Oleh: Fityah Sholihah
Kerukunan beragama itu fitrah.
Jengah mendengar berita pertikaian karena SARA, termasuk persoalan pertikaian antar agama (terlepas itu benar atau hoak). Pengeboman beberapa tempat ibadah, tidak hanya gereja bahkan akhir-akhir ini masjidpun juga mengalami hal yang sama. Seolah kerukunan antar beragama ini adalah suatu hal yang tidak mungkin diwujudkan. Benarkah demikian?, bukankah secara fitrah manusia ini senantiasa mendambakan kedamaian dan kerukunan diantara mereka. Bukankah keberagaman juga merupakan sesuatu yang alami. Apakah kedua domain kerukunan dan perbedaan mengharuskan adanya pertentangan. Alangkah ‘caos” (kacau)-nya kehidupan ini sehingga kehidupan ini harus berjalan dengan sangat tidak harmonis. Sementara Alloh berfirman “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13)
Ilusi kerukunan di alam sekularisme
Terseok-seok para punggawa negeri mencari solusi akan hal ini, namun yang di dapati jauh panggang dari api. Jarak antara persoalan dan solusi semakin menjauh. Tetap saja issu ketidakharmonisan hubungan antar agama semakin besar saja. Bagaimana tidak, resep toleransi yang tidak pada tempatnya justru malah mendistorsi ajaran agama tertentu, karena seringkali atas nama toleransi umat melanggar ajaran agamanya sendiri. Bukankah makna toleransi itu adalah membiarkan, dengan maksud masing-masing agama menjalan ibadah sesuai yang di yakini tanpa boleh saling mengganggu. Mengangkat ide pluralisme dengan menganggap bahwa semua agama sama juga tidak akan menjawab persoalan, karena konsep keimanan yang berbeda juga tidak bisa disamakan begitu saja.
Rupanya penyelesaian ala-sekularisme (pemisahan agama dengan kehidupan) dengan mengandalkan pemikiran dan hawa manusia dalam menyelesaikan persoalan manusia tidaklah cukup. Karena di dalam hawa nafsu manusia ada naluri mempertahankan diri (gharizatun baqa) dimana keinginan atau ambisi ingin selalu unggul, menguasai, mendominasi, menjajah, bahkan menghancurkan kelompok lain akan selalu muncul. Terang saja, kerukunan antar umat beragama itu tidak pernah terwujud, alias hanya ilusi.
Kerukunan adalah keniscayaan
Persoalan kerukunan beragama bukan persoalan mayoritas dan minoritas, melainkan persoalan regulasi. Islam dengan syariatnya telah memberikan pandangan hidup yang khas dengan nuansa ketaatan kepada Alloh SWT untuk mengantarkan kerukunan dan kedamaian untuk hidup berdampingan antar beragama tidak hanya skala lokal, bahkan skala dunia. Masih ingatkah pertikaian suku Aus dan Kazraj yang lelah selalu berseteru kemudian berhasil didamaikan layaknya kehidupan saudara oleh Islam. Belum lagi sejarah membuktikan bahwa di Andalusia, dengan sistem Islam kehidupan Umat Islam, Nasrani dan Yahudi dapat hidup rukun secara harmonis. Sebagai mana dalam hadits Rasullullah: “Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya: 107). Itu artinya bahwa kerukunan beragama ini tidak akan terwujud tanpa adanya regulasi yang baik dan sekali lagi sesuai fitrah manusia dan syariat Alloh SWT.
Sejarah mengatakan ketika sistem Islam diterapkan bahwa seluruh umat yang hidup dalam sistem Islam akan dilindungi nyawa, harta, dan kepentingan-kepentingannya tanpa melihat dan mempersoalkan apa agama mereka. Bahkan tak segan-segan orang Yahudi dan Nasranipun berada di medan perang berlaga melawan musuh yang sama. Keindahan kerukunan beragama dalam Islam cukup untuk membuat kesaksian orang Barat mengagumi bagaimana cara Islam menjaga kehidupan umat dengan multi etnis, agama, dan budaya. Karena keragaman itu adalah sesuatu yang alami (wajar), dan kerukunan itu adalah sebuah keniscayaan.