oleh : Yuni Wahyu Untari
Lagi-lagi pemerintah membuat keputusan yang mengejutkan banyak pihak, lewat Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo, menyatakan bahwa anggaran pemerintah pusat terbebani dengan kehadiran tenaga honorer. Pemerintah berupaya menghapus status tenaga honorer dengan mengikutsertakan pada seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Ditargetkan penyelesaian sisa tenaga honorer selesai pada 2022. ( Detik, 25/1/2020).
Hal ini sangat meresahkan para pegawai honorer seperti para honorer guru di Tangerang Selatan, saat ini ada sekitar 1.800 guru honorer yang harus diperjuangkan. Mereka mengajar di sekolah tingkat dasar (SD) dan menengah pertama (SMP). Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangsel Taryono mengatakan, "Status mereka, diakui dia, harus ditingkatkan dari status honorer". (www.kabar-banten.com/24 Januari 2020). Dan tentu masih banyak pegawai honorer di seluruh Indonesia.
Hal ini membutuhkan penanganan yang benar-benar solutif karena menyangkut hajat hidup mereka. Negara harus bertanggung jawab karena para pegawai honorer selama ini sudah mengabdikan dirinya untuk negara. Anggota Komisi II DPR RI Cornelis, mengusulkan para guru honorer yang ada di daerah terpencil dan sudah lama mengajar bertahun-tahun bahkan sejak zaman Soeharto dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia agar bisa diangkat sebagai PNS tanpa ada tes. Menurut beliau, "Bagaimana kita akan membangun SDM sesuai visi dan misi presiden, kalau makan mereka tidak tercukupi dan kesehatannya buruk," (CNBC Indonesia, 20 Januari 2020). Dan pengetahuan tentang makanan dan kesehatan yang baik hanya bisa diperoleh dari pendidikan yang baik pula.
Penghapusan tenaga honorer tanpa ada solusi yang efektif justru akan memunculkan masalah baru. Terganggunya nafkah keluarga karena tulang punggung mereka sudah tidak berpenghasilan. Mereka akan disibukan mencari pekerjaan baru yang penuh dengan persaingan.
Negara menganggap bahwa tenaga honorer hanya membebani anggaran belanja negara pusat, Hal ini akan terkesan Pemda dibiarkan mengelola urusan daerahnya sendiri. Lalu bagaimana jika Pemda itu miskin dalam artian anggaran pendapatan nya kecil. Bagaimana mereka mengelola anggaran untuk menjalankan pemerintahan dalam melayani rakyat daerahnya? Model seperti ini mempengaruhi tingkat kualitas hidup manusia. Pada akhirnya memunculkan kesenjangan kesejahteraan.
Fakta saat ini negara menganut liberalisme kapitalisme dimana rakyat dinilai secara ekonomis untung rugi. Dalam kapitalis, rakyat menjadi pelayan bagi penguasa. Sudahlah melayani, dipersulit pula kehidupannya dengan banyaknya subdisi yang dicabut dan diambil lagi keuntungan sebesar-sebesarnya dengan bermacam-macam pajak. Sangat bertolak belakang dengan slogan pemerintah dalam revolusi mental diantaranya gerakan Indonesia melayani. Lantas seperti apa melayani yang dimaksud dalam slogan ini?
Dalam Islam melayani rakyat bukan hanya slogan tapi memang kewajiban negara. Rasulullah Saw. bersabda, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat); ia akan diminta pertanggungjawabannya atas urusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rekrutmen pegawai negara dalam Islam tidak mengenal istilah honorer. Karena pegawai negara akan direkrut sesuai kebutuhan riil negara untuk menjalankan semua pekerjaan administratif maupun pelayanan dalam jumlah yang mencukupi.
Sehingga tidak ada pegawai negara yang menjadi beban anggaran negara karena pekerjaan mereka memang benar-benar dibutuhkan.