Oleh : Eviyanti
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif
Salah satu persoalan yang terus membelit bangsa ini adalah kemiskinan, kesenjangan ekonomi dan ketertinggalan yang masih banyak diderita oleh anak bangsa Indonesia, terutama dalam bidang sosial dan ekonomi. Apa penyebab utama tingginya kesenjangan di Indonesia? Banyak kajian yang menyebutkan bahwa keterbatasan pendidikan, rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan lapangan kerja adalah faktor utama dari kemiskinan di negeri ini.
Lalu apakah tidak ada tindakan dan upaya dari pemimpin-pemimpin negara ini untuk mengatasi kemiskinan? jawabannya ada dan sudah banyak metode yang diterapkan. Namun tidak efektif, tidak efisien, tidak sinergis dan terlihat hanya mengejar keterserapan anggaran yang telah ditetapkan. Terlihat dari para pemimpin negara yang dinilai sibuk dengan urusannya sendiri dan kelompoknya. Serta lupa terhadap tugas utama menjadikan bangsa ini adil, makmur, maju, sejahtera, dan berperadaban. Mengutamakan kepentingan diri sendiri hingga merugikan rakyat.
Dilansir oleh detiknews.com (29/01/2020), angka kemiskinan nasional September 2019 yang baru saja dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pada 15 Januari lalu telah mencapai angka 9,22%. Persentase ini menurun sebesar 0,19 persen poin dari kondisi Maret 2019 dan 0,44 persen poin dari kondisi September 2018.
Atau seperti yang dilansir oleh katadata.co.id (02/02/2020), Bank Dunia merilis laporan bertajuk "Aspiring Indonesia, Expanding the Middle Class" pada akhir pekan lalu (30/1). Dalam riset itu, 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin. Tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini di bawah 10% dari total penduduk. Penduduk Indonesia belum mencapai pendapatan yang aman. Alhasil, mereka rentan miskin. "Mereka belum mencapai keamanan ekonomi dan gaya hidup kelas menengah," demikian dikutip dari laporan Bank Dunia, (30/1).
Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak. Allah Swt. berfirman: "Kewajiban para ayah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga secara layak." (QS. al-Baqarah [2]: 233).
Saat ini kemiskinan yang menimpa umat lebih kepada kemiskinan struktural/sistemik, yakni kemiskinan yang diciptakan oleh sistem yang diberlakukan oleh negara/penguasa. Itulah sistem kapitalisme, liberalisme, sekularisme. Sistem inilah yang telah membuat kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Akibatnya, jutaan rakyat terhalang untuk menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan tersebut yang sejatinya adalah milik mereka.
Rakyat dibiarkan untuk hidup mandiri. Penguasa/negara lebih banyak berlepas tangan ketimbang menjamin kebutuhan hidup rakyatnya. Di bidang kesehatan, misalnya, rakyat diwajibkan membayar iuran BPJS setiap bulan. Artinya, warga sendiri yang menjamin biaya kesehatan mereka, bukan negara.
Cara Islam mengentaskan kemiskinan:
Pertama, Secara Individual. Allah Swt. memerintahkan setiap muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Kedua, Secara Jama'i (kolektif). Allah Swt. memerintahkan kaum muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah saw. bersabda: "Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu." (HR. ath-Thabrani dan al-Bazzar).
Ketiga, Allah Swt. memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah saw. bersabda:
"Pemimpin atas manusia adalah penguasa dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Dahulu di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. Saat menjadi khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab biasa memberikan insentif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Atau Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang membuat kebijakan pemberian insentif untuk membiayai pernikahan para pemuda yang kekurangan biaya. Dan pada masa kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah-rumah sakit lengkap dan canggih pada masanya, yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.
Hal di atas hanyalah sekelumit peran yang dimainkan penguasa sesuai dengan tuntunan syariat Islam untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Karena itu saatnya kita campakkan sistem selain Islam yang telah terbukti mendatangkan musibah demi musibah kepada kita. Sudah saatnya kita kembali pada syariat Islam yang berasal dari Allah Swt. Hanya syariat-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia. Lebih dari itu, penerapan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan adalah wujud ketakwaan yang hakiki kepada Allah Swt.
Wallahu a'lam bishshawaab
Tags
Opini