Bullying : Akibat Sistem Pendidikan Sekuler



        Oleh : Fitria Arpani, S.Pd
Praktisi Pendidikan Dan Aktivis Muslimah Besemah

Tren laporan perudungan hingga kini terus meningkat. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak, Jastra Putra mengatakan dalam kurun waktu 9 tahun dari 2011 hingga 2019 KPAI mencatat 37.381 pengaduan mengenai anak. Terkait dengan perudungan baik di media sosial dan di dunia pendidikan laporannya mencapai 2.473 laporan. (Republikaco.id)

Fantastis bukan? ini tentu hanya fenomena gunung es. Sebab jumlah tersebut hanya yang dilaporkan sehingga sedikit yang terlihat dipermukaan. Sementara kasus-kasus lain yang besar namun tidak dilaporkan masih banyak tersimpan bahkan terlupakan.

Terbukti dari Januari sampai Februari 2020, setiap hari publik kerap di suguhi berita fenomena kekerasan anak. Seperti siswa yang ditemukan meninggal di gorong-gorong sekolah, siswa yang ditendang lalu meninggal, serta siswi SMP yang bunuh diri dengan cara lompat dari lantai 3 gedung sekolahnya. Sudah berulang kali bahkan telah banyak sekali yang menulis dan berbicara persoalan kekerasan di dunia remaja kita yang hingga kini masih terus terjadi.

Wajar ketika malang tak kunjung hilang. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengaku belum punya terobosan baru untuk mencegah kekerasan dan perudungan di sekolah. Direktorat Jendral PAUD, Pendidikan Dasar dan Menengah, Haris Iskandar. Mengatakan bahwa kasus-kasus perudungan yang terjadi telah ditangani. Sementara untuk antisipasi belum ada come up untuk ide baru. (cnnindonesia.com)

Sikap yang ditunjukan oleh Kemendikbud, merupakan konfirmasi kepada masyarakat bahwa pemerintah gagal dalam membangun Sumber Daya Manusia bangsa yang saat ini menerapkan sistem pendidikan sekuler. Manusia yang lahir  miris empati dan minim solusi, ditengah banyaknya korban kekerasan dan perudungan di sekolah yang bahkan terus meningkat setiap tahunnya dengan begitu entengnya mengatakan belum memiliki terobosan ide baru untuk mengantisipasi masalah ini. Apakah begitu murah harga nyawa dalam sistem sekuler hingga tak ada langkah serius guna menyelesaikan masalah ini?

Sekulerisme Melahirkan Generasi Amburadul

Indonesia darurat kekerasan remaja. Bullying sebagai salah satu problem masif bangsa ini. Maraknya kekerasan oleh remaja tentu beralasan dan tentu tak mungkin tanpa sebab. Maka setidaknya ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, disfungsi orangtua di rumah. Banyak orangtua tidak paham dan tidak fokus dalam mendidik anak. Banyak orangtua hanya berperan sebagai pabrik anak dan mesin ATM ketimbang sebagai pendidik pertama dan utama untuk anak.
Banyak orangtua hanya tahu melahirkan dan memberi makan anak ketimbang menjalankan fungsi tarbiyah/pendidikan pada anak. Banyak lelaki tidak paham kalau ia harus menjalankan fungsi ayah dan bukan hanya menjadi ayah. Para ‘ayah’ macam ini hanya mengandalkan uang atau kekerasan dalam membersamai anak. Minim peran sebagai pendidik. Kalaulah tidak memanjakan anak dengan fasilitas, mereka hanya bisa memarahi anak. Miskin solusi dan tidak menginspirasi. Bagaimana dengan para ibu? Mohon maaf, tidak sedikit juga perempuan yang baru bisa menjadi ibu tapi belum menjalankan peran sebagai ibu. Mereka tahu cara melahirkan, tapi bingung atau cuek dalam pendidikan anak. Banyak ibu yang menyenangkan sebagai teman jalan, teman makan, teman bermain, tapi belum menjadi pendidik yang menyenangkan dan inspiratif untuk anak-anak mereka.
Dari disfungsi orangtua, anak-anak tumbuh dengan jiwa antisosial; pemarah, tak mau kalah, dan miskin empati.

