Stunting Di Negeri Lumbung Padi, Sebuah Ironi


ilustrasi : google


Ummu Bagus
(Komunitas Ibu Cinta Qur'an)

Kelaparan.  Satu kata yang seharusnya tak pernah terbersit di pikiran kita bisa terjadi pada suatu negeri yang beejuluk, Gemah ripah loh jinawi.  Bahkan  Koesplus pernah dalam syair lagunya memberikan pujian, negeri di mana tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

Kekayaan dan kesuburan tanah di negeri ini bukanlah cerita mimpi tanpa bukti. Karunia dari pencipta yang memberikan kesejahteraan yang berlebih bagi penduduknya. Secara logika tak terpikirkan adanya penderita gizi buruk bahkan stunting (gizi buruk yang menahun hingga pertumbuhan tidak sesuai dengan pertumbuhan normal).

Tetapi kenyataan berbalik 180 derajat setelah membaca berita yang dikutip dari telegraf.co.id. ADB(Asian Developmen Bank), yang tertanggal 9/11/19, mendapatkan  22 juta orang penduduk Indonesia mengalami kelaparan kronis, gizi buruk hingga stunting.

Angka 22 juta tersebut merupakan 90 persen dari jumlah orang miskin Indonesia, yang tercatat sebanyak 25,14 juta versi Badan Pusat Statistis (BPS).

Menarik untuk dicermati karena disaat warga kelaparan dan menderita gizi buruk. Beberapa waktu yang lalu Bulog  justru memusnahkan 20 ribu ton beras karena rusak dan terancam busuk.

Bagaimanapun juga  pemusnahan beras busuk tersebut telah menyakiti hati rakyat. Pedih di rasakan orang orang yang mengais hidup dengan serba sulit. Bukti pemerintah tidak mempunyai hati nurani. Membiarkan masyarakatnya keleleran kelaparan. Sementara gudang terisi penuh hingga dibiarkan membusuk.


Tragedi Tak Berujung

Kasus kelaparan, gizi buruk, busung lapar, hingga penderita stunting, merupakan sebuah tragedi yang seharusnya sudah menjadi pelajaran yang menyakitkan. Keberadaannya tidak harus berulang.

Jika pemerintah menganggap bahwa gizi buruk, busung lapar, stunting adalah penyakit, maka yang dilakukan hanya mengirimkan dokter untuk menyembuhkan. Dan hal ini pasti akan berulang.
Padahal akar masalahnya adalah pengurusan urusan rakyat yang keliru dan luput dari perhatian.

Kasus kasus seperti di atas  bukanlah kasus baru di Indonesia.  Setiap tahun kisah kisah yang diakibatkan karena kelaparan selalu hadir menjadi berita yang memilukan.

Ada banyak faktor penyebab terjadinya tragedi kelaparan, gizi buruk, busung lapar dan keturunannya. Bisa karena pendidikan, lapangan kerja, pertanian dan sebagainya.  Tetapi ujung dari  semua itu bermuara pada masalah ekonomi.

Negri ini berlimpah dengan kekayaan. Hutan dan tambangnya terhampar di setiap penjuru pulau besar dan kecil. Kesuburan tanahnya selalu menyediakan bahan makanan yang dibutuhkan.
Jadi sungguh ironis kalau masih ada warganya yang kelaparan.

Sudah pasti terdapat kesalahan fatal dalam sistem pengelolaannya. Sehingga kekayaan yang menjadi hak rakyat tidak bisa dinikmati oleh yang berhak, terutama masyarakat bawah.

Jika konsisten dengan UUD 1945 yang berbunyi bahwa: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat(UUD 1945 pasal 33(3)) 
Maka mungkin saja tidak akan terjadi kelaparan. Karena semua diperuntukan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat dan rakyat bisa menikmatinya dengan mudah dan gratis.

Tapi itulah kelemahan aturan  buatan manusia. Dibuat untuk dilanggar.
Jebakan kapitalisme telah menyeret negara menjadikan rakyatnya sebagai relasi bisnis.
Kewajiban negara untuk mengurusi rakyat dan menjalankan UU tidak berjalan dan terkesan ingkar dari kewajibannya.
Bukan lagi untuk riayah suunil ummah atau mengurus urusan umat, tetapi sudah perhitungan untung rugi dengan rakyatnya sendiri.
Akhirnya negara hanya sebagai regulator. Semua pengelolaan dan urusan diserahkan kepada pihak swasta dan asing. 
Padahal peran negara harus memastikan bahwa kekayaan bisa didistribusikan dengan mudah dan tepat sasaran , sampai pada orang orang yang berhak menerimanya. Tanpa ada ketimpangan yang menyebabkan kelaparan.

Negeri yang dikenal dengan negara agraris tentu mustahil kekurangan lahan yang bisa menghasilkan bahan pangan. 
Penduduknya mayoritas bertani mampu menghasilkan panen yang berlimpah, seyogyanya bisa menghidupi rakyatnya sampai terbebas dari bencana tersebut.

Lagi lagi kapitalis liberalis membuat para petani selalu merugi dan sakit hati. Hasil panen yang melimpah, bahkan dari beberapa daerah mengalami surplus produksi beras. Tidak juga menjadikan petani hidupnya lebih baik, karena pemerintah lewat bulognya tidak bisa menyerap maksimal dari hasil panen. Alasannya adalah stok beras di bulog sudah melimpah. Karena Bulog selalu impor beras sekalipun hasil panen surplus.

Petani pun dirugikan dengan kurangnya lahan pertanian yang banyak dikonversi menjadi perkebunan dan bangunan bangunan. Sehingga banyak petani yang beralih profesi sebagai buruh.

Impor akan sangat berdampak pada para petani yang kalah bersaing dengan beras impor. Baik dari sisi jenis maupun harga.
Maka sangat wajar jika pengamat politik Ichsanuddin Noorsy menilai bahwa segala dampak dari impor sebagai bentuk keegoisan penguasa.

Impor beras dari awal sudah jadi polemik.
Menpan berpandangan bahwa produksi beras mencukupi untuk cadangan beras nasional.
Mendag tidak bergeming untuk tetap mengimpor beras dengan alasan untuk menjaga stabilitas harga dan inflasi.(Indo pos.10. id)

Kesimpangsiuran ini menjadi perbincangan publik dan menimbulkan penafsiran bahwa