Ilusi Kerukunan Beragama di Sistem Demokrasi



Oleh Cucu Aprilianti, S.H. 
(Aktivis Remaja Islam)


Perusakan Mushalla Al Hidayah di Desa Tumalutung, kecamatan Kauditan kabupaten Minahasa Utara sempat viral di media sosial. Menurut informasi yang diperoleh Republika.co.id, perusakan Mushalla terjadi pada Rabu (29/1) sore tepatnya pukul 17.48 WIB.

Perusakan Musholla bermula saat sekitar 50 orang dari organisasi kemasyarakatan waraneg dari Desa Tumalutung, kecamatan Kauditan, kabupaten Minahasa Sulawesi Utara mendatangi Mushalla Al-Hidayah yang berada di perum Agape, Desa Tumalutung. Ormas yang diketuai Novita Malonda tersebut langsung melakukan perusakan pada Mushalla A-Hidayah. (Dikutip republika.co.id, 31/1/20)

Selain perusakan Mushalla, Mesjid di Sumatera Utara tepatnya di Jalan Belibis, kelurahan Tegal Sari Mandala 2, kecamatan Percut Sei Tuan, kabupaten Deli Serdang dilempari batu pada Jumat malam (26/1). Belibis Medan dilempari orang, semuanya bukan orang Islam. Di manado Mushalla di hancurkan semua pelaku juga bukan orang Islam. (Dikutip pojoksatu.id, 31/1/20).

Indonesia punya catatan panjang soal kebebasan mendirikan dan memiliki rumah ibadah, khususnya bagi umat agama minoritas, imparsial mencatat ada 31 kasus pelanggaran terhadap hak KBB di Indonesia dalam setahun terakhir sebanyak 11 diantaranya merupakan perusakan terhadap rumah ibadah.
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat ditarik akar permasalahannya, yaitu:

1. Perusakan Mushalla dan Mesjid terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

2. Hilangnya sikap toleransi umat lain kepada umat Islam dengan merusak tempat ibadah umat Islam yang dilakukan oleh umat non Islam, ketika umat Islam yang menjadi korbannya, suara kecaman dari para tokoh muslim tidak di dengar, tetapi tempat ibadah non muslim sampai mendapatkan penjagaan ketat oleh pihak yang berwajib untuk menjaga keamanan dan kenyamanan dalam melaksanakan ibadahnya. Cap radikal dan intoleransi pun demikian disematkan pada umat Islam.

3. Umat non muslim ada yang tidak memahami makna toleransi beragama.

4. Ketika umat Islam yang jadi mayoritas di Indonesia dianggap menekan minoritas, mereka non muslim langsung memberikan cap intoleransi kepada umat Islam namun apabila mereka yang minoritas sebagai pelaku intoleran bernaung di balik kata “Kesalahpahaman”.

Indonesia berusaha untuk melakukan pergerakan yang mantap untuk menuju penguatan demokrasi namun sistem demokrasi lebih berkonsentrasi menegakan pembelaan berlebih terhadap warga minoritas dan hal ini memunculkan potensi tirani minoritas termasuk dalam sikap beragama.
Ketidakberdayaan negara menjadi gambaran tidak berhasilnya untuk mewujudkan kerukunan beragama. Sehingga menyebabkan terjadinya tindakan yang melanggar norma-norma agama dan hilangnya sikap toleransi beragama.

Dalam Islam diatur mengenai toleransi beragama yaitu tidak mengganggu umat lain untuk beribadah sesuai kepercayaannya masing-masing termasuk tidak merusak tempat ibadah umat lainnya, sesuai Firman Allah SWT: “Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku.” (TQS Al-Kafirun [109] : 6).
Daulah Islam memberikan perlakuan yang sama terhadap semua manusia dalam aspek (pelayanan) pemerintah dan peradilan. Seorang penguasa ketika memelihara urusan-urusan rakyat dan memerintah mereka, demikian juga seorang qadhi saat memutuskan perkara diantara manusia, tidak boleh memandang orang yang diperintah atau diputus perkaranya, dengan suatu pandangan apa pun selain pandangan kepada manusia dalam rangka memelihara urusannya dan menyelesaikan perselisihannya. (Ad-Daulah fil Islam, Taqiyuddin An-Nabhani)

Dalam Daulah Islam pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen hidup berdampingan dengan damai dan aman bahkan sikap seorang muslim atas non muslim dalam Islam sungguh beradab. Selama masih berlakunya sistem demokrasi maka kerukunan umat beragama sulit untuk diwujudkan karena hanya Islam yang telah terbukti menjaga kerukunan beragama dalam naungan Daulah Islam.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak