(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Kata toleransi kembali diuji di negeri tercinta Indonesia. Beberapa waktu yang lalu, viral di media sosial mengenai kasus pengrusakan musholla Al- Hidayah di Desa Tumaluntung, Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa Utara.
Menurut Republika.co.id, perusakan mushala terjadi pada Rabu (29/1) sore tepatnya pukul 17.48 Wita. Perusakan mushala bermula saat sekitar 50 orang dari organisasi kemasyarakatan Waraney (salah satu organisasi beragama Nasrani) dari Desa Tumalutung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara mendatangi Mushala Al Hidayah yang berada di Perum Agape, Desa Tumalutung. Ormas yang diketuai Novita Malonda tersebut langsung melakukan perusakan pada mushala Al Hidayah.
Menanggapi kasus ini, Menteri Agama Fachrul Razi menyatakan bahwa, perusakan tempat ibadah memiliki rasio yang sangat kecil dibanding dengan jumlah tempat ibadah di Indonesia. Dia juga meminta, agar masyarakat tidak meributkannya karena kasus sudah masuk ke kepolisian (www.idtoday.co, 31/1/2020)
Sebenarnya kasus seperti ini, bukanlah untuk pertama kalinya terjadi. Kasus sama yang terus berulang ini adalah bukti bahwa masih lemahnya pembangunan kerukunan beragama di Indonesia. Dalam banyak kasus secara nyata kita temui, bahwa sistem demokrasi memberi ruang terlalu lebar mengenai pembelaan terhadap kaum minoritas. Ketika hal ini tidak sesuai porsi, maka bahaya lain justru akan muncul mengikuti. Tirani minoritas terjadi, termasuk dalam sikap beragama.
Maka, adalah hal wajar jika banyak pihak menyayangkan tidak seimbangnya pemerintah dalam bersikap ketika menyelesaikan kasus yang terjadi antar umat beragama selama ini. Ketika islam sebagai mayoritas mengalami ketidakadilan, maka suara – suara sumbang yang meminta agar kaum muslimin bisa bersikap lapang dada, selalu disampaikan di berbagai media. Adapun ketika ada “oknum islam” yang melakukan pelanggaran pidana, makai slam secara umum akan dihakimi sebagai agama “intoleran” dan kaum muslimin secara keseluruhan harus menerima “aib”nya serta harus mempertanggungjawabkannya.
Menanggapi kondisi ini, islam sebagai agama sekaligus ideologi yang sempurna, telah memiliki sejumlah pedoman.
Islam telah berbicara toleransi selama berabad-abad lamanya. Dan kemajuan demi kemajuan yang diperoleh Islam sebagai peradaban besar telah menunjukkan pencapaian yang besar dan positif tentang toleransi hidup bernegara. Berapa banyak negeri-negeri yang justru menuai kejayaan setelah ditaklukkan Islam. Ketinggian peradaban justru dicapai negeri-negeri muslim ketika toleransi mengikuti standar Islam yang mewujud dalam aturan kenegaraan.
Dalam Al Quran Allah Ta’ala berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)
Inilah pokok prinsip toleransi dalam Islam. Islam menganjurkan berbuat baik kepada siapa saja dalam berbagai aspek kecuali dalam urusan agama. Allah telah dengan jelas melarangnya dalam QS. Al-Kafirun yakni ‘lakum diinukum waliyadin’
(bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Jadi selama tidak berkaitan dengan persoalan akidah maka tolong menolong dan toleransi diperkenankan.
Jadi, jauh sebelum peradaban Barat yang rusak berbicara tentang toleransi, sesungguhnya Islam telah lebih maju berabad-abad lamanya mempersembahkan contoh toleransi yang hakiki pada umat manusia dari berbagai agama di dunia. Bahkan tidak sekedar toleransi, Islam justru telah mewujudkan perdamaian dunia, penjagaan atas hak-hak manusia beradab serta perlindungan penuh bagi semua warga negara muslim maupun non muslim. Dan hal itu terjadi ketika kekuasaan berada di tangan Islam.
Wallahu'alam bishowab