
Sebagai agama yang sempurna dengan berbagai aspek yang telah diatur di dalamnya, Islam memberikan solusi terbaik dalam penanganan korupsi. Dalam sistem Islam, salah satu pilar penting pencegahan korupsi ialah dengan menggunakan sistem pengawasan yang maksimal. Hal ini teebagai dalam tiga pengawasan yaitu : pertama, pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua, pengawasan dari kelompok, dan ketiga, pengawasan oleh negara.
Dengan sistem pengawasan yang super ketat seperti tersebut di atas, tentu membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi. Setiap orang dengan keimanan dan ketaqwaan yang ada dalam hatinya, tergerak untuk melakukan dakwah amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.
Selain itu, juga perlu diberlakukannya seperangkat hukuman pidana yang keras. Ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Hal yang membedakan sistem Islam dengan sistem yang berlaku sekarang adalah adanya sistem sanksi yang berupa ta’zir bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri.
Di abad pertengahan, saat sistem Islam diterapkan, kesejahteraan para pegawai sangat diperhatikan oleh negara. Hal ini dilakukan dengan mencontoh sistem penggajian yang layak. Rasulullah SAW bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah. (HR. Abu Dawud). Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.
Untuk menghindari membengkaknya harta kekayaan para pegawai, sistem Islam juga melakukan penghitungan harta kekayaan. Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan. Beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.
Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan. (HR. Abu Dawud).
Dalam Islam, status pejabat maupun pegawai adalah ajir (pekerja), sedangkan majikannya (Musta’jir) adalah Negara yang di wakili oleh khalifah atau kepala Negara maupun penguasa selain khalifah, seperti Gubenur serta orang-orang yang di beri otoritas oleh mereka. Hak-hak dan kewajiban diantara Ajir dan Musta’jir diatur dengan akad Ijarah. Pendapatan yang di terima Ajir diluar gaji, salah satunya adalah yang berupa hadiah adalah perolehan yang di haramkan.
Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Sebagai contoh, keteladanan khalifah Umar Bin abdul aziz saat mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya ketika menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negeri ini.
Dengan mengikuti sistem Islam, pemberantasan korupsi pasti akan tuntas. Karena dalam sistem ini, semua komponen bergerak, dari mulai individu, masyarakat dan negara bekerja sama. Semua komponen ini bergerak dengan dasar keimanan dan ketaqwaan yang tinggi terhadap Allah Swt. Tak ada sedikitpun keraguan dalam menjadikan syariat Islam sebagai bagian dari upaya pengaturan kehidupan dunia dan akhirat.