Terapkan Islam, Indonesia Makmur Berdaulat




Oleh: Nasiatul Karima (Revowriter, Pasuruan-Jatim)

Ketika kita melihat visi Indonesia ke depan, sebagaimana apa yang disampaikan oleh presiden Joko Widodo di dalam Pidato Presiden di Sentul pada 14 Juli 2019: "Pembangunan infrastruktur akan terus kita lanjutkan. Infrastruktur yang besar sudah kita bangun, ke depan akan kita bangun lebih cepat. Infrastruktur seperti jalan tol, kereta api, kita sambungkan dengan kawasan industri rakyat, ekonomi khusus, pariwisata, persawahan, perkebunan, perikanan. Arahnya harus ke sana, fokusnya harus ke sana" (www.setneg.go.id, Kamis, 29 Agustus 2019). Tapi sepertinya visi Indonesia  ke depan,  hanya akan menjadi milik investor asing. Karena pada faktanya,  hasil-hasil pembangunan infrastruktur yang sudah dikerjakan pada akhirnya dijual kepada investor asing. Sebagaimana penjelasan Direktur Utama Waskita, PT Waskita Toll Road, Herwidiakto yang mengatakan, akan berencana melepas atau menjual kembali 4 tol lagi yang akan direalisasikan pada 2020 (kumparan.com.18/12/2019). Lalu bagaimana nasib cita-cita bangsa Indonesia yang ingin bersatu, berdaulat, adil dan makmur, sebagaimana yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-2?

Menurut Eddy Cahyo Sugiarto (Asdep Humas Kemensetneg) bahwa: "Visi Indonesia maju membutuhkan adanya lompatan besar dalam merancang strategi pembangunan nasional, utamanya untuk memastikan terjadinya akselerasi pencapaian Indonesia maju dengan GDP ke-5 terbesar pada 2045". Dan masih menurut Eddy, "Dalam ilmu ekonomi, infrastruktur merupakan wujud dari public capital (modal publik) yang dibentuk dari investasi yang dilakukan pemerintah. Infrastruktur dalam hal tersebut meliputi jalan, jembatan, dan pengairan dan lainnya (Mankiw, 2003). Sedangkan menurut The Routledge Dictionary of Economics (1995) memberikan pengertian yang lebih luas lagi yakni peran strategis infrastruktur sebagai pelayan utama dari suatu negara dalam membantu bergeraknya roda kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat, diantaranya melalui penyediaan transportasi dan juga fasilitas pendukung lainnya" (www.setneg.go.id, Kamis, 29 Agustus 201).

Dari sini kita bisa melihat bahwa rujukan yang dipakai oleh pemegang kebijakan di Indonesia untuk menentukan ke mana arah pembangunan Indonesia adalah teori-teori Ekonomi Barat. Sehingga wajar, apabila target-target yang dikejar Indonesia untuk kemajuannya adalah kemajuan sebagaimana gambaran kemajuan ala Barat. Prioritasnya adalah bagaimana Indonesia bisa mencapai GDP terbesar ke-5 di dunia pada tahun 2045. Padahal, ketika kita memperhatikan dari sisi definisi GDP sebagaimana berikut: Bahwa," Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) adalah total nilai produksi barang dan jasa di dalam suatu negara selama satu tahun. Penghitungan GDP ini meliputi keuntungan dan pendapatan yang dihasilkan oleh nonpenduduk dan perusahaan asing di dalam negara yang bersangkutan, tetapi tidak termasuk penduduk dan perusahaan dari negera yang bersangkutan di negara lain (luar negeri)" (alpari-finance-com). Maka GDP tidaklah dapat dijadikan ukuran untuk bisa menggambarkan tingkat kemajuan dan kesejahteraan penduduk Indonesia. Padahal yang dikatakan sebagai negara maju itu, apabila kesejahteraan sudah dapat dirasakan oleh seluruh orang per orang dari rakyatnya. Mulai dari kebutuhan primer secara keseluruhan orang per orang dari rakyatnya sudah terpenuhi, bahkan sampai dengan kebutuhan tersiernya pun mudah terpenuhi pula.

Di dunia saat ini, hanya ada 3 ideologi yaitu ideologi Islam, ideologi Kapitalis-Sekuler, dan ideologi Sosialis-Komunis. Diantara ketiga ideologi tersebut hanya ideologi Islam yang dikatakan shahih karena bersumber dari wahyu Allah. Sedangkan kedua ideologi yang lainnya bersumber dari manusia. Sejenius-jenius manusia, manusia tetaplah makhluk ciptaan Allah, dengan segala kelemahan dan keterbatasannya. Setiap ideologi bisa dipakai untuk menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi manusia dimanapun. Tetapi persoalannya jika solusi yang dipakai itu berasal dari manusia tentunya akan sama dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk, yaitu: serba lemah, serba terbatas dan serba kurang.  Sehingga wajar apabila solusi itu bersumber dari manusia maka akan sarat dengan kekurangan-kekurangan, kecacatan-kecacatan dan tentunya terdapat tendensi kepentingan-kepentingan, terutama bagi pihak yang membuatnya. Dan teori-teori Ekonomi Barat yang diterapkan di Indonesia adalah bersumber dari ideologi Kapitalis-Sekuler yang diimpor dari Eropa. Sehingga wajar ketika teori-teori Ekonomi Barat yang merupakan buatan manusia tersebut dipakai untuk mengurusi ekonomi Indonesia, maka sangatlah beresiko menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan sangat berpeluang menguntungkan Barat (korporasi) untuk menguasai Indonesia. Dan tentunya tidak akan memberi peluang sedikitpun kepada terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-2. Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Papua. Gubernur Papua, Lukas Enembe, angkat bicara ketika disinggung Najwa Shihab terkait Jalan Trans Papua yang digagas Presiden Joko Widodo. Menurut Lukas Enembe, orang Papua tidak pernah melewati jalan itu. Sebab, imbuh Lukas, orang Papua butuh kehidupan, bukan pembangunan (suara.com, 23/8/2019). Maka satu-satunya solusi yang harus dipakai untuk menyelesaikan segala persoalan hidup yang dialami bangsa manapun haruslah menggunakan solusi yang berasal dari Dzat Yang Maha Sempurna, Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu dari makhluknya yaitu Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam QS. az-Zariyat ayat: 56-57 yang artinya, "Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku".

Waallahua'lam

1 Komentar

  1. Solusi yg tepat untuk menggantikan kapitalisme yg mulai bangkrut...

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak