The New Hope : Khilafah




Oleh: Mila Ummu Tsabita*

Lembaran baru 2020 sudah dibuka. Meninggalkan tahun lalu yang penuh suka duka.  Memang ada sukanya?  Ya adalah. Cuma memang terus terang saja, lebih banyak duka lara nestapa.  Terutama buat rakyat negri +62  yang katanya kaya raya ini.  Why ?

Bagaimana tak sedih? Hasil riset ADB (Asian Development Bank) dan IFPRI (International Food Policy Research Institute) menemukan sebanyak 22 juta orang Indonesia menderita kelaparan kronis.   Kutipan yang dipublikasikan Oktober 2019 ini pun menjelaskan “ Banyak dari mereka tidak mendapatkan makanan yang cukup dan anak-anak mereka cenderung stunting.  Membuat mereka dalam lingkaran setan kemiskinan selama beberapa generasi.” (eramuslim.com, 6/10,2019)

Indonesia menempati  urutan ke-65 di antara 113 negara dalam indeks Keamanan Pangan Global (GFSI) yang diterbitkan Economist Inteligence Unit (EIU). Paling rendah di antara kawasan regional seperti Singapura (peringkat 1) dan Malaysia (peringkat 40).  Bahkan dari Vietnam yang berada pada peringkat 62.

Di sisi lain, kita pun mendengar kabar tak sedap soal beras di gudang Bulog yang terancam busuk.  Pada 1 Desember yang lalu, Perum Bulog mengumumkan 20.000 ton CBP terancam rusak. Walaupun akhirnya beras -yang tersimpan lebih dari 4 bulan -itu dilelang dan dibeli oleh perusahaan lem furniture (mebel) dengan harga 23.75 miliar, tetap saja rasanya nyesek ya?  Di satu sisi kelebihan beras sampai mau busuk, di tempat lain rakyat kelaparan.  Begitu susahkah menyalurkan pangan di negeri ini?  Segitu ruwetnya regulasi yang dibuat. Hmm..miris.

Badan Pusat Statistik (BPS) pun pernah mencatat Provinsi Papua sebagai wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi se-Indonesia pada Maret 2019 dengan 27,53%.  Padahal di sana ada tambang emas Grasberg.  Sebuah tambang dengan cadangan emas terbesar di dunia.  Tony Wenas, Presdir PT Freeport Indonesia mengatakan Freeport memproduksi 240 kg emas per harinya.  Wow, betapa kontras dengan kemiskinan penduduk di dekatnya! 

Sungguh, kesejahteraan hidup bukan cuma bicara pangan atau makanan.  Rakyat butuh sandang, dan rumah untuk berteduh.  Juga mereka mesti sehat dan mendapat pendidikan yang mumpuni. Rakyat pun perlu punya pekerjaan dan penghasilan yang cukup untuk bisa terus survive.  Apakah itu sudah tercapai? 

Jauh Panggang dari api. Justru kemiskinan yang katanya turun –di atas kertas- tak seperti realitasnya.  Lihat bagaimana angkatan kerja yang tak terserap. Lihat berapa angka putus sekolah.  Atau lihat juga, berapa pasien yang sakit yang tak tertangani dengan baik di negri ini?  Sungguh angka-angkanya menyesakkan dada.  Kesenjangan dan ketidak adilan terus mengisi hari-hari rakyat negri +62.  Kemiskinan seolah kejar-kejaran dengan jumlah kekayaan pribadi para penguasa.  Sedihnya, ketika rakyat teriak dan mengkritik,  bisa jadi berakhir di bui.  Mungkin masih ingat berapa banyak kasus penangkapan aktifis atau bahkan pelajar SMK yang berdemo karena menuntut “perbaikan” pada rezim?  Ya iyalah, susah lupa soalnya.


Negara Abai Khas Kapitalis

Dalam sistem Kapitalis-Liberal yang diadopsi dan diterapkan di negri muslim terbesar ini, peran negara memang dipangkas sedemikian rupa dalam meri’ayah (melayani) publik.  Negara dikelola oleh segelintir elit (oligarki) yang duduk di kekuasaan.  Mereka yang menentukan berbagai kebijkan yang -mau tak mau- harus “ditelan” seluruh rakyat meski pahit.  

Contoh kasus impor beras yang  mengemuka di periode pertama rezim Jokowi.  Ketika  para petani panen, justru rezim mengimpor beras dari luar negri. Sempat terdengar “keributan” kecil antara Bulog dan Kemendag.  Namun tetap saja hasilnya, impor jalan terus.  Tak Cuma beras, ada impor gula, daging  bahkan garam. Walhasil, rakyat terutama petani dan peternak gigit jari.  Tersiar kabar garam lokal harganya anjlok, sangat murah.  Sehingga petani garam merugi.  Peternak ayam sempat juga diberitakan membagikan secara gratis ayam potong mereka karena merugi.  Atau kasus petani tomat yang membuang sebagian hasil panen karena harga pasar yang terlalu murah.

Salah urus, namun abai dampak dari kebijakan yang mereka telurkan.  Ini nampak nyata dan sulit dibantah.  Bahkan  Mantan menteri ESDM Sudirman Said sampai ikut bicara. “ Ini disebut praktek genderuwo ekonomi yang tidak nampak tapi menakutkan, tiba-tiba ada kebijakan yang kita ngga tahu dasar hukumnya,” katanya di akhir tahun 2018 lalu (tirto.id). 

Atau pada upaya pembangunan infrastruktur yang terus digenjot oleh rezim, setelah kelar dibangun dengan skema utang lalu segera dijual ke swasta.  Seperti  pembangunan jalan tol di Pulau Jawa. Total nilai investasi yang dibutuhkan adalah Rp 137,74 triliun.  Sangat fantastis, dan katanya setara dengan APBD Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat pada 2019. (voa-islam.com). Wow.  Tapi ujung-ujungya, untuk menutupi utang yang besar, jalan tol yang sudah kelar dibangun akan dijual ke swasta  atau asing.   Lalu rakyat sebagai pengguna jalan akan “menikmati” harga -yang sulit untuk turun- jika melewatinya.  Kalau sudah begini, masih percaya infrastruktur itu untuk rakyat? 


Bukan Cuma Indonesia

Namun bukan cuma Indonesia yang mengalami ketimpangan sosial dan tak sejahtera sebagian rakyatnya. Di dunia juga terjadi secara signifikan.  Berdasar penelitian Oxfam, 26 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan setara dengan separuh penduduk kelompok paling miskin.  Kekayaan para milyarder di seluruh dunia tumbuh US 2,5 miliar dollar setiap hari (2018). 

Orang terkaya di dunia, CEO Amazon Jeff Bezos  mengalami peningkatan kekayaan menjadi 112 miliar pada 2018.  Tahukah anda, 1 persen  kekayaan Jeff ini setara dengan seluruh anggaran kesehatan Ethiopia, negara dengan jumlah penduduk 105 juta orang? (katadata.co.id).  Tak usah kaget!

Karena hampir semua negara-negara di dunia mengalami kasus serupa, walau tak persis sama.  Karena bisa jadi mereka tergolong negara maju seperti  Autralia.  Namun kesenjangan di sana sangat besar. Menurut data IMF yang dirilis Oktober lalu, dari 22 negara maju, Australia berada di peringkat ke empat dalam hal gap daerah kaya dan daerah miskin.  Rakyat tak sejahtera itu selalu ada, bahkan di negri kaya minyak seperti Saudi Arabia.  Why?

Dalam sistem Kapitalis yang diterapkan secara global kini, negara hanya berperan sebagai regulator pengelolaan kekayaan alam atau aset publik. Swasta justru yang banyak berperan. Seperti kasus Freeport di Indonesia, justru negara tunduk pada perusahaan swasta asing tersebut.   Dampaknya, tambang yang yang begitu kaya tak bisa dinikmati rakyat tapi hasilnya mengalir ke kantong pengusaha (asing).  Atau di negri teluk yang kaya ambang minyak, yang bertambah kaya tentu para penguasa dan pengusaha yang “dekat” dengan kekuasaan. Sungguh oligarki atau segelintir orang mampu membuat kebijakan dan mengeruk kekayaan negara dengan legal.  

Inilah sistem Kapitalis yang telah sangat menggurita.  Tak ada satu negara pun yang bisa berkelit dari pengaruhnya.  Sistem yang tak mampu mensejahterakan orang per orang tanpa kecuali.  Yang kaya (segelintir manusia) akan makin banyak harta dan menikmati kekayaan di dunia ini. Sedang rakyat kebanyakan hanya menikmati remah-remahnya.  Atau bahkan dibiarkan kelaparan, karena tak kebagian remah sepotong pun. 

Saat ini di negri +62 , rakyat  sudah mengeluh soal tarif tol, soal premi BPJS, kenaikan harga BBM, TDL alias tarif dasar listrik, atau soal produk impor, dll.  Namun tanpa malu-malu, presidennya bilang “bukan urusan saya..” Amboi sakit nian hati rakyatmu Pak.  Memang tak semua memilih anda.  Tapi kebijakan pahit penguasa harus kami rasakan tanpa terkecuali. Adakah harapan keluar dari himpitan nestapa ini?


New Year, Ada Harapan Baru?

Masalah distribusi yang tidak merata dalam pembagian “kue” pembangunan memang menjadi cacat yang sulit dihindari dalam sistem Kapitalis, yang berasal dari Barat. Fakta ini yang menyumbang tingkat kesenjangan dan kemiskinan yang menggurita di berbagai belahan dunia.  Apalagi jika negara tersebut termasuk negara dunia ketiga, yang sering menjadi bancakan negara-negara besar imprealis.  Indonesia salah satunya. Negara kaya sumber daya alam, namun selalu disetir negara penjajah dalam menentukan UU dan pengelolaan aset-asetnya. 

Rakyat di manapun membutuhkan perubahan yang signifikan.  Bukan sekedar ganti person penguasa. Karena siapapun penguasanya, jika sistem bobrok kapitalis –yang anti aturan Tuhan- yang dijalankan, sama saja hasilnya.  Kesejahteraan publik hanya mimpi yang sulit terwujud.  

Ada tawaran alternatif, sistem Sosialis misalnya. Wah jangan coba-coba ya. Uni Soviet sudah pernah gagal mempertahankan eksistensi sistem ini, karena rakyatnya tak sudi hidup dalam sistem otoriter negara.  Negara menjalankan aturan dengan tangan besi agar bisa memaksa rakyat, agar terwujud “sama rata dan sama rasa” sebagaimana impian Karl Marx sang pencetus ideologi ini.  Tak manusiawi dan bertentangan dengan fitrah. 

Tak jauh-jauh, di Indonesia juga pernah merasakan pahitnya di bawah  kendali Nasakom (nasionalis-agama-komunis) ketika rezim Soekarno.  Apakah berhasil mensejahterakan ?  Kita semua tau jawabannya. 

Sekarang satu-satunya harapan adalah Islam.  Gelombang hijrah di beberapa tahun belakangan  turut melambungkan ide dan konsep negara kesejahteraan versi Islam, Khilafah.  Tahun baru, harusnya ada harapan baru, yaitu terwujudnya keadilan dan kesejahteraan dengan berhukum kepada syariah kaffah.  Riuh media sosial dengan tagar #BerkahDenganSyariahKaffah,  #SyariahKaffahDenganKhilafah atau #KhilafahMakinDekat seolah menunjukkan membuncahnya kerinduan -terutama yang muslim dan meyakini janji Allah, juga bisyarah Rasulullah Saw. 

“ ... Kemudian datang priode mulkan jabariyyan (para penguasa dikatator) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah Ta’ala.  Setelah itu akan terulang  kembali priode khilafah ‘ala minhajin nubuwah.  Lalu Nabi Muhammad saw diam “ (HR. Ahmad, shahih).

Karena sebenarnya Islam memiliki aturan yang paripurna. Apalagi ditopang peri’ayahan (pengurusan) oleh pemimpin yang sadar betul tanggung jawabnya kepada rakyat.  Penguasa atau kepala negara (khalifah)  adalah mas’ul (Penanggung Jawab).  Nabi SAW bersabda: 

"Setiap  dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya’’. (Bukhari & Muslim).

Dengan pengaturan ekonomi Islam, akan bisa dipecahkan  masalah kemiskinan dan kesenjangan sosial.  Baik kemiskinan alamiyah, kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat holistik (terpadu). 

Maka jangan salah, mengentaskan kemiskinan tak kan bisa hanya dengan bantuan sosial. Karena sifatnya sementara.  Atau berpikir Islam hanya mengatur masalah zakat, infaq dan sedekah sebagai solusi bagi para dhu’afa. Walaupun memang benar ada hukum fikih terkait hal itu. Tapi itu hanya sebagian kecil aturan syariah  untuk menolong fakir dan miskin.

Ada pengaturan ekonomi secara sistemik. Misalnya,  ada pengaturan kepemilikan  Dengan memberi batasan yang yang jelas mana yang boleh dimiliki individu, mana kepemilikan umum, dan mana milik negara, maka tidak terjadi masalah seperti sekarang.  Banyak sumber daya alam (SDA) dikuasai sepihak oleh individu yang memiliki akses kepada kekuasaan.  Sehingga  menyebabkan masyarakat banyak, mengalami kesulitan mengakses SDA tersebut. Padahal bisa jadi, sumber daya tersebut termasuk kebutuhan pokok masyarakat.  Misalnya energi, air bersih dan hutan.

Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset strategis masyarakat dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau oligarki, yang berdampak ada yang tidak kebagian, remah sekalipun. Dengan demikian masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi.

Meski orang miskin masih ada, tetap saja kebutuhan pokok, pangan dsb akan terpenuhi  karena dijamin oleh negara. Termasuk kebutuhan publik seperti kesehatan dan pendidikan yang diselenggarakan dengan suport anggaran full oleh negara Khilafah. Membuat rakyat -baik muslim maupun non muslim atau yang kaya maupun miskin – bisa menikmati secara murah, bahkan gratis.  Semua termasuk kewajiban negara yang service dan sarananya haram dikomersialkan. Biayanya ? Didapat dari pengelolaan SDA yang merupakan aset publik, oleh negara, bukan swasta. Sehingga hasil sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Itu baru sebagian kecil aturan syariah. Sayang, tak semua komponen umat  menyadari dan memahami konsep Islam soal pengaturan negara dan sub sistem ekonominya.. Mereka kebanyakan dipengaruhi oleh islamopobhia dan isu radikalisme yang digaungkan rezim. Juga ada cara pikir umat yang konvensional bahkan liberal-sekuler -termakan propaganda Barat - yang jelas-jelas anti Islam.  Mereka –yang menjadi hamba sistem bobrok ini- terus menyudutkan Islam.  Bahkan berusaha menyingkirkannya dari buku ajar di sekolah dan menutupi sejarah keemasan khilafah selama 1400 tahun.

Kondisi ini yang harus dirubah. Merubah dengan terus mendakwahkannya, tanpa ragu. Bukan untuk kebaikan umat Islam saja, tapi kebaikan bagi seluruh umat manusia yang selama ini diperas habis-habisan kekayaannya oleh para imprealis kapitalis. Selama dilakukan dengan cara yang Syar’i, juga hujjah yang kuat (QS. An Nahl :125) dan tanpa kekerasan.  Sebagaimana dicontohkan Rasulullah Saw ketika berjuang di Mekkah hingga tegak Negara di Madinah Al Munawarah.  Maka tak ada yang utopis.  

Kini, justru makar Allah yang bekerja  (QS. Ali Imron:54).  Lihat bagaimana kata khilafah berseliweran diucapkan banyak pihak, baik yang merindu maupun yang membenci. Trending topic dan hits. Semoga kesenjangan dan kemiskinan akan segera bisa dituntaskan, dan kesejahteraan segera terwujud dalam keberkahan penerapan Islam paripurna.  New hope cuma pada Islam kaffah dan khilafah. Bukan yang lain.[]
-------

*Penulis pegiat dakwah muslimah.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak