Bank Emok bikin Emak Kepentok




      Oleh: Milna Hijriani


Laki-laki sejatinya adalah tulang punggung keluarga. Merekalah yang berkewajiban menafkahi keluarganya, mulai dari kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan juga berbagai keperluan lainnya untuk menunjang kehidupan sehari-hari.


Namun apa jadinya jika tulang punggung kehilangan kekuatannya? Bukan hanya kehilangan kekuatan dari tiap individu kepala keluarga, namun kekuatan itu sengaja dihilangkan, direnggut kekuatannya dengan minimnya lapangan kerja yang tersedia bagi kaum pria.


Maka disinilah kaum wanita bertindak, para emak akan maju kedepan memasang badan mereka agar dapur mereka tetap mengepul. Akan tetapi tak banyak pilihan bagi para emak dari kaum menengah kebawah untuk bisa meraup pundi rupiah. Dari sinilah hadir peluang bagi rentenir untuk memberikan ’’solusi’ yang seolah menjadi harapan besar para emak untuk mendapatkan pinjaman dengan mudah dan cepat, Bank Emok namanya.


Emok yang diambil dari Bahasa Sunda yang artinya cara duduk perempuan lesehan dengan bersimpuh menyilangkan kaki belakang sendiri sudah bisa menyiratkan bahwa fenomena rentenir berkedok pinjaman mikro ini kini marak di daerah Jawa Barat. Dinamakan Bank Emok karena targetnya memang adalah para emak yang duduk berkumpul di satu rumah. 


Bagai buah simalakama, mendesaknya kebutuhan hidup melawan pinjaman mudah namun berbunga tinggi membuat Bank Emok menjadi idaman namun berakhir menjadi momok yang menakutkan. 


Memang mudah mendapatkan pinjaman dari Bank Emok ini, cukup bermodalkan KTP, kucuran pinjaman sudah bisa ada dalam genggaman. Akan tetapi, selain bunga tinggi yang sudah jelas merupakan riba yang diharamkan dalam Islam, sistem pinjaman berkelompok ini juga bisa menjadi penghancur hubungan antar tetangga bahkan keluarga. 


Mengapa demikian? Pasalnya Bank Emok ini hanya memberikan pinjaman kepada kelompok yang terdiri dari 10 orang atau lebih. Maka pinjaman yang bisa diberikan dalam jumlah besar ini menjadi tanggungan bersama yang artinya, jika saatnya pembayaran cicilan pinjaman tiba namun ada anggota yang belum bisa membayar, maka anggota yang lainlah yang harus menutupi kekurangan cicilan tersebut.


Bayangkan jika terjadi salah satu anggota yang terus menerus tidak bisa membayar cicilan, tentu anggota lain akan keberatan dan membuat hubungan saudara merenggang. 


Bahkan bukannya membuat dapur tetap bisa mengepul, banyak pula para emak yang mengambil pinjaman pada Bank Emok ini tanpa sepengetahuan suaminya, hingga akhirnya rumah tangganya  memanas.


Bukan hanya hubungan kerabat dan pasangan yang jadi korban, hunian tempat berlindung dari panas dan hujan pun bisa menghilang. Seperti yang terjadi pada Titin warga Kampung Bojonggenteng Kabupaten Sukabumi yang rumahnya disegel Bank Emok karena belum melunasi tunggakan hutangnya.


Yang lebih berbahaya, akibat tak dapat melunasi hutang Bank Emok ini, emak tega pergi menelantarkan anak-anaknya karena takut ditagih hingga memilih menghilangkan nyawanya sendiri akibat tak mampu lagi menanggung beban.


Jika berbagai kejadian memilukan ini telah banyak terjadi, maka tentu masalah ini menjadi tanggung jawab pemerintah yang harus segera diselesaikan.


Namun jika pemerintah memberikan solusi bunga pinjaman yang rendah seperti yang diharapkan warga, tentu itu bukanlah penyelesaian yang tepat karena tetap ada riba didalamnya.


Pemerintah seharusnya mengembalikan fungsi kepala keluarga dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi mereka guna menjamin kesejahteraan setiap keluarga, bukan malah membuka keran investasi bagi asing hingga menjamurnya tenaga kerja asing di Indonesia yang artinya membiarkan asing mengelola sumber daya alam.


Padahal Islam telah mengatur pengelolaan sumber daya alam oleh pemerintah.

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Artinya bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki individu apalagi dimiliki asing. Pemerintahlah yang  harus bijak mengelola ketiga hal ini hingga seluruh rakyat dapat merasakan manfaat secara adil hingga tidak ada kesenjangan sosial yang membuat emak kepentok hingga harus berhadapan dengan Bank Emok.


Wallahu alam bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak