Oleh Iiv Febriana
Pengajar dan Aktivis Komunitas Muslimah Rindu Syariah Sidoarjo
Bawang putih merupakan salah satu bahan yang wajib tersedia dalam masakan bagi mayoritas masyarakat Indonesia. Kebutuhan bawang putih yang begitu besar tak sebanding dengan hasil panen dalam negeri, menjadikan Indonesia negara pengimpor bawang putih terbesar nomer satu di dunia menurut data UN Comtrade.
Dalam hal ini Cina menjadi pemasok utama bawang putih. Alasan lainnya, kualitas bawang putih impor terutama dari Cina dinilai lebih bagus dari bawang lokal yang ukurannya kecil dibanding bawang impor.
Namun yang terjadi belakangan ini sejak merebaknya isu virus corona di Cina, menyebabkan kran impor bawang putih mandeg. Hal ini berimbas pada melonjaknya harga bawang putih. Sudah hampir dua pekan harga bawang putih di pasaran Batam sangat mahal, yaitu kisaran harga Rp 55 ribu /kg (batampos.co.id,17/02/2020).
Di Purwakarta Jawa Barat, harga bawang putih juga melonjak hingga dua kali lipatnya. Bawang putih dijual eceran oleh pedagang sebesar Rp 60.000-80.000/kg. Di Pasar Induk Caringin, Bandung, perubahan harga bawang putih setali tiga uang. Harganya mencapai Rp 50.000-Rp 60.000 per kg dari harga Rp 35.000/kg (money.kompas.com, 09/02/20202).
Permainan Importir Bawang Putih
Dalam sidang kasus suap kuota impor bawang putih PT Cahaya Sakti Agro (CSA) yang melibatkan satu orang anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Dhamantra di Pengadilan Tipikor, Jakarta, seorang wiraswasta Indiana alias Nino menyebutkan adanya jalur lain untuk mengurus surat persetujuan impor (SPI) bawang putih di Kementerian Perdagangan (Kemendag), yaitu melalui istri menteri (detik.com, 17/02/2020).
Satu kasus suap diantara sederet kasus suap kuota impor menandakan betapa kuat pengaruh ‘money power’ yang dilakukan korporasi (pemodal). Tak heran jika solusi kelangkaan bahan pangan selalu berakhir dengan solusi instan, yaitu impor. Bahkan jika lobinya kuat, bahan pangan yang tak mengalami kelangkaan pun bisa diimpor. Seolah negeri ini tidak mempunyai solusi lain untuk menghentikan ketergantungan pada impor barang.
Swasembada pangan seolah jargon pencitraan, bagaimana tidak, kebijakan impor hanya menguntungkan segelintir pihak mafia yang bermain di sektor ini dan tidak pernah berpihak pada rakyat, bahkan berdampak pada semakin terpuruknya kesejahteraan rakyat terutama petani.
Problem kenaikan harga pangan yang selalu berulang, adanya mafia pangan dan ketidaksinkronan antara kebijakan impor dengan data kementerian pertanian, menunjukkan betapa carut marutnya tata kelola dan data pangan di negeri kita ini.
Solusi Mengatasi Kelangkaan Bahan Pangan
Islam dengan serangkaian hukumnya mampu merealisasikan swasembada pangan,agar sebuah negara terbebas dari krisis pangan berulang dan berkepanjangan. Salah satu fungsi dan tugas negara adalah memastikan tersedianya berbagai kebutuhan masyarakat.
Karena itu, negara tidak hanya memastikan mekanisme supply and demand (penawaran dan permintaan) berjalan dengan lancar, tetapi juga harus dijauhkan sejauh-jauhnya dari berbagai aspek penipuan, pemerasan dan sebagainya.
Sistem Islam juga sangat menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan produktivitas tanah sebagai lahan tanam. Mekanisme ‘menghidupkan tanah mati’, serta melakukan serangkaian riset dan penemuan baru di bidang pangan.
Negara juga harus memberikan perhatian terhadap sarana dan prasarana yang menunjang distribusi hasil pertanian misalnya penyediaan alat transportasi yang memadai demi kelancaran distribusi sampai ke tangan konsumen.
Demikianlah solusi Islam dalam menyelesaikan masalah melonjaknya harga kebutuhan pangan. Konsep tersebut tentu baru dapat dirasakan kemaslahatannya dan menjadi rahmatan lil alamin bila ada institusi negara yang melaksanakannya sesuai garis besar yang diturunkan oleh Sang Maha Pencipta dan Pemilik alam semesta. Wallahu ‘alam Bish Showwab.
Tags
Opini