Toleransi yang Kebablasan



Oleh : Hikmah, S. Pd*


"Berat sama dipikul ringan sama dijinjing" merupakan salah satu peribahasa yang tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Mungkin peribahasa tersebut bagus kalau diterapkan pada hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Tapi menjadi tidak pas kalau diterapkan untuk masalah keyakinan. 

Saat ini sebagian masyarakat di negeri kita tercinta ini ada yang mencampuradukkan masalah keyakinan, tidak paham bagaimana membedakan masalah kemanusiaan dengan masalah keyakinan atau akidah.

Sebagaimana yang diberitakan oleh beberapa media. "Dibalut suasana kekeluargaan dan kegembiraan, Puncak Perayaan Natal Bersama TNI, Polri, Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Umat Kristiani Tahun 2019 digelar di Ballroom Grand Mitra Plaza Banjarmasin, perayaan Natal Bersama tahun ini terasa makin semarak saat para Anggota Forkopimda Provinsi Kalsel dan Kota Banjarmasin serta tokoh-tokoh Banua sumbangkan suaranya di atas panggung.(Banjarmasinpost, 27/12/2019)

Senada dengan berita di atas. "Bagi Nabillah, mengucapkan selamat Natal dan ikut berpartisipasi dalam suasana perayaan merupakan bagian dari upaya saling menghormati perbedaan. "Enggak ada masalah. Aku ikut bahagia ketika teman-teman rayakan Natal, karena itu juga hari raya suka cita."

Walaupun enggak merayakan, tapi aku ikut senang karena mereka merasa senang juga," ujar Nabillah kepada BBC News Indonesia. Padahal tidak seharusnya perayaan hari raya dirayakan secara bersama-sama antar pemeluk agama yang berbeda. Hal itu bukanlah bagian dari toleransi.

Ada juga yang berpendapat bahwa mengucapkan selamat terhadap hari raya agama lain tidak akan melunturkan keimanan. Berakidah tidak bisa berdasarkan pendapat manusia, kita telah meyakini bahwa satu-satunya agama yang benar dan diridai oleh Allah hanyalah Islam. Logikanya apakah benar sesuatu yang salah kita beri ucapan selamat.


Sebagai ummat Islam harusnya kita mencontoh bagaimana bertoleransinya Rasulullah. Toleransi telah  dicontohkan Rasulullah saat empat pemuka kafir Quraisy yakni Al-Walid bin Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad ibnul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf datang menemui Rasulullah seraya berkata, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami, kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al-Qurtubi/14:425)

Sebagai jawaban dari perkataan mereka, kemudian Allah menurunkan surat Al-Kafirun ayat 1-6 yang menegaskan bahwa tidak ada toleransi dalam hal yang menyangkut akidah. Allah SWT berfirman : “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (TQS. Al-Kafirun: 6). 

Sikap toleransi pun dijelaskan oleh Allah dalam Alquran surat Al-Mumtahanah ayat 8-9, “Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. 

Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.

Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim.” (TQS. Al-Mumtahanah: 8-9)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah kalian berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.” (Tafsir Alqur’anul ‘Azhim, surat ke 7 ayat 247)

Inilah toleransi yang  diajarkan di dalam Islam. Allah  telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk bertoleransi pada orang-orang di luar Islam. Namun demikian, sikap toleransi tidak boleh dipraktikkan dalam hal yang menyangkut akidah. 

Masalah Akidah ini tidak bisa hanya diserahkan kepada kekuatan iman masing-masing individu ummat ataupun kepada para ulama untuk menjaganya. Tetapi perlu sinergis dari penguasa karena merekalah yang mempunya kekuatan sistematis yang bisa menjaga dari segala lini. Dan yang mampu menjaganya hanya negara yang berlandaskan pada aturan yang bersumber dari pencipta Alam semesta ini yaitu syari'at Islam. Wallahu a'lam bishshawab.

*Guru SMPN 2 Astambul,
Pemerhati Pendidikan dan Generasi

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak