Oleh: Rindoe Arrayah
Fenomena semangat hijrah para muslimah saat ini sedang dibuat resah. Bagaimana tidak? Belum lama berselang, ada seorang tokoh yang menyatakan bahwa jilbab itu tidak wajib hukumnya bagi muslimah.
Pernyataan istri Gus Dur, Sinta Nuriyah Wahid yang menyebutkan wanita muslim tidak diwajibkan untuk berjilbab menuai kontroversi.
Pernyataan yang disampaikan dalam talk show bersama Deddy Corbuzier itu dinilai sebagian umat muslim melenceng dari ajaran Islam. (Wartakota, 21/1/2020)
Demokrasi sebagai sistem yang rusak dan merusak adalah biang keladi dari semua ini. Kebebasan berpendapat yang selalu diagung-agungkan telah memunculkan keraguan dalam benak sebagian kaum muslimin.
Telah jelas adanya bahwa Islam mewajibkan menutup aurat bagi pria dan wanita. Batasan aurat pada tubuh pria dan wanita dalam pandangan Islam diantaranya dijelaskan oleh Muhammad bin Asy-Syasyiy, "Aurat laki-laki adalah antara pusat (pusar) dan lutut. Lutut dan pusar bukanlah termasuk aurat. Pendapat semacam ini dipegang oleh Imam Malik dalam sebuah riwayat dari Ahmad. Sebagian golongan dari kami berpendapat, pusar dan lutut termasuk aurat. Adapun aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan kedua telapak tangan." (Asy-Syasyiy, Haliyat al 'Ulama, 2/53).
Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya memerintahkan kewajiban menutup aurat dan tidak melihat aurat orang lain, "Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lainnya. Jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lainnya." (HR. Muslim)
Sebagaimana halnya pria, wanita juga memiliki batasan aurat. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta'ala dalam surat An-Nur ayat 31 yang artinya, "Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang (biasa) tampak pada diri mereka..."
Ibnu Abbas ra. menyatakan bahwa yang dimaksud dengan frasa "illa maa zhahara minha" dalam ayat di atas adalah muka dan telapak tangan. Imam Ath-Thabari juga menyatakan, "Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa tampak (pada wanita) adalah muka dan telapak tangan." (Imam Ath-Thabari, Jami' Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, XVIII/94).
Menurut Imam Al-Nasafi, yang dimaksud dengan "az-zinah" (perhiasan) di sini adalah "mawadhi' az-zinah" (tempat perhiasan). Artinya, ayat di atas bermakna, "Janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan untuk mengenakan perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak tangan dan dua mata kaki." (An-Nasafi, Madarik At-Tanzil wa Haqa'iq-Ta'wil, 2/411).
Batasan aurat wanita juga didasarkan pada hadits Rasulullah SAW dari 'Aisyah ra. bahwa Asma' binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah SAW dengan memakai pakaian yang tipis (transparan). Rasulullah SAW pun berpaling dari dia dan bersabda, "Asma', sungguh seorang wanita itu, jika sudah haid (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini." Beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangan beliau. (HR. Abu Dawud)
Berdasarkan hadits ini, Az-Zarqani berkata, "Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi (non mahram) adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan." (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)
Masih banyak lagi riwayat shahih yang menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan memang biasa tampak dari wanita pada masa Rasulullah SAW, yakni saat turunnya ayat tersebut. Ketika para wanita itu bertemu dan berbicara dengan Rasulullah SAW. Beliau pun mendiamkan fakta seperti itu.
Seorang muslimah wajib berjilbab dan berkerudung. Hal ini berlaku pada saat keluar dari rumah menuju kehidupan umum. Jilbab berbeda dengan kerudung (khimar).
Dalil mengenai wajibnya mengenakan khimar didasarkan pada Al Qur'an surat An-Nur ayat 31 yang telah dibahas di atas. Menurut Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisan Al-'Arab: Al-Khimar li al-mar'ah: an-nashif (khimar bagi perempuab adalah an-nashif [penutup kepala] ). Menurut Imam Ali Ash-Shabuni, khimar (kerudung) adalah ghitha' ar-ra'si 'ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada) agar leher dan dadanya tidak tampak.
Sedangkan kewajiban berjilbab bagi muslimah ditetapkan berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam Al Qura'an surat Al-Ahzab ayat 59 yang artinya, "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri kaum mukmin, " Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka..."
Sebagaimana dalam kamus Al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdab (terowongan) atau sinmar (terowongan), yaitu baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung. Dalam kamus As-Shahhah, Al-Jauhari mengatakan, "Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula'ah (baju kurung/gamis)."
Berdasarkan pemaparan di atas, mengenakan jilbab merupakan wujud ketaatan seorang muslimah terhadap syariat Allah Ta'ala.
Sistem demokrasi yang selalu berusaha menggerogoti semangat para muslimah untuk berjilbab sesuai syariat haruslah disingkirkan. Sudah tidak layak lagi demokrasi dijadikan sebagai sistem kehidupan, karena telah nyata menuai kebobrokan. Saatnya kita perjuangkan Khilafah yang akan mengantarkan seluruh umat manusia menuju rahmatan lil'alamiin dengan penerapan syariat-Nya, termasuk mengarahkan para muslimahnya untuk senantiasa taat kepada syariat yang mana salah satu diantaranya adalah berjilbab.
Wallahu a'alam bishowab.