Oleh: Nurdianiwati
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja meliris Angka kemiskinan nasional September 2019 yang telah mencapai angka 9,22%. Persentase ini mengalami penurunan sebesar 0,19 persen poin dari kondisi Maret 2019 dan 0,44 persen poin dari kondisi September 2018 (news.detik.com). Pemerintah optimistis, angka kemiskinan di negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini akan terus menurun dengan berbagai program yang telah dilakukan saat ini.
Namun, menurut Kepala BPS Suhariyanto, meskipun angka kemiskinan turun Indonesia masih dihadapkan oleh banyak persoalan terkait tingkat kemiskinan di dalam negeri. Di antaranya perbedaan tingkat kemiskinan di pedesaan dan perkotaan yang masih tampak jelas. Apalagi penurunan tingkat kemiskinan tidak dialami oleh seluruh daerah di pelosok Tanah Air. Penurunan itu hanya terjadi di 28 provinsi saja. Sementara enam provinsi lainnya mengalami kenaikan tingkat kemiskinan.
Senada dengan pernyataan Suhariyanto, beberapa waktu yang lalu, media Australia The Interpreter tengah menyoroti tingginya angka kemiskinan di Papua yang mencapai 7 kali lipat dari Provinsi DKI Jakarta. Media itu menyebutkan jarak ketimpangan ekonomi yang dalam menjadi penyebab utamanya. Dicontohkan, empat orang miliarder terkaya di Indonesia memiliki kekayaan (USD 25 miliar), sedangkan 40 persen penduduk Indonesia termiskin atau sekitar kurang lebih 100 juta jiwa dengan kekayaan mencapai (USD 24 miliar). Bank Dunia pun meliris dalam risetnya dikatakan 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin. atau 45% penduduk Indonesia belum mencapai pendapatan yang aman.
Berdasarkan data BPS, pemerintah kerap melontarkan pernyataan telah terjadi penurunan angka kemiskinan di Indonesia dalam kurun beberapa tahun terakhir ini. Klaim turunnya angka kemiskinan bahkan disebut-sebut sebagai sejarah sepanjang Indonesia berdiri, sungguh merupakan klaim dari ciri pemerintah yang tidak peduli dengan kondisi rakyatnya. Benarkah terjadi penurunan penduduk miskin di Indonesia?
Untuk mengetahui berapa besar jumlah penduduk miskin memang harus ada standarnya. Di Indonesia jumlah penduduk miskin merupakan hasil sensus Badan Pusat Statistika (BPS). Dalam menetapkan angka kemiskinan, salah satu standar yang dipergunakan lembaga tersebut adalah pendapatan perkapita.Dengan standar itu, pemerintah kemudian menetapkan batas garis kemiskinan. Sejak tahun 2018, BPS menetapkan batas garis kemiskinan adalah masyarakat yang berpendapatan Rp 401.220 per kapita perbulan atau Rp 13.000 per kapita perhari. Jika dikonversikan sekitar kurang dari 1 dolar AS.
Penentuan ambang batas kemiskinan tersebut dipertanyakan banyak kalangan. pasalnya, standar Pemerintah dalam menentukan angka kemiskinan tidak logis. Bayangkan, setiap orang dengan pengeluaran Rp 15 ribu rupiah perhari, misalnya, dianggap telah sejahtera. Mereka dianggap bukan orang miskin. Padahal jelas, dengan Rp 15 ribu perhari, orang hanya bisa makan sekali sehari. Itu pun alakadarnya. Lagi pula, manusia hidup tak cuma butuh makan. Apalagi cuma sekali sehari. Manusia hidup juga butuh pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, biaya transportasi, dll. Faktanya, semua itu tidak gratis.
Jelas standar kemiskinan Rp 13 ribu perhari sangat merendahkan orang miskin. Apalagi PBB pada tahun 2015 telah merevisi pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1,25 dolar (AS) menjadi 1,9 dolar (AS). Berdasarkan standar ini orang dinyatakan sangat miskin jika memiliki pendapatan/pengeluaran kurang dari 1,9 dolar perhari (sekitar Rp 27.550 perhari). Jika standar PBB ini digunakan maka jumlah warga yang terkategori amat miskin akan melejit, bisa mencapai 30 persen warga Indonesia atau lebih dari 75 juta orang.
Kemiskinan Menurut Kapitalis
Dalam memandang kemiskinan, sistem ekonomi kapitalis pada dasarnya telah salah sejak awalnya. Kapitalisme tak memiliki standar yang jelas dalam menentukan kemiskinan. Sistem ini tak menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok individu per-individu sebagai tolak ukur miskin tidaknya seseorang. Wajar jika dalam menghitung persentase kemiskinan tahunan, hanya didasarkan pada rata-rata pendapatan per-kapita, tanpa memastikan terpenuhinya kebutuhan rakyat, individu per-individu.
Kapitalisme yang diterapkan di Indonesia saat ini juga cenderung abai dalam menganalisis penyebab kemiskinan. Ini disebabkan dalam sistem kapitalisme, negara berlepas tangan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya.
Sistem kapitalisme tak mampu melihat lebih jauh bahwa penyebab masalah kemiskinan bisa disebabkan karena kemiskinan alami, misal seseorang yang cacat mental, maupun fisiknya hingga tak mampu memenuhi kebutuhan dirinya. Kemiskinan juga bisa disebabkan karena kemiskinan kultural, ataupun kemiskinan struktural. Alhasil, fakta kemiskinan dalam sistem kapitalisme sulit diselesaikan karena akar masalah bahkan fakta kemiskinan itu sendiri tak difahami secara utuh.
Selain itu, di tengah-tengah melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, ditambah beban kebutuhan lainnya yang merangkak naik, harusnya standar kemiskinan ditetapkan secara realistis. Tidak realistisnya standar kemiskinan ini berujung pada klaim turunnya angka kemiskinan padahal fakta di lapangan berbicara lain. Alih-alih untuk menyejahterakan
Pandangan Islam dalam Menangani Kemiskinan
Sejahtera dalam pandangan Islam adalah terpenuhinya kebutuhan pokok mencakup sandang, pangan dan papan, termasuk pendidikan dan kesehatan orang per orang. serta terjaga dan terlindunginya agama, harta, jiwa, akal dan kehormatan individu rakyat. Jika terdapat masyarakat yang tak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, maka ia terkategori kelompok miskin. Inilah parameter Islam dalam menentukan miskin atau tidaknya seseorang.
Selain itu, Islam memiliki kaidah ekonomi yang khas dan dibangun atas landasan wajibnya negara memberikan solusi atas pemenuhan kebutuhan individu rakyat. Islam membangun persepsi mengenai masalah ekonomi dengan memandang kebutuhan warga sebagaimana layaknya seorang manusia yang membutuhkan pemenuhan kebutuhan primer (asasiyyah) berupa sandang, pangan dan papan; dan berupaya semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan sekundernya (kamaliyyah). Berdasarkan hal itu, Islam menetapkan mekanisme yang tepat dan bersifat preventif agar masalah kemiskinan ini dapat terselesaikan.
Untuk itu, sistem ekonomi Islam memandang bahwa negara wajib memastikan pemenuhan kebutuhan pokok individu rakyat, orang per-orang dengan memperhatikan aspek distribusi kekayaan. Islam juga memiliki mekanisme yang jelas bagaimana kebutuhan pokok rakyat dapat terpenuhi secara lengkap, antara lain: 1) Mewajibkan kaum laki-laki untuk mencari nafkah. Allah SWT berfirman : “kewajiban Ayah memberikan makan dan pakaian kepada para Ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS. Al-Baqarah : 233). Untuk itu, negara akan semaksimal mungkin berupaya menyediakan lapangan pekerjaan khususnya bagi kaum laki-laki. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian Beliau bersabda “ makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan untuk bekerja”. 2) Mewajibkan kerabat untuk membantu saudaranya. 3) Mewajibkan negara untuk membantu rakyat miskin. Ini adalah mekanisme yang menuntut peran negara dalam menyelesaikan masalah kemiskinan rakyatnya. Untuk itu, negara dapat mengambil kas dari baitul mal dan diberikan kepada rakyat miskin, dengan pemberian yang mampu mengeluarkannya dari kemiskinan. 4) Menganjurkan kaum muslimin untuk membantu orang miskin. Rasulullah SAW bersabda “Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara ia mengetahuinya” (HR.Al-Bazzar).
Oleh karena itu, permasalahan kemiskinan ini haruslah diselesaikan secara komprehensif dan sistemik. Negara harus memastikan distribusi kekayaan secara merata, hingga terpenuhinya seluruh kebutuhan individu rakyat. Di sisi lain, negara harus mampu mengelola aset-aset negara untuk kesejahteraan rakyat. Dengan sistem Islam, kemiskinan dapat dipastikan terselesaikan. Berbeda dengan saat ini, selama sistem kapitalisme diterapkan, selama itu pula permasalahan kemiskinan akan sulit terselesaikan.