Oleh: Ghoziyah Almustanirah
(Member Akademi Menulis Kreatif dan Pemerhati Masalah Publik)
Dilansir oleh, 100KPJ.com, 25/12/2019, Tol Elevated Jakarta Cikampek II atau Tol Layang Japek mulai beroperasi sejak 15 Desember 2019 lalu, setelah diresmikan oleh Presiden Jokowi pada 12/12/2019. Namun, belakangan jalan tol tersebut ramai menjadi perbincangan.
Jalan tol sepanjang 36,4 kilometer yang membentang dari Simpang Susun Cikunir hingga Gerbang Tol Karawang Barat itu memiliki permukaan bergelombang. Sehingga, penggunanya merasa tidak nyaman dan capek saat melintas.
Tapi, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementrian PUPR) memastikan aman. Karena sudah melakukan uji beban, serta uji laik fungsi oleh Komisi Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan dari Bina Marga.
Ada beberapa alasan kenapa Jalan Tol Japek ini bergelombang. Diantaranya, menyesuaikan dengan struktur di bawahnya, yaitu overpass dan jembatan. Secara geometrik jalan dan secara desain sudah memenuhi kaidah teknis.
Desain jalan bergelombang juga bertujuan agar pengemudi senantiasa fokus dan tidak lengah serta mengantuk saat memacu kendaraan.
Jalan Tol Layang Japek II Elevated ada di setiap 180 meter dan sambungan ini didesain untuk tahan gempa.
Namun beberapa pengguna jalan justru banyak yang mengeluarkan kritik dan keluhan. Sebab, kondisi jalan ini dinilai terlalu bergelombang. Kondisi ini menggangu kenyamanan bahkan membahayakan pengemudi. Gelombang yang kuat bahkan membuat pengendara merasa mual.
Baru dibuka, tapi sudah terjadi kecelakaan beruntun di Tol Japek ini. Minggu 22 Desember 2019, terjadi insiden kecelakaan. Belum jelas kronologi dan penyebab kecelakaan ini. Tapi pihak Jasa Marga membenarkan kejadian ini. Corporate Communication Department Head PT Jasa Marga (Persero) Tbk, Faiza Riani mengatakan, bahwa kecelakaan ini terjadi sekitar pukul 09.00 WIB. Akibat dari kecelakaan ini terjadi kemacetan panjang hingga dua jam.
Niat baik membangun infrastruktur seperti jalan tol layang ini prematur. Tidak mempertimbangkan berbagai kemungkinan buruk yang akan terjadi. Salah satunya masalah kendaraan yang bisa mogok di tengah jalan.
Untuk itu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut, Jalan Tol Layang Japek tidak efektif untuk mengurai kemacetan. Apalagi saat akhir pekan dan masa liburan. YLKI mendesak pemerintah untuk melakukan evaluasi agar jalan Tol Layang Japek ini bisa lebih baik lagi terutama dalam hal manajemen.
Selain itu, ada 13 kasus mobil pecah ban di Tol Layang Japek. Tapi PT Jasa Marga menampik jika kejadian ini akibat kontruksi jalan terutama sambungan antargirder atau expansion joint tidak rata. Direktur Operasi PT Jasa Marga Tbk, Subakti Syukur menyebut kasus ini disebabkan kondisi ban kendaraan tersebut yang sudah tipis.
General Manajer Traffic PT Jasa Marga Jalan Tol Layang Japek, Aprimon mengatakan, ada 26 sambungan antargirder yang rusak. (Tempo.co, 19/12/2019)
Inilah akibat jika hanya fokus pada pembangunan fisik. Apalagi dalam sistem kapitalis saat ini yang jadi tolak ukur adalah keuntungan, bukan kemaslahatan, rakyat. Bahkan, mengabaikan nasib rakyat.
Salah satu bentuk keberhasilan seorang pemimpin adalah melakukan pembangunan. Ini bisa menjadi bukti kerja nyata dan keberhasilannya. Namun, apalah guna semua pembangunan fisik jika tidak memberi manfaat bagi rakyat?. Apalagi saat kondisi negara sedang sulit secara ekonomi. Membangun jalan tol layang, bukanlah sesuatu yang penting dan mendesak. Apalagi sudah ada fasilitas jalan sebelumnya yang masih layak digunakan.
Alasan mengurai kemacetan juga tidak tepat. Karena, sumber kemacetan bukanlah karena jalan yang kurang lebar atau banyak. Tapi terus bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang melintas.
Ini juga disebabkan moda transportasi umum belum memadai. Serta budaya hedonis dan konsumtif masyarakat.
Jalan adalah fasilitas publik yang seharusnya dikelola oleh negara yang manfaatnya bisa dinikmati oleh semua masyarakat tanpa kecuali. Namun, karena saat ini penguasa sekaligus pengusaha, maka ia berhitung untung rugi dengan rakyatnya.
Memang saat pembukaan jalan Tol Layang Japek ini Presiden Jokowi menginstruksikan untuk gratis hingga tahun baru. Setelah itu, para pengguna wajib membayar. Tentunya dengan harga yang tidak murah. Sehingga, tidak semua masyarakat dapat merasakan manfaatnya.
Suatu kebanggaan ketika memiliki fasilitas jalan yang baru. Tapi jika pembangunan itu didanai dari hasil utang, maka untuk apa?
Pembangunan jalan Tol Layang Japek ini berasal dari pinjaman 16 gabungan perbankan dan lembaga sebesar Rp.11,36 triliun.
Sungguh dari fakta di atas kita bisa menyimpulkan bahwa jalan Tol Layang Japek hanya membuat capek. Kita sudah capek dengan seabrek masalah negeri ini. Semua ini karena saat ini kita menerapkan sistem kapitalis yang bertumpu pada asas Sekuler. Dimana, manusia berbuat sesuai hawa nafsu dan akalnya semata. Mengabaikan aturan ilahi yang maha sempurna. Standar kebahagian yang hanya memprioritaskan mendapatkan kebutuhan jasmani dan naluri sebanyak-banyaknya. Sehingga, tidak memedulikan halal haram, serta baik dan buruk.
Ini sangat kontras sekali dengan fakta bagaimana saat Islam dulu diterapkan. Pemimpin benar-benar meriayah rakyatnya dengan sangat baik dan bertanggung jawab.
Umar bin Khatab salah satunya. Ia bahkan bertanggung jawab jika ada seekor keledai yang terperosok di jalan karena kondisi jalan yang rusak di Irak. Hewan saja diperhatikan, apalagi manusia. Tapi hari ini, kita bisa mendengar, atau melihat sendiri kecelakaan demi kecelakaan yang menghilangkan harta bahkan nyawa akibat infrastruktur jalan yang tidak layak. Pembangunan yang ugal-ugalan tanpa perencanaan matang, menelan banyak korban.
Teladan lain adalah Zubaida, istri Khalifah Harun ar Rasyid yang membangun jalan sepanjang 1.500 kilometer yang terbentang dari Kufah hingga Mekkah. Tak hanya itu, di sepanjang jalan itu dibangun sumur-sumur air dan menara api untuk memberi penerangan ketika malam tiba. Semuanya gratis untuk rakyat.
Khalifah Abdul Hamid II pada tahun 1900 mencanangkan proyek Hijaz Railway, yaitu jalur kereta dari Istanbul ke Mekkah. Saat diumumkan proyek ini ke seluruh dunia Islam, umat berlomba memberi wakaf. Mereka sadar ini akan menjadi pahala jariyah untuk mereka. Artinya pembangunan ini bukan berasal dari utang, aplagi berbasis ribawi. Dampak proyek ini waktu tempuh menjadi lebih singkat yang awalnya 40 hari menjadi hanya 5 hari.
Sungguh kita rindu sosok pemimpin yang seperti ini. Pemimpin yang benar dan baik dalam meriayah rakyatnya. Pemimpin yang tidak hitung untung rugi pada rakyatnya sendiri. Adakah pemimpin seperti itu saat ini dalam sistem demokrasi?
Wallahu a'lam bish ashowab.