Oleh : Ruruh Anjar
Mengakhiri tahun 2019 dan menyambut awal 2020 perlu dimulai dengan proses muhasabah diri. Sebuah proses evaluasi dan mempersiapkan rancangan agar menjadi lebih baik di masa mendatang. Termasuk bagi negeri ini.
“Sebagai bentuk kecintaan bagi negeri ini, maka perlu adanya muhasabah,” urai ustadzah Ade Kumalasari memulai penjelasannya di sebuah diskusi di Lampung (28/12/2019) yang dihadiri sekitar 200 tokoh muslimah Lampung. Berdasarkan evaluasinya, beliau memaparkan bahwa sepanjang tahun 2019 banyak kerusakan terjadi di negeri ini, seperti krisis air bersih, tarif listrik naik, korupsi, pergaulan bebas, narkoba dan lainnya yang diakibatkan oleh tangan manusia itu sendiri. “Yang berarti negeri ini tidak melaksanakan syariat Allah. Oleh sebab itu sebenarnya Allah ingin menguji manusia dengan berbagai persoalan karena Allah ingin manusia kembali kepada-Nya,” ujarnya menggarisbawahi.
Menurut ustadzah Ade, kemaksiatan terbesar ini timbul dari model negara salah urus ditambah fasad (kerusakan) sistemik. Menjadi salah urus karena tidak menggunakan syariat Islam sebagai landasan atau sekuler. Agama hanya boleh mengurusi jenazah, sholat, zakat, puasa, dan haji. Namun dilarang digunakan untuk politik, pergaulan, pendidikan, hubungan luar negeri, dan sebagainya. Yang diizinkan hanya sebatas simbol. “Dan ini terjadi tidak cuma di Indonesia, tetapi di seluruh dunia,” tegasnya.
Bahkan, lanjutnya, negara ini diurus dengan pola kerjasama atau “main mata” antara politikus dengan pengusaha. Inilah yang disebut dengan negara korporatokrasi yang wajar terjadi di alam demokrasi. “Padahal demokrasi yang dirumuskan dengan dari, oleh, dan untuk rakyat sejatinya berdasarkan akal pikiran manusia yang lebih mementingkan harta, pangkat, jabatan, dan prestise. Di dalamnya para pejabat yang ingin duduk akan membutuhkan sponsor yaitu para pemilik modal/pengusaha. Kemudian setelah duduk akan membuat kebijkan yang berpihak pada pengusaha. Pengusaha pun bisa menjadi penguasa, dan penguasa akan pro pengusaha,” tukasnya lugas.
Ustadzah Ade pun menyayangkan bahwa yang tumbuh selanjutnya adalah pembangunan berbasis bisnis. Kemudian disebarlah paham pluralisme untuk mengokohkan hal tersebut. Disebutlah bahwa semua agama sama agar tidak boleh ada klaim satu agama yang benar. Sehingga pada saat Islam ditawarkan sebagai solusi semua aspek persoalan, muncul fitnah terhadap Islam (syariah kaaffah) dengan menyebutnya intoleran, anti NKRI, radikal, dan sesat. Menuding pejuang syariah kaaffah melakukan ujaran kebencian dan teroris, yang mengakibatkan timbulnya pecah belah dan saling mencurigai. Oleh sebab itu ustadzah Ade mengajak seluruh elemen untuk kembali kepada syariat Islam secara kaaffah dan tidak terjebak pada upaya deradikalisasi. Karena sejatinya deradikalisasi akan mengokohkan kapitalisme, sekulerisme, serta memberangus penegakan Islam kaaffah. Jika ada negara yang menerapkan gagasan Islam kaffah dan memperoleh kesejahteraan sebagaimana janji Allah, maka akan terjadi efek domino. Inilah yang dikhawatirkan oleh kaum kapitalisme global dengan gagasan demokrasinya,” tandas ustadzah Ade.
Suasana acara semakin menghangat kala ustadzah Deasy Rosnawati sebagai pengulas selanjutnya menguraikan lebih detail tentang syariat kaaffah. Beliau menyampaikan bahwa syariat adalah sekumpulan hukum dan kaaffah adalah total. Maka jika diibaratkan puzzle, tidak bisa dilihat keindahannya jika hanya sepotong. Untuk itu harus dilihat dan dilaksanakan secara keseluruhan agar bisa terwujud kebahagiaan, kesejahteraan, keadilan, dan kekuatannya, serta memperoleh keberkahan. Tetapi justru inilah yang ditakuti oleh musuh-musuh Islam.
Mengapa demikian? Menurut ustadzah Deasy, karena di dalam penerapan syariat Islam tanggung jawab negara adalah pengurus langsung (ro’in) bagaikan seorang ibu kepada anaknya, bukan sebagai pedagang. Ini semua dampak dari Al-Quran yang dibaca berulang-ulang, bahkan mampu dihafal, jika diterapkan dalam semua aspek kehidupan. Oleh karena itu di dalam Islam, seorang kepala negara dipilih karena paham terhadap isi syariat dan memiliki ketinggian ketakwaan kepada Allah.
Selanjutnya ustadzah Deasy memaparkan pengaturan Islam dalam aneka bidang kenegaraan seperti pengaturan politik ekonomi, politik sosial, politik pendidikan, sanksi hukum, dan politik luar negeri. Ini menggambarkan lengkapnya ajaran Islam sebagai sebuah sistem yang solutif. “Sistem inilah yang mewujud dalam negara Islam atau Khilafah. Selama 1300 tahun membentang dari Maroko hingga Merauke. Dan insyaa Allah dengan tegaknya sistem negara Khilafah ‘ala minhaj nubuwwah akan didapatkan manusia unggul dan bangsa yang kuat nan hebat. Hanya saja saat ini kita dikunci dengan nasionalisme dan demokrasi yang menyebabkan kita terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil. Sehingga perlu kekuatan ukhuwah serta tidak terjebak dalam kuncian demokrasi dan nasionalisme agar dapat menghadapi kekuatan imperialisme global. Maka tak pelak negara ini pun perlu hijrah, yaitu hijrah dari demokrasi menuju khilafah,” pungkasnya mengakhiri penjelasan.
Selama penjelasan ustadzah Ade Kumalasari dan ustadzah Deasy Rosnawati, para peserta tampak memperhatikan dengan saksama. Terlebih saat sesi tanya jawab, para peserta yang antusias turut mencurahkan keprihatinannya terhadap kondisi negeri saat ini yang semakin rusak dan sekuler. Bahkan salah seorang peserta menyatakan kekhawatirannya terhadap kondisi anak-anak bangsa saat ini yang telah diarahkan kepada kapitalisme. Sehingga ia pun mengajak para peserta untuk mengambil peran sebagai ibu pendidik generasi yang pertama dan utama untuk mencetak anak-anak yang shalih dan shalihah siap berjuang lahir dan batin. Membekali dengan ilmu agama termasuk mengenal sistem politik Islam.
Peserta lainnya juga antusias ingin mengetahui lebih jauh tentang khilafah ‘ala minhaj nubuwwah yang menjadi role model penerapan syariat Islam kaaffah. Serta keinginan agar syariat Islam kaaffah dapat diterapkan sebagai bentuk keimanan. Menjadi solusi tuntas setiap persoalan yang membelit negeri ini dan negeri-negeri lain di penjuru dunia.
Tags
Reportase