Kedua, selain orangtua remaja kita juga punya ‘pengasuh’ lain, lingkungan dan negara. Kedua pengasuh ini sekarang juga sedang krisis. Sama-sama alami disfungsi. Negara memiliki kekuatan dan kekuasaan yang mampu mendisiplinkan para pemudanya dan membentuk karakter kasih sayang dalam diri mereka. Akan tetapi alih-alih memberikan nilai positif dan menguatkan nilai agama. Negara dengan sistem sekulernya justru menjadi lingkungan sosial remaja yang penuh dengan budaya hedonisme, belum lagi tontonan kekerasan, dampak negatif gawai dan penghakiman media sosial menjadi racun yang di santap setiap saat oleh remaja-remaja kita. Maka wajar jika kerusakan pada remaja juga terus terjadi secara sistemis. Hal ini karena sistem yang ada baik sistem pendidikan, sistem pergaulan, sistem hukum, dan sistem informasi tidak mendukung untuk penjagaan remaja dari kerusakan.

Islam Rahim Terbaik Generasi Unggul

Negara mempunyai peran penting dalam pembentukan kepribadian karakter anak melalui sistem pendidikan yang diterapkan. Namun jika melihat bagaimana pendidikan di negara ini nyata hanya melihat keberhasilan prestasi siswa didik dari nilai di atas kertas. Prestasi yang dibanggakan pun jauh dari pembentukan kepribadian dan akhlak terpuji. Hal ini adalah buah dari sistem pendidikan sekuler. Maka berharap lahirnya generasi terbaik serta unggul pada sistem sekuler-demokrasi sungguh mustahil.

Islam memandang remaja/pemuda/syabab sebagai akar dari sikap optimis dan positif serta merupakan wujud keimanan terhadap Allah Swt. Pada masa kejayaan Islam, tak ada pemuda yang santai, yang hanya mengejar popularitas. Semua pemuda ingin berkontribusi memajukan pendidikan dan negaranya, juga untuk agamanya. Karena itu, di era Khilafah bermunculan remaja yang sudah mampu memberikan fatwa. Iyash bin Mu’awiyah, Muhammad bin Idris as-Syafii, misalnya, sudah bisa memberikan fatwa saat usianya belum genap 15 tahun.

Mereka juga dibiasakan oleh orang tua-orang tua mereka untuk mengerjakan salat, berpuasa, berzakat, nifas hingga berjihad. Produktivitas remaja di era Khilafah pun luar biasa. Banyak karya ilmiah yang mereka hasilkan saat usia mereka masih muda. Begitu juga riset dan penemuan juga bisa mereka hasilkan ketika usia mereka masih sangat belia. Semuanya itu merupakan dampak dari kondusivitas kehidupan masyarakat di zamannya.

Peran negara, masyarakat dan keluarga begitu luar biasa dalam membentuk karakter dan kepribadian mereka. Selain kesadaran individunya sendiri. Karena itu, tradisi seperti ini terus berlangsung dan bertahan hingga ribuan tahun. Bahkan, tradisi seperti masih dipertahankan di beberapa negeri kaum Muslim, meski Khilafah yang menaunginya telah tiada.

Penjagaan Khilafah lewat media pada warga negaranya pun luar biasa. Khilafah melarang semua konten media yang merusak, baik dalam buku, majalah, surat kabar, media elektronik, dan virtual. Sebagai perisai umat, Khilafah berkewajiban menutup semua pintu-pintu kemaksiatan.

Oleh karena itu, untuk menghilangkan bullying pada remaja. Selain dibutuhkan kerja sama antara keluarga, masyarakat, dan peran negara. Maka remaja harus disibukkan dengan ketaatan. Baik membaca, mendengar atau menghafal Al-Qur'an, hadis, kitab-kitab tsaqafah para ulama, atau berdakwah di tengah-tengah umat, dan sebagainya.
Hanya dengan cara seperti itu, mereka tidak akan sibuk melakukan maksiat. Dengan menyibukkan diri dalam ketaatan, waktu, umur, ilmu, harta, dan apa pun yang mereka miliki insya Allah menjadi berkah.
Wallahu’alam Bishawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak