Oleh : Ummu Aqeela
Problem terkait penegakan hukum masih menjadi kisah klasik yang takan pernah usai dibahas. Kehendak bersama dalam satu aturan bersama untuk mengatur kehidupan bersama, akan selalu menimbulkan persoalan. Terlebih bila masalah yang muncul karena adanya ketimpang tindihan penegakan aturan dan ketiadaan kepastian hukum. Hukum sejatinya menjadi alat yang menciptakan keamanan dan kebahagian bagi Subjeknya. Tujuan Hukum untuk mewujudkan keadilan, tanpa tebang pilih, adil dan sesuai besar atau kecil mudharat yang ditimbulkan dari perbuatannya.
Namun jauh panggang dari api, cita-cita adil yang diharapkan dalam penegakkan hukum di Indonesia seolah hanya jargon manis tanpa bukti. Banyak sekali kasus-kasus terutama korupsi dari tingkat teri sampai tingkat kakap yang masih mengambang hingga kini. Penegak hukum sendiri seolah bersembunyi tanpa nyali, untuk bertindak lebih berani lagi.
Masih segar dalam ingatan berbagai kejadian tragis yang mewarnai pemilu 2019 kemarin, berbagai bentrok terjadi bahkan sampai peristiwa yang tidak biasa yaitu meninggalnya ratusan petugas KPPS yang tersebar diseantero negeri. Banyak isu yang mewarnai salah satunya korupsi besar-besaran yang terselimuti, termasuk dugaan suap di petinggi KPU itu sendiri, dan berita itu masih berlanjut hingga kini. Sederet namapun menjadi kontroversi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan empat orang menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan. Mereka adalah Harun Musaki, caleg PDIP dari Sumatera Selatan; Agustiani Tio Fridelina, mantan Anggota Badan Pengawas Pemilu; dan Saeful Bahri, swasta. KPK menetapkan Harun sebagai tersangka karena diduga menyuap Wahyu agar meloloskan dirinya menjadi anggota DPR lewat jalur pergantian antar waktu (PAW). Sayangnya, Harun lolos dari rangkaian operasi tangkap tangan pada 8-9 Januari 2020.
Seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 11 Januari 2020, bertajuk 'Di Bawah Lindungan Tirtayasa', penyidik KPK sebenarnya sudah memantau pergerakan Harun Masiku sejak Rabu, 8 Januari 2020 malam. Beberapa jam sebelumnya, KPK mencokok Wahyu ketika bekas komisioner KPU ini akan terbang ke Belitung.
Malam itu, Harun membonceng sepeda motor yang dikendarai salah seorang penjaga kantor DPP PDIP. Menembus gerimis malam itu, keduanya bergerak ke arah Blok M dan tiba di kompleks PTIK di Jalan Tirtayasa Raya Nomor 6 sekitar pukul 20.00. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto diduga sudah berada di sana.
Sambil memantau Harun dan Hasto, penyidik KPK memutuskan salat isya di Masjid Daarul 'Ilmi yang berada di PTIK. Yang terjadi kemudian, sejumlah polisi malah 'menangkap' penyidik KPK ini.
“Tim penyelidik kami sempat dicegah oleh petugas PTIK dan kemudian dicari identitasnya. Penyelidik kami hendak salat,” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, Kamis, 9 Januari 2020. Para polisi ini bahkan sempat memaksa penyidik KPK membuka ponsel mereka yang sudah dikunci dengan password. Selain itu, polisi sampai memeriksa urin para penyidik.
Para penyelidik itu ditahan sekitar tujuh jam. Mereka baru dilepas setelah Direktur Penyidikan KPK R.Z. Panca Putra Simanjuntak tiba di sana sekitar pukul 03.30, Kamis, 9 Januari 2020. Menurut Ali Fikri, ada kesalahpahaman antara penyelidik KPK dan polisi. “Kemudian diberitahukan petugas KPK, lalu mereka dikeluarkan,” ujar Ali.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan proses interogasi merupakan hal yang lumrah. Dia mengklaim pemeriksaan berlangsung tidak lama karena tim KPK dijemput atasannya. “Namanya orang tidak dikenal masuk, kami cek enggak masalah,” kata Argo. “Dari pemeriksaan, mereka hanya akan salat.”
Hasto Kristiyanto membantah berada di kompleks PTIK pada Rabu malam itu. “Tidak,” ujarnya. Ia mengklaim sedang di suatu tempat karena sakit perut. Ia juga beralasan sedang sibuk menyiapkan rapat kerja nasional PDIP, yang bertepatan dengan hari ulang tahun ke-47 partai banteng, di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Hingga saat ini, Harun Masiku masih buron. KPK hanya bisa meminta ia menyerahkan diri. "KPK meminta tersangka segera menyerahkan diri dan pada pihak lain yang terkait dengan perkara ini agar bersikap koperatif," kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar pada Kamis, 9 Januari 2020.
Ironi, seperti mimpi jika kita berharap hukum tegak secara adil di sistem kapitalis yang seperti ini. Dalam sistem ini materi yang bermain, keuntungan pribadi dan golongan yang menjadi kisi. Bahkan mereka tidak gentar saling melindungi meski itu dari perbuatan yang keji dan merugikan banyak insani. Bagaimana bisa adil menjadi tujuan jika kepentingan pribadi dan golongan yang diutamakan.
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dan at-Tabrani, Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa menyembunyikan koruptor (pelaku ghulul), maka dia sama dengannya.” Melindungi koruptor termasuk perbuatan korupsi. Cara-cara perlindungan itu bisa dengan memanipulasi hukum, sehingga si pelaku bebas dari hukuman atau dihukum lebih ringan daripada yang semestinya.
Penegakan hukum memang tidak boleh tebang-pilih. Ada suatu kisah yang memuat hikmah tentang hal itu. Setelah Kota Makkah berhasil dibebaskan dari rezim penyembah berhala, Rasulullah SAW dapat leluasa menegakkan hukum Islam di sana. Suatu ketika, seorang perempuan dari Bani Makzhum tertangkap basah sedang mencuri. Para tokoh kabilah tersebut kemudian saling bersepakat mendampingi si pencuri itu demi kehormatan suku. Memang, Bani Makzhum termasuk tiga kabilah yang paling kaya dan disegani di Makkah.
Tokoh-tokoh itu lalu mendatangi Usamah bin Zaid. Tujuannya agar sahabat Rasulullah SAW itu memperantarai mereka kepada Nabi SAW. Harapannya, hal itu dapat meringankan hukuman atas perempuan tersebut. Usamah pun menghadap kepada Nabi SAW.
Sesudah mendengarkan penuturan sahabatnya itu, beliau SAW pun naik ke atas mimbar untuk berpidato. Usai mengucapkan hamdalah, Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan kepada khalayak, “Sesungguhnya kebinasaan orang sebelum kalian adalah akibat mereka tidak mau menindak tegas kalangan terhormat di antara mereka yang mencuri, tetapi langsung menghukum orang lemah yang mencuri. Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman-Nya, seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya.”
Perempuan pencuri tadi pun dihukum sebagaimana mestinya. Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari tersebut jelas-jelas menekankan aspek keadilan dalam penegakan hukum.
Tidak boleh hukum bagaikan pedang yang tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Bila hal buruk itu terus dipelihara, maka masyarakat yang bersangkutan akan semakin permisif. Para pelaku kejahatan di antara mereka pun akan merasa aman-aman saja selama bisa “bernaung” di bawah nama besar penguasa.
Untuk itu tidak ada jalan lain untuk mewujudkan mimpi yang saat ini jauh dari nyata, selain menegakkan kembali Syari’at Islamiyah yang menaungi dan memberi keadilan yang sesungguhnya bagi umat di seluruh negeri bahkan seantero jagad raya.
Wallahu’alam bishowab.