Oleh : Ani Ummu Khalisha
Aktivis Muslimah Peduli negeri
Pengentasan kemiskinan seakan menjadi PR besar bagi Indonesia. Kemiskinan masih belum bisa diselesaikan, berbagai upaya pengentasan kemiskinan yang selama ini dilakukan belum memberikan hasil yang diharapkan. Walaupun pemerintah dengan optimis mengatakan angka kemiskinan telah menurun. Pemerintah lewat Badan Pusat Statistik(BPS) telah merilis pada 15 Januari angka kemiskinan telah mencapai angka 9,22%. Persentase ini menurun sebesar 0,19 persen poin dari kondisi maret 2019 dan 0,44 persen poin dari kondisi september 2018. (m. Detik. Com)
Dan pada akhir pekan lalu (30/1) Bank Dunia merilis laporan bertajuk “ Aspiring Indonesia, Expanding The Middle Class”. Dalam riset itu,115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin. Tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini dibawah 10% dari total penduduk. Rerata pertumbuhan ekonomi pun diprediksi 5,6% pertahun selama 50 th kedepan. Produk Domestik Bruto(PDB) perkapitanya diperkirakan tumbuh enam kali lipat menjadi hampir us $ 4ribu.
Namun, 115 juta orang atau 45% penduduk Indonesia belum mencapai pendapatan yang aman. Alhasil mereka rentan kembali miskin. Setidaknya ada empat rekomendasi dari Bank Dunia untuk mengurangi penduduk rentan miskin diantaranya :
• Meningkatkan gaji dan tunjangan guru.
• Meningkatkan anggaran kesehatan
• Memperluas basis pajak
• Menyeimbangkan kembali re-balancing transfer fishal seperti meningkatkan propori dan desa dan mengembangkan peraturan baru.
(katadata.co.id/berita/2020/02/02)
Berdasarkan riset di atas tentu bagi kita selaku masyarakat sangat aneh ketika mengatakan bahwa angka kemiskinan itu menurun. Padahal jika di terjun langsung ke masyarakat banyak yang mengeluhkan tentang kehidupan di masa sekarang. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja sudah sedemikian rupa sulitnya belum ditambah beban-beban yang lain.
Menjadi pertanyaan bagi kita sebenarnya jika kondisi masyarakat masih banyak yang miskin lantas darimana dikatakan tingkat kemiskinan di Indonesia menurun?
Pengentasan kemiskinan total dalam sistem demokrasi adalah hal yang mustahil, karena solusi yang diberikan adalah solusi parsial dan temporal. Upaya penurunan angka kemiskinan lebih banyak mengotak-atik angka melalui standarisasi/ukuran bukan menghilangkan kondisi miskin secara nyata. Yakni memastikan semua pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Standar miskin dalam sistem demokrasi juga dilihat dari besaran pengeluaran dan penghasilan.
Padahal dalam pandangan Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besarnya pengeluaran dan penghasilan melainkan dari pemenuhan kebutuhan asasiyah(pokok) perorangan.
Kebutuhan pokok itu meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan secara layak.
Bahkan dalam Islam orang dikatakan kaya jika mempunyai kelebihan harta diatas 50 dirham. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidaklah seseorang meminta-minta, sementara ia kaya,kecuali pada Hari Kiamat nanti ia akan memiliki cacat di wajahnya.” Ditanyakan kepada beliau, “Ya Rasulullah,apa yang menjadikan ia termasuk orang kaya?” Beliau menjawab, “Harta sebesar 50 dirham…” (HR an-Nasa’I dan Ahmad).
Mengomentari hadis di atas. Syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan, “Siapa saja yang memiliki harta sebesar 50 dirham—atau setara dengan 148,75 gram perak, atau senilai dengan emas seharga itu—yang merupakan kelebihan (sisa) dari pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal juga pemenuhan nafkah istri dan anak-anaknya serta pembantunya—maka ia dipandang orang kaya. Ia tidak boleh menerima bagian dari zakat (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî ad-Dawalah al-Khilâfah, hlm. 173).
Cara Islam mengentaskan kemiskinan
Pertama: Secara individu, Allah Swt memerintahkan setiap muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Rasulullah saw bersabda:
“Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban diantara kewajiban yang lain.” (HR. Ath-Thabarani)
Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk sabar dan tawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah sebagai Zat pemberi rezeki. Haram bagi dia untuk berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah.
Kedua: Secara jama’i (kolektif), Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw bersabda: “ Penduduk negeri mana saja yang ditengah-tengah mereka ada yang kelaparan (yang mereka biarkan) maka jaminan perlindungan Allah terlepas dari mereka.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah)
Ketiga: Allah Swt memerintahkan penguasa bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk mememuhi kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw bersabda: ”Pemimpin bagi manusia adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurus.”( HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Pada zaman beliau ada ahlus-shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa. Mereka diizinkan tinggal di Masjid Nabawi dengan mendapatkan santunan dari kas negara.
Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.
Itu baru dua contoh bagaimana peran penguasa sesuai syariah Islam untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Pentingnya penerapan syariat Islam
Saat ini kemiskinan yang menimpa umat lebih merupakan kemiskinan struktural/sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang diberlakukan oleh negara/penguasa. Itulah sistem kapitalisme-liberalisme-sekularisme. Sistem inilah yang telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Di negeri ini telah lama terjadi privatisasi sektor publik seperti jalan tol, air, pertambangan gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan tersebut yang sejatinya adalah milik mereka.
Di sisi lain rakyat seolah dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan, misalnya, rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara.
Karena itu saatnya kita mencampakkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syariah Islam yang berasal dari Allah SWT. Hanya syariah-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Syariah akan menjadi rahmat bagi mereka. Lebih dari itu, penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah wujud ketakwaan yang hakiki kepada Allah Swt .
Wallahu a’lam bishawab