Subsidi: Diskursus Kapitalisme Menghibur Korporasi



Oleh : Putri Aradelyn 
Freelance Writer & Pemerhati Negeri

Pergantian tahun juga merupakan salah satu moment pergantian visi dan misi dari yang sudah dicapai tahun lalu untuk menjadi lebih baik. Tapi apa daya jika visi misi baru itu bak jauh panggang dengan api terutama visi misi pengentasan kemiskinannya. BPS memberikan keterangan terakhir terkait grafik kemiskinan bulan September 2019, rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,58 orang anggota rumah tangga. Maka besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin rata-rata sebesar Rp 2.017.664,-/rumah tangga miskin/bulan.(BPS, 15/01/20).
Bisa jadi, ini merupakan salah satu dampak dari dicabutnya subsidi yang pada konsepnya bisa membantu rakyat miskin. Alih - Alih membantu tetapi justru mencabut satu per satu tanpa bermusyawarah dulu dengan rakyat. Masyarakat tentu belum menghapus ingatan mereka tentang pencabutan subsidi listrik 900 Volt. Kini, masyarakat dihebohkan lagi dengan mencuatnya berita pencabutan subsidi pada tabung gas LPG 3kg. Jika ditelusuri lagi pemerintah memang akan mencabut secara perlahan semua subsidi yang ada. (tirto.id, 17/01/20) Mengapa hal ini bisa terjadi? Sudah tidak validkah slogan demokrasi "dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat" hari ini?

Subsidi memang seperti angin segar ditelinga rakyat agar hidup sejahtera. Tetapi, benarkah konsep subsidi yang selama ini ada dibenak rakyat sesuai dengan konsep asli dari sistem kapitalisme dalam melayani hajat publik? 

Kapitalisme mempunyai satu konsep utama yaitu modal atau pemodal yang artinya siapa yang mempunyai uang banyak maka dialah sang penguasa. Maka tidak heran jika banyak negara penganut kapitalisme ini berlomba-lomba memperkaya diri dengan berbagai cara termasuk dengan memeras rakyatnya. Setiap negara penganut kapitalisme memiliki sikap yang berbeda dalam hal pemberian subsidi.  Karena, terlihat jelas perbedaan konsep antara kapitalisme Keynesian (Pengikut John Maynard Keynes) yang masih menghendaki subsidi dengan kapitalisme Neo-liberal yang sama sekali tidak menghendakinya. Hal ini terbukti dengan gejolak ketidakpastian perekonomian setiap negara hingga mengalami krisis ekonomi.

Ebenstein & Fogelman, 1994 menceritakan bahwa pada pertengahan hingga berakhirnya abad ke-19, Kapitalisme klasik/liberal diterapkan dan menggaungkan slogan berbahasa Prancis laissez faire atau dalam bahasa Indonesia berarti "Biarkan kami (pengusaha) sendiri, tanpa adanya intervensi pemerintah." (Smith, The Wealth of Nations, 1776). Maka, Mekanisme pasarlah yang berhak mengatur sehingga negara hanya memiliki peran yang terbatas. Hal ini pun membuat Amerika mengalami fenomena depresi besar (Great Depression) di tahun 1929 akibat keruntuhan pasar modal di Wall Street. (Adams, 2004). Kemudian, aliran kapitalisme liberal yang anti intervensi pemerintah ini pun berganti di era tahun 1930-an.

Pada akhirnya kapitalisme Keynesian dengan program The New Deal dari Presiden Roosevelt tahun 1933 yang mendorong intervensi pemerintah berkuasa tetapi tidak lama kemudian terjadi stagflasi - stagnasi (pengangguran) dan inflasi (kenaikan harga). Hal ini memicu upaya pencarian solusi yang berbuah adanya Kapitalisme Neo-liberal yang sangat tidak setuju dengan adanya subsidi. Aliran baru kapitalisme klasik dengan bumbu modernism mengusung tema utama pasar bebas, peran negara yang terbatas dan individualisme. (Al Jawie, 2017) Adams (2004), menulis bahwa adanya campur tangan pemerintah merupakan hal yang sangat mengancam eksistensi mekanisme pasar. Inilah yang menyebabkan mereka tidak setuju adanya subsidi karena konsep dasar neoliberalisme adalah transaksi untung rugi termasuk dalam hal pelayanan publik agar tidak terjadi pemborosan dan inefisiensi. (Al Jawie: 2017)

Perspektif ini sangat di dukung oleh lembaga-lembaga internasional seperti IMF, dan World Bank yang mengusung program SAP (Structural Adjustment Program). Salah satu isi dari programnya adalah penghapusan subsidi. (Wibowo & Wahono, 2003; The Internasional Forum on Globalization, 2004). Jelas, ini merupakan hegemoni kapitalisme yang membuat pemerintah mau tidak mau harus ikut sistem yang dianutnya. Salah satunya yaitu pencabutan subsidi karena dianggap masalah bagi negara. 

Hegemoni neoliberalisme inilah alasan prinsipil yang dapat menjelaskan mengapa Pemerintah kita sering mencabut subsidi berbagai barang kebutuhan masyarakat, seperti subsidi BBM dan listrik. Alasan ideologis inilah yang akhirnya melahirkan alasan-alasan lainnya yang bersifat teknis-ekonomis, misalnya alasan bahwa subsidi membebani negara, subsidi membuat rakyat tidak mandiri, subsidi mematikan persaingan ekonomi dan sebagainya. Ini semua bukan alasan prinsipil. Alasan prinsipilnya adalah karena Pemerintah tunduk pada hegemoni neoliberalisme, atau telah mengadopsi neoliberalisme, yang berpandangan bahwa subsidi adalah bentuk intervensi pemerintah yang hanya akan mendistorsi mekanisme pasar. Jika rakyat bisa jeli dan ingin hidup dengan keberkahan maka sudah selayaknya kita tidak mengikuti hal yang justru menyengsarakan seperti yang sudah dijelaskan diatas. Karena slogan dari, oleh, dan untuk rakyat hanya slogan saja bukan visi misi penguasa yang sesungguhnya. Korporasi atau perusahaanlah yang justru mendapat panggung megah di negara berfaham kapitalis Neo-liberal.
Wallahua’lam bisshawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak