Ummu Ayana
(Pegiat Literasi)
Skullbreaker challenge. Itulah nama tren challenge baru yang sedang viral di sosial media. Tren ini telah memakan korban. Baik patah tulang, lumpuh, gegar otak, cidera hingga kematian. Di AS seorang pelajar di Florida mengalami luka setelah melakukan challenge tersebut.(kumparannews, 14/02/2020)
Sementara itu, seorang gadis 16 tahun dari Brasil kehilangan nyawanya setelah berpartisipasi dalam tantangan tersebut.(inquirer.net, 19/02/2020)
Tiga orang berbaris. Awalnya 2 orang melompat lebih dahulu disusul orang yang di tengah melompat. Ketika yang di tengah melompat dua orang lainnya menjegal kakinya hingga terjatuh. Begitulah cara melakukan challenge ini. Ketika melihat videonya. Bisa terbayang betapa sakitnya ketika tubuh seketika ambruk ke lantai. Risiko cedera sudah pasti.
Dokter spesialis bedah ortopedi divisi ortopedi anak RS Pondok Indah Bintaro Jaya, Faisal Miraj SpOT mengatakan bahwa sudah jelas risiko cedera kepala dan tulang belakang dari yang ringan sampai yang fatal bisa terjadi (kumparannews, 16/02/2020)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga telah mengimbau agar tidak mengikuti skullbreaker challenge di TikTok karena jelas membahayakan.
Liberalisme Lahirkan Generasi Rapuh
Generasi muda hari ini cenderung terbawa arus tren kekinian. Popularitas dianggap salah satu sumber kebahagiaan. Sebagai bukti eksistensi diri dengan memviralkan diri. Walaupun dengan konten tak berfaedah. Alhasil challenge yang berbahaya tetap dilakukan. Budaya prank kian menjadi menu sehari-hari. Padahal dampak ya g ditimbulkan tak hanya gangguan fisik bahkan mental bagi si korban.
Gaya hidup liberal (serbab bebas) menjadi sumber munculnya berbagai challenge tak bermutu sekaligus berbahaya. Cara berfikir dan bertindak yang liberal membuat setiap orang bebas berkehendak. Mencari kesenangan sesaat. Ditambah lagi dengan iklim sistem pendidikan yang bisa saja menekan pelajar. Membuatnya mencari permainan untuk meredakan stres di tengah tuntutan pendidikan.
Dalam Maslow's Hierarchy of Needs, penghargaan dan pengakuan merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap manusia.
Ketika tidak mendapatkannya di dunia nyata, anak-anak akan mencari pengakuan dan perhatian itu hingga menemukannya di media sosial melalui komentar, 'likes', dan sebagainya.
Psikolog Anak, Seto Mulyadi, menilai, maraknya remaja yang melakukan tantangan membahayakan seperti ini di media sosial salah satunya karena kurangnya perhatian dan pengakuan di dunia nyata.
"Ini yang menjadi tantangan bagi dunia pendidikan sebenarnya, setiap anak itu unik, itu perlu dihargai, bukan sekadar ranking semata. Bukan hanya sekadar prestasi akademik," ujar Kak Seto (kompas.com, 17/02/2020)
Sistem pendidikan dengan landasan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) telah berhasil mewujudkan generasi yang rentan depresi kerena orientasi materi menuntut pencarian cara memghibur diri juga untuk mendapat pengakuan eksistensi diri. Walaupun hal itu membahayakan diri maupun orang lain.
Selain itu, peran orang tua tak bisa diabaikan. Sayangnya hari ini banyak para orang tua menyerahkan pendidikan anaknya pada sekolah. Padahal, keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Orang tua dan sekolah semestinya bersinergi mewujudkan generasi yang teguh imannya dan kuat pribadinya.
Islam Wujudkan Generasi Emas
Islam memandang bahwa generasi muda sebagai ujung tombak peradaban. Jika ujungnya tumpul takkan mampu menancap tepat sasaran. Artinya kondisi generasi muda masa kini akan menggambarkan nasib bangsa di masa depan. Islam dengan aturan yang lengkap bersumber dari Sang Maha Pembuat aturan telah mencetak generasi emas. Berkepribadian Islam sehingga tak tertarik untuk mengikuti tren yang tidak bermanfaat. Orang tua berkewajiban memberikan pendidikan terbaik sehingga mengantarkan anak tertuntun jalannya dalam ridho Allah semata.
Sistem pendidikan yang berasaskan akidah Islam bertujuan membentuk kepribadian Islam. Tak hanya pola pikir yang islami. Melainkan juga pola sikap islami. Akan menuntun generasi muda berprilaku dalam koridor syara'.
Tentunya akan memahami bahwa challenge-challenge tak bermanfaat bahkan berbahaya tak perlu dilakukan. Generasi muda bahkan akan lebih produktif dengan keimanan yang benar. Mempelajari ilmu bukan dengan orientasi materi. Namun karena memahami hukum akan wajibnya menuntut ilmu dan keutamaan orang-orang berilmu di sisi Allah. Mereka saling berlomba mengecap manisnya ilmu. Terbukti pada abad pertengahan. Saat dunia barat dalam keadaan gelap. Dunia Islam justru dalam keadaan bercahaya di bawah naungan sistem Ilahi.
Sejarah telah mencatat bahwa dunia modern berutang budi pada dunia Islam. Barat dengan kemajuan teknologinya sejatinya berhutang pada Islam. ”Hutang Barat terhadap Islam. Dalam buku berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006), karya Tim Wallace-Murphy.
Tertulis bahwa hutang barat terhadap Islam adalah hal yang tak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun. Katanya, “We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid.’’ Barat dapat menguasai ilmu pengetahuan modern karena berhasil mentransfer dan menhembangkan sains dari para ilmuan muslim. Tim Wallace-Murphy menekankan perlunya Barat mengakui bahwa mereka mewarisi sains Yunani dan lain-lain, adalah atas`jasa para ilmuwan dan penguasa Muslim.
Generasi emas lahir dari peradaban mulia. Dimana posisi aturan berada pada hak Sang pencipta. Tak tergeser oleh akal dan hawa nafsu semata.
Allah SWT bertanya yang sekaligus menjadi celaan terhadap siapa saja yang mengikuti sistem jahiliyah. Allah berfirman,
﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَوَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS al-Maidah [5]: 50)
Saatnya kembali pada sistem Islam yang mengatur dengan komprehensif. Sistem yang menuntun manusia menujun kemuliaan. Menjadi generasi emas yang dirindu surga. Wallahu a'lamu bisshowab.