Oleh: Aina Syahidah
Soal kebutuhan industri itu penting, tapi tri dharma perguruan tinggi harus tetap didahulukan. Jika melulu tunduk pada industri maka kampus akan menjadi agen kapitalis yang jauh dari misi kemanusiaan,(Tirto.id, 29/01/2020).
Begitu komentar Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyikapi kebijakan baru atas dunia Perguruan Tinggi (PT) yang bertajuk Kampus Merdeka.
Disamping itu, beliau juga menyoroti kemudahan perguruan tinggi nasional untuk mengurus Badan Hukum (BH), dimana hal ini sangat berorientasi pasar bebas. Mempermudah kampus berbadan hukum sama saja dengan memperluas praktik komersialisasi pendidikan. Padahal, fungsi seharusnya pendidikan tinggi, ialah mengedepankan kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan.
Senada dengan itu, Indra Charismiadji juga menyoroti kemudahan membuka Program Studi (Prodi) di setiap jurusan dengan syarat telah menjalin kerjasama dengan organisasi kelas dunia. Pengamat dari Center of Educatioan Regulation and Development Analysis (CERDAS) ini mengkhawatirkan bahwa cara ini kelak berpotensi memunculkan mindset komersil di dunia perguruan tinggi. Indra khawatir, nantinya ada oknum PT yang menggunakan kesempatan ini untuk jualan Prodi ke mahasiswa.
Ya, agaknya pada bagian ini bisa saja terjadi. Pasalnya, setelah kampus mengantongi badan hukum, negara secara spontanitas akan melepas tanggungjawabnya. Otomatis pengawasan pemerintah akan berkurang, karena kampus telah diberi hak otonom, yakni hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
Sebagaimana ungkapan Nadiem Makarim yang dilansir dari m.kbr.id (31/01/2020), bahwa pemerintah tidak menentukan perguruan tinggi mau berfokus ke arah mana. Kampus bebas untuk menentukan sendiri fokusnya di mana.
Belum lagi, pasca berbadan hukum, kampus harus mencari suplai dananya sendiri demi menunjang kinerja operasionalnya. Maka aktivitas menaikan tarif uang kuliah menjadi mungkin dilakukan, sebagai jalan untuk memperoleh pemasukan. Dan pada akhirnya kelak, biaya pendidikan akan mahal, sehingga akan sulit diterobos oleh kalangan pelajar yang berasal dari ekonomi kurang mampu.
Sebelumnya, ketika pembatalan UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengingatkan, pemberian otonomi non akademik termaksud mencari uang sendiri dinilai tak mampu maksimal di semua kampus. Bahkan hal ini dianggap berpeluang mengganggu penyelenggaraan pendidikan di tanah air. MK juga menilai status badan hukum yang melekat pada instansi PT membuat pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar (Tirto.id, 29/01/2020).
Buah Neoliberalisasi
Apalah daya, negeri yang sudah berada dalam cengkeraman politik ekonomi kapitalis neolib ini tak punya banyak pilihan. Kebijakan baru ini sejatinya eksekusi lanjutan dari cara pandang ekonomi moderen yang telah menjadikan pengetahuan sebagai tumpuan dalam membangun perekonomian. Adalah Knowledge Based Economy (KBE), yang menjadi dasar terkomersialisasinya dunia pendidikan.
Dunia pendidikan yang masyhur tak pernah sepi dari perhatian publik dipandang mampu menopang poros ekonomi dunia. Sebagaimana ungkapan seorang pakar manajemen, Peter F. Drucker bahwa informasi dan pengetahuan akan menjadi kunci utama keberhasilan ekonomi di masa mendatang (www.ajaranekonomi.com, 27/09/2016).
Maka dengan itu, kini pola industri pun telah berubah. Kekuatan modal serta ketersediaan tenaga kerja bukan lagi menjadi tumpuan utamanya. Inilah yang dikenal dengan konsep ekonomi moderen.
Knowledge Based Economy (KBE), kini berada di bawah kendali Bank Dunia. Seiring dengan meningkatnya arus pasar bebas semua negeri mau tidak mau harus ikut dalam pusaran ini. Baik Negara maju maupun Negara berkembang seperti Indonesia.
Untuk mengukur dan memonitor perkembangan ini, World Bank telah menetapkan indeks yang diberi nama The Knowledge Economy Index (KEI) dimana ada empat pilar penilaian diantaranya, perusahaan, pusat penelitian, universitas, konsultan serta organisasi lainnya harus mampu bersaing dalam lingkungan global melalui peningkatan sistem infrastruktur, teknologi, inovasi dan sebagainya (www.ajaranekonomi.com, 27/09/2016).
Sehingga wajar bila hari ini, kampus di tanah air digenjot untuk punya daya saing tinggi di kanca dunia. Mulai dari penargetan masuk dalam pusaran peringkat 100 dunia, harus mampu berkolaborasi dengan perusahaan nirlaba dunia serta kebijakan berskala internasional lainnya. Semuanya tidak lepas dari cara pandang tata kelola ekonomi moderen tersebut. Dan lagi-lagi yang untung hanyalah mereka para kapitalis.
Menurut Indra Charismiadji, Indonesia belum mampu menerapkan kebijakan Kampus Merdeka’ ini. Dikarenakan budaya di Indonesia berbeda dengan di negara barat. Menurutnya, kebijakan baru ini kental dengan nuansa barat. Yang dilakukan Mas Nadiem ini tipikal daya berpikir orang barat. Yang memang akan membutuhkan kemerdekaan, kebebasan untuk berkreasi dan berinovasi, tuturnya (cnnindonesia.com, 31/01/2020).
Namun apa hendak dikata, inilah konsekuensi yang harus diterima negeri ini yang telah kadung bergatung pada kekuatan modal para kapitalis raksasa. Perlahan kedaulatan bangsa ini akan terenggut habis tak tersisah. Jika selama ini kita menyaksikan SDA yang terprivatisasi, kini lembaga suci pendidikan nasional pun akan masuk dalam dekapan pelaku bisnis. Walhasil, tak ada lagi aset yang real dikelola langsung oleh bangsa akibat telah jatuh dalam kendali asing.
Inilah buah dari pengaturan pendidikan di dalam sistem sekuler kapitalistik. Lembaga yang berfungsi sebagai rahim yang mampu melahirkan calon-calon intelektual pemimpin bangsa dan peradaban dijadikan lahan bancakan para pemodal asing.
Padahal sungguh tidaklah demikian tujuan dan cita-ita mulai pendidikan tanah air. Sebagaimana ungkapan Prof Zainuddin Maliki politisi Partai Amanat Nasional (PAN), tujuan pendidikan nasional adalah untuk membangun peradaban dan memanusiakan manusia. Bukan untuk mencetak pelaku pasar (Republika.co.id, 29/01/2020).
Sebelumnya pun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD telah mengingatkan agar dunia perguruan tinggi mencetak sarjana intelektual bukan sarjana tukang. Pasalnya, saat ini perguruan tinggi sedang menjadi terdakwa dari kekacauan tata kelola pemerintahan dan munculnya korupsi di mana-mana. Menurutnya, pelaku korupsi adalah sarjana tukang dimana keahliannya bisa diperdagangkan sesuai pesanan. Jadilah ulul albab, orang yang cerdas dan mulia akhlak. Ini sebuah tantangan PT, Ujarnya (vivanews.com, 21/12/2019).
Dapatkah semua itu tercapai dengan kebijakan kampus merdeka? Atau harapan ini laksana mengharap hujan jatuh diterik mentari? Kita lihat saja nanti.
Namun, tak sedikit yang mengkhawatirkan bahwa kebijakan yang lebih berorientasi bisnis ini malah menumpulkan daya kritis para penghuni kampus utamanya mahasiswa. Orientasi pendidikan semacam ini justru membunuh esensi kemerdekaan berpikir kritis sebagai manusia. Pendidikan tidak mampu lagi menjadi alat pembebasan manusia atau memanusiakan manusia, (Dian Septi Trisnanti, Sekretaris Jenderal Federasi Buruh Lintas Pabrik).
Lantas Apa yang Harus Dilakukan Bangsa ini?
Indonesia tentu harus mampu membangun kepercayaan diri untuk bersiap membangun dan memajukan pendidikan negeri tanpa harus mengikut barat. Akan tetapi ini sulit dilakukan di tengah sistem hari ini. Selain karena Indonesia sudah masuk dalam cengkeraman kekuatan modal Asing. Sistem ini pun telah ada yang mengendalikan, yakni para pemilik modal.
Semua ini akan berbeda tatkala cara pandang syariah yang digunakan. Pasalnya, Islam memandang kehadiran sebuah lembaga pendidikan, ialah sebuah keharusan sebagai bentuk realisasi nyata dari perintah agama yang mewajibkan setiap manusia untuk menuntut ilmu. Dan negara selaku pembuat kebijakan yang kelak akan dimintaipertanggungjawaban di hadapan Allah Swt harus bersungguh-sungguh membuka akses ke dunia pendidikan dengan penuh kemudahan.
Selain itu, tujuan pendidikan dalam Islam pun jelas, dimana muara keseluruhannya yakni demi membangun kemaslahatan bersama penduduk bumi, bukan untuk memperkaya segelintir orang. Berikut tujuan pendidikan di dalam Islam,: Pertama, membentuk manusia berkepribadian Islam. Kedua, menguasai tsaqofah Islam. Ketiga, menguasai ilmu kehidupan baik sains maupun teknologi.
Begitupula dengan keberadaan kurikulum, dimana penyusunannya berdasar kepada akidah Islam itu sendiri. Bagi pelajar non muslim tidak dibebankan untuk mengikuti kurikulum materi berbasis tsaqofah Islam terkecuali dalam kurikulum sains dan teknologi, baik muslim maupun non muslim harus mengikutinya.
Dengan begitu, kita tentu tak perlu was-was kemana arah para pelajar kelak. Mereka akan tumbuh sebagai generasi-generasi hebat, ulul albab yang mampu menebar rahmat serta mampu menahkodai bangsa dan peradaban dunia ke arah kemajuan yang hakiki. Wallahualam Bish Showwab.
Tags
Opini