Oleh: Hetik Yuliati, S.Pd (Aktivis Dakwah, Pengajar)
Kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang bergulir belakangan, seolah menjadi bola liar pembuka borok perusahaan-perusahaan asuransi lainnya. Penyidikan kasus dugaan korupsi dan gagal bayar Jiwasraya ini mencapai Rp 12,4 triliun. Sebelumnya, kasus serupa juga menimpa AJB Bumiputera, yang mengalami gagal bayar klaim outstanding sebesar Rp 2,7 triliun hingga akhir Januari 2018. Bakrie Life juga mengalami kesulitan keuangan akibat kesalahan dalam penempatan investasi. Ada sekitar 200 nasabah pemilik dana Rp 270 miliar yang belum dilunasi. Kasus serupa juga pernah dialami PT Asuransi Bumi Asih Jawa yang telah dicabut perizinan usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2013 dengan kerugian sebesar Rp 1,06 triliun (Kompas,22/12/2019).
Permasalahan keuangan dan dugaan korupsi di perusahaan asuransi, juga menyandera PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau ASABRI. Hal ini terkait dengan kinerja portofolio saham ASABRI di pasar saham yang mayoritas mengalami penurunan signifikan sejak akhir 2017 hingga akhir 2019. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau BPJS juga terancam defisit keuangan. Defisit BPJS Kesehatan menurut Koordinator BPJS Watch pada tahun 2019 sekitar Rp17 triliun (Liputan 6, 13/01/2020).
Kasus di atas merupakan serentetan masalah hasil dari sistem ekonomi kapitalis yang dianut di Indonesia. Kapitalisme menurut Wikipedia adalah sistem ekonomi di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar. Pemilik modal dalam melakukan usahanya berusaha untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Hal inilah yang sering kali membuat para pelaku ekonomi kapital melakukan segala hal, baik itu yang halal ataupun yang diharamkan Allah, untuk meraup keuntungan besar, salah satunya dengan produk asuransi.
Islam tidak mengenal asuransi, dan akad (transaksi) asuransi dalam islam bathil disebabkan oleh dua hal. Pertama akad asuransi tidak memenuhi syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam sebuah transaksi syar’i, agar transaksi tersebut bisa disebut sebagai sebuah transaksi yang sah. Syarat akad menurut Syariah harus terjadi pada barang atau jasa. Apabila tidak terjadi pada barang atau jasa, maka statusnya adalah bathil. Adapun akad (transaksi) hanya berwujud janji atau jaminan pertanggungjawaban yang tidak bisa dianggap sebagai barang ataupun jasa.
Kedua, tanggungan yang diberikan oleh pihak asuransi tidak sesuai dengan Syariah islam. Perusahaan asuransi tidak memenuhi syarat terlaksananya suatu jaminan, begitu juga syarat keabsahannya. Di dalam sistem penjaminan harus ada pihak penjamin, yang dijamin, dan yang mendapat jaminan. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka jelas bahwa transaksi tersebut bathil. Atas dasar ini, maka hukum asuransi secara keseluruhan adalah haram. (An-Nabhani, Taqiyuddin : 2012)
Kasus kerugian atau gagal bayar yang dialami oleh berbagai perusahaan asuransi ini merupakan hasil dari perbuatan yang diharamkan Allah. Salah satu produk kapitalis berupa asuransi ini dimanfaat beberapa pihak untuk mengumpulkan modal besar dari masyarakat luas, lalu dipergunakan sebagai modal usaha perusahaan. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi kapitalis yaitu mengeluarkan modal sekecil-kecilnya yaitu dengan modal janji atau jaminan pertanggungjawaban untuk mengdapatkan modal dari nasabah asuransi, untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, salah satu caranya dengan bermain jual beli saham atau memulai usaha lainnya.
Dalam prakteknya, ini mampu menghasilkan keuntungan yang sangat besar, namun juga terkadang menimbulkan kerugian yang besar artinya seperti gambling antara untung atau rugi. Untuk itu, tidak aneh jika banyak perusahaan asuransi yang gulung tikar, karena jelas bahwa akad (transaksi) asuransi sudah bathil sejak awal, dan harta yang diperoleh dari transaksi ini adalah haram. Harta haram tidak akan pernah mendapatkan berkah dari Allah, dan hanya akan mendatangkan kemudharatan.
Sistem kapitalis merupakan sistem yang juga sudah sakit dan cacat sejak lahir. Jika sistem ini terus menerus diterapkan, maka output yang dihasilkan hanyalah kerusakan dan kemudharatan. Segala hal yang tidak sesuai dengan aturan Allah, hanya akan mendatangkan kerusakan dan merusak. Untuk itu kembali kepada aturan Allah sang Khaliq Al-Mudabbir adalah satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan manusia, baik di dunia dan di akhirat. Wallohu a’lam bisshowab.
Tags
Opini