Benarkah Untuk Toleran Butuh Terowongan?





Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, Komunitas Ibu Cinta Quran)

Terowongan yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral, Jakarta Pusat rencananya  akan dibangun.  Sebelumnya mantan Gubernur DKI Jakarta yang kini Presiden menyatakan telah menyetujui usulan tersebut.  
Menurutnya, terowongan ini akan menjadi sarana silaturahmi antar dua tempat ibadah tersebut.

"Ini menjadi sebuah terowongan silaturahmi, tidak kelihatan berseberangan tapi silaturahmi. (detik.com, 7/2/2020)

Menyoal Narasi Toleransi

Pernyataan orang nomor satu di negeri ini soal silaturahmi kontan menuai reaksi.  Menarik, karena  datang dari pihak yang selama ini dikenal pendukung kebijakan pemerintah.

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Effendi Simbolon, salah satunya.  Ia  mempertanyakan pembangunan itu. Jika memang ditujukan untuk membangun toleransi antar umat beragama, anggota Komisi 1 DPR RI itu justru mempermasalahkan kenapa bentuknya adalah terowongan bawah tanah. Sayangnya di akhir ia legowo mempersilahkan jika pemerintah tetap ingin membangun terowongan tersebut. (detik.com, 8/2/2020)

Penjelasan pun datang dari Istana. Dari sisi fungsionalnya, terowongan itu untuk mobilisasi jemaah dari Istiqlal ke Katedral atau sebaliknya. Hal itu diungkap Tenaga Ahli Utama KSP Kedeputian Komunikasi Politik, Donny Gahral.
Namun terlepas dari itu, lanjut Donny, Jokowi ingin menarasikan pesan toleransi melalui terowongan silaturahmi. Dia mengatakan terowongan merupakan simbol penghubung antar dua lokasi.   Melalui terowongan mereka terhubung satu sama lain, terhubung bukan semata-mata fisik, tetapi juga hati pikiran sikap, itu yang dilakukan Pak Jokowi, sehingga orang bisa melihat sebagai satu representasi dari nilai-nilai kerukunan toleransi dan kebersamaan.  (detik.com, 8/2/2020)

Jika silaturahmi yang dimaksud bersua menjalin keakraban, mengapa harus lewat bawah tanah?  Terbayang andai jembatan penyebrangan yang dibangun mungkin tak sampai jadi kontroversi seperti ini.

Terpenting, toleransi yang selalu didengungkan sejatinya narasi  sumbang minus fakta.  Mengapa? Ya, sebab perbedaan agama bukan hal baru di dunia.  Dahulu di zaman nenek moyang kita pemeluk masing-masing agama sudah hidup rukun berdampingan. 
 Lalu mengapa sekarang digembar-gemborkan seolah terjadi darurat intoleransi hingga perlu adanya terowongan?

Tak pelak, demokrasi yang mengakar di bumi Pertiwi sudah turut andil sebagai biang kerok dari persoalan.  Karena kebenaran mutlak tak dikenal dalam demokrasi.  Yang ada adalah kebenaran relatif mengikuti suara mayoritas.  Maka toleransi yang diinginkan bukan sebatas mewujudkan kerukunan tanpa meninggalkan prinsip kebenaran masing-masing agama.  Namun  menggiring umat beragama untuk menerima paham relativisme, pluralisme hingga sinkretisme (pandangan bahwa semua agama benar) yang merupakan  produk  demokrasi.  Dampaknya agama dikerat tak lebih sekedar urusan ibadah spiritual tanpa akses dalam urusan kehidupan sehari-hari. Sebab bila semua agama benar, tentu tak satu pun  berhak mengatur yang lainnya.  

Narasi semacam ini  keliru   bila dikaitkan dengan Islam.  Risalah yang dibawa Rasulullah Saw berbeda dengan yang lainnya.  Alquran sebagai kitab suci tak hanya memuat perkara ibadah namun juga seluruh aspek dalam hidup manusia seperti muamalah, hukum, pergaulan hingga pemerintahan.  Sebagaimana firman Allah, 

“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS An Nahl :89) 

Toleransi dalam Islam,  Bukan Sekedar Narasi

Islam telah mengajarkan dan memperagakan toleransi dengan begitu apik sejak masa Rasulullah saw. Islam memberikan tuntunan bagaimana menghargai dan menghormati pemeluk agama lain. Tak ada paksaan non-Muslim untuk masuk Islam.

Rasul saw. pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit, melakukan transaksi jual-beli dengan non-Muslim, menghormati tetangga non-Muslim dan lainnya. Negara Islam perdana di Madinah yang Rasul saw. pimpin kala itu juga menunjukkan kecemerlangannya dalam mengelola kemajemukan. Umat Islam, Nasrani dan Yahudi hidup berdampingan satu sama lain. Meski mereka hidup dalam naungan pemerintahan Islam, masyarakat non-Muslim mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara, memperoleh jaminan keamanan, juga bebas melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

Di suatu masa  kekhilafahan Utsmaniyah pernah terjadi bencana kelaparan hebat (Great Hunger) di Irlandia pada tahun 1840-an.  Khalifah Sultan Abdul Majid saat itu menyumbangkan £ 1.000 untuk bantuan kelaparan bagi rakyat Irlandia  penganut Katolik. Sebuah surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Irlandia di arsip yang tersimpan di Turki saat ini secara eksplisit  berterima kasih kepada Sultan atas bantuannya. Sultan juga dikatakan telah mengirim tiga atau lima  kapal penuh makanan. (Wikipedia)

Perlakuan adil Islam yang diterapkan secara kaffah terhadap non-Muslim bukan sekadar konsep, tetapi sungguh diaplikasikan. Jauh dari tuntutan toleransi ala Barat, melainkan semata menjalankan hukum syariah Islam. T.W. Arnold, dalam bukunya, The Preaching of Islam, menulis, 

“Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi  yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan kepada mereka. Perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen.”

Arnold kemudian menjelaskan, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh kekhilafahan Ottoman, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…Kaum Protestan Silecia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… Kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”
Alhasil, Islam hadir sebagai rahmat bagi kehidupan manusia dan alam semesta. Cukuplah firman Allah SWT, 

“....Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al Maidah :3) Wallaahu a'lam.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak