Oleh : Hj Padliyati Siregar, ST
Pelarangan terhadap segala hal yang berhubungan dengan keagamaan kian meningkat diberbagai negara di dunia, demikian laporan sebuah lembaga riset Pew Research Center di Amerika Serikat. Rusia dan Cina menjadi bagian dari 52 negara dengan tingkat pembatasan level tinggi. Sementara negara dengan tingkat pembatasan terendah dapat ditemukan di Afrika Selatan, Jepang, Filipina, Brasil, dan Korea Selatan. Lalu Bagaimana dengan di Indonesia?
Di negara mayoritas muslim terbesar ini sepertinya tak jauh berbeda. Walau dalam kehidupan sehari-hari makanan dan minuman halal masih bebas dijajakan. Ibadah seperti sholat, puasa, dan zakat masih leluasa untuk dijalankan. Begitu pun dengan ibadah haji yang tiap tahun masih rutin difasilitasi dan bahkan kuotanya pun mengalami penambahan. Namun dalam hal yang lain seperti mengibarkan bendera tauhid (yang merupakan bendera Rasulullah) masih dipersoalkan.
Dan yang terbaru adalah pernyataan dari Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi yang tengah menjadi sorotan publik terkait pernyataannya soal agama adalah musuh terbesar Pancasila.
Walaupun Yudian mengklarifikasi soal pernyataannya tersebut. Menurut penjelasannya yang dimaksud adalah bukan agama secara keseluruhan, tapi mereka yang mempertentangkan agama dengan Pancasila. Karena, menurutnya dari segi sumber dan tujuannya Pancasila itu religius atau agamis.
"Karena kelima sila itu dapat ditemukan dengan mudah di dalam kitab suci keenam agama yang telah diakui secara konstitusional oleh negara Republik Indonesia," tegas Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta seperti yang dikutip dari republika.co.id, Rabu (12/2).
Maka dengan demikian, menurut Yudian, Pancasila adalah penopang. Untuk mewujudkannya dibutuhkan kesetiaan atau bahasa lainnya sekuler, tapi bukan sekularisme. Kemudian membutuhkan ruang waktu, pelaku, anggaran dan juga perencanaan. Voa-islam.com, 14/02/2020.
Demikianlah Sepertinya mereka menganggap Islam sebagai musuh ideologi negara, rezim juga menyatakan bahwa penceramah/khatib Jumat harus bersertifikat dengan standar yang tidak menimbulkan masalah kebangsaan. Pernyataan ini menegaskan bahwa rezim sekuler akan selalu menempatkan Islam sebagai musuh saat dorongan umat menghendaki Islam menjadi rujukan mencari solusi masalah bangsa.
Begitupun dengan ajaran Islam, khilafah. Khilafah terus dikriminalisasi dan dimonsterisasi. Diopinikan bahwa khilafah akan memecahbelah NKRI, bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Bahkan belum lama ini Menko Polhukam menyatakan supaya para penyebar paham khilafah kini bisa dijerat hukuman.
Padahal tidak ada yang salah dengan khilafah. Khilafah sebagaimana sholat, puasa, zakat dan haji adalah bagian dari ajaran Islam. Sebagaimana Rasulullah yang mencontohkan tatacara bersuci ketika akan melaksanakan sholat, berdoa ketika akan memulai kegiatan, meninggalkan riba ketika melakukan transaksi perekonomian, menutup aurat ketika berpakaian, berlemah lembut kepada saudara seiman, nah khilafah ini adalah tuntunan dari Rasulullah dalam tatakelola kenegaraan. Bukankah Islam adalah agama yang sempurna yang memiliki aturan dalam segala hal?
Sehingga tidak layak bila ada seorang muslim yang menerima dengan hati yang lapang tatacara sholat, bersuci, berpakaian, dan berdagang, tapi merasa phobia ketika disodorkan khilafah untuk mengelola sistem kenegaraan.
Allah berfirman yang artinya, "Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antaramu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (Al-Baqarah [2]: 85)
Sungguh rezim yang seperti ini modelnya hanya lahir dalam sistem sekuler, sistem politik demokrasi. Karena itu jangan sampai kita terpalingkan hanya untuk mengganti wajah, yang lebih cakap dalam bicara, yang fasih dalam retorika. Kita harus sadar bahwa wajah, retorika, gaya kepemimpinan, itu semua lahir dari rahim sistem yang rusak yaitu sistem sekuler. Karena itu kalau mau perubahan, maka harusnya perubahan itu bukan hanya ganti wajah, tapi ganti sistem, aturan mainnya, seluruh aspeknya dengan aturan Islam.
Islam itu Solusi, bukan Sumber Masalah
Selama puluhan tahun tak ada persoalan dengan agama di negeri ini, khususnya Islam sebagai agama dengan pemeluk mayoritas. Baru beberapa tahun belakangan saja dimunculkan isu seolah-olah agama (Islam) atau seruan dan kajian keislaman menjadi pemicu radikalisme, perpecahan, dsb.
Padahal radikalisme bukanlah persoalan inheren dalam Islam. Isu atau tuduhan radikalisme lebih merupakan framing dari pihak luar untuk menyudutkan Islam atau menghalangi geliat umat Islam dan kebangkitan mereka. Bisa diduga, tujuan akhir dari isu radikalisme itu adalah untuk makin menjauhkan Islam dari kehidupan.
Dengan itu Islam dan umat Islam tidak menghalangi-halangi agenda liberalisme dan penjajahan Barat. Itu persis seperti dulu penjajah Belanda menggunakan tema radikalisme untuk menyudutkan siapa saja kebanyakan dari kalangan umat Islam yang menentang penjajahan Belanda.
Begitu pun sekarang ini. Isu radikalisme awalnya dimunculkan dan terus dinyanyikan oleh Barat. Ini seiring dengan mulai tampaknya kebangkitan umat Islam dan penolakan mereka terhadap ideologi kapitalisme dan liberalisme serta penjajahan Barat. Lalu isu radikalisme itu disuntikkan ke tubuh kaum Muslim di berbagai negeri Islam dengan berbagai jalan dan cara.
Akhirnya, isu radikalisme ini pun dinyanyikan dan dimainkan oleh mereka yang secara sadar ataupun tidak menjadi agen Barat.
Tuduhan Islam menjadi penyebab perpecahan dan persoalan juga hanya sekadar tuduhan tanpa bukti. Kekisruhan politik yang ada tidak pernah terbukti disebabkan oleh Islam.
Faktanya, tak jarang kisruh diakibatkan oleh proses demokrasi, kecurangan dan persaingan memperebutkan kekuasaan yang menggunakan cara-cara machiavelis. Banyaknya korupsi juga tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam.
Sudah banyak sekali ahli yang mengatakan, maraknya korupsi di antara faktor utamanya adalah proses demokrasi yang mahal.
Adanya ketimpangan antara warga dan antardaerah. Rakyat tidak merasakan kemakmuran dari melimpahnya kekayaan alam. Makin menggunungnya utang Negara. Makin kuatnya cengkeraman asing dan kapitalis.
Adanya segudang problem ekonomi. Semua itu pun bukan karena Islam, tetapi justru karena penerapan sistem di luar Islam, yakni kapitalisme-liberalisme.
Artinya, berbagai kerusakan yang terjadi itu bukan karena Islam, tetapi justru karena penerapan sistem selain Islam, dengan meninggalkan Islam dan syariahnya. Fakta-fakta jelas menunjukkan yang demikian. Allah Swt pun sudah memperingatkan kita dalam firman-Nya: "Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta… (TQS Thaha [20]: 124).
Makna, “berpaling dari peringatan-Ku” adalah menyalahi perintah-Ku dan apa saja yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim, V/323).
Berbagai kerusakan yang terjadi itu tentu mendatangkan akibat buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Sejatinya itu baru sebagian dari akibat kerusakan yang disebabkan manusia berpaling dari Islam dan syariahnya. Allah Swt menimpakan sebagian dari akibat kerusakan itu agar manusia bertobat dengan kembali pada Islam dan syariahnya. Allah Swt berfirman: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (QS ar-Rum [30]: 41).
Wallahu 'alam bish shawab