Benarkah Tenaga Honorer Adalah 'Beban'?




Oleh : Rengga Lutfiyanti

Pemerintah kembali membuat sebuah keputusan yang mengejutkan, yaitu adanya penghapusan tenaga honorer oleh pemerintah pusat. Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo, menceritakan anggaran pemerintah pusat terbebani dengan kehadiran tenaga honorer. Pasalnya, setiap kegiatan rekrutmen tenaga honorer tidak diimbangi dengan perencanaan penganggaran yang baik. Penghapusan tenaga honorer sendiri sudah disepakati Kementerian PAN-RB dan BKN dengan Komisi II DPR. Ke depannya, pemerintah juga mengimbau kepada seluruh pejabat negara untuk tidak merekrut tenaga honorer (detikfimamce.com, 25/01/2020).

Keputusan tersebut tentu saja membuat para tenaga honorer cemas akan nasib mereka kedepannya. Seperti yang disampaikan kabar-banten.com, (24/01/2020), sebanyak 1.800 guru honorer di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) terancam nasibnya, bahkan berada di ujung tanduk. Hal tersebut terkait akan dihapuskannya tenaga honorer di lingkungan pemerintahan oleh pemerintah pusat. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tangsel Taryono mengatakan, pihaknya akan memperjuangkan nasib guru honorer tersebut. Sebab, penghapusan honorer, menurut dia, tidak bisa dilakukan begitu saja.

Hal tersebut menjadi indikasi gagalnya negara penganut sistem sekuler dalam mengatasi masalah penyaluran tenaga kerja. Karena pada awalnya rekrutmen tenaga honorer adalah upaya mengurangi pengangguran sekaligus pemerintah mendapat tenaga yang mau dibayar rendah (sesuai budget negara) karena belum berpengalaman atau janji direkrut sebagai ASN. Padahal dengan adanya penghapusan tenaga honorer, secara tidak lansung telah bertentangan dengan UUD 1945. Yaitu pada Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi, "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.”

Inilah akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme, dimana sistem ini hanya memandang dari sisi kemanfaatannya saja. Sehingga cara pandang dalam sistem kapitalisme terhadap rakyat hanya memandang dari sisi ekonomis (untung-rugi) saja. Diterapkannya sistem kapitalisme membuat rakyat semakin terhimpit. Dan rakyatlah yang tetap menjadi korban dari kebobrokan sistem kapitalisme ini. Hal ini sungguh berbanding terbalik dengan sistem pemerintahan Islam, dimana kesejahteraan rakyat adalah hal yang penting dan sangat diperhatikan.

Islam memandang rakyat sebagai sebuah amanah bagi suatu negara. Dimana negara wajib untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi rakyatnya. Karena negara berfungsi sebagai pelayan (raa'in) dan pelindung (junnah) bagi rakyat. Rasulullah saw bersabda, “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat, dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari-Muslim)

Dalam sistem pemerintahan Islam, negara bertanggung jawab untuk memampukan setiap warga negara dalam memenuhi kebutuhan dasar individu (sandang, pangan, papan). Wujud pemenuhan kebutuhan dasar bagi individu salah satunya adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang luas dan iklim usaha yang kondusif. Tidak hanya menyedikan lapangan pekerjaan, tetapi dalam sistem pemerintahan Islam negara wajib menyediakan sarana dan prasarana, modal usaha yang diambil dari baitul mal. Dan bagi warga negara yang belum cukup keterampilan maka negara menyelenggarakan penyuluhan dan pelatihan sampai mereka memiliki skill yang cukup untuk bekerja tanpa dibatasi waktu tertentu. Semua itu diberikan secara gratis tanpa harus dikembalikan dengan sistem pinjaman ribawi. Dan ini berlaku tidak hanya untuk kaum muslim saja tetapi juga untuk kalangan non muslim yang menjadi warga negara daulah Islam.

Begitulah seharusnya negara bersikap, sehingga tidak akan ada lagi pengangguran, kebutuhan pokok mereka dapat terpenuhi serta tidak akan ada pihak yang terdzolimi. Dengan demikian akan tercipta sebuah masyarakat yang adil dan sejahtera. Dan itu semua hanya bisa terwujud dalam sistem kepemimpinan Islam, yaitu Khilafah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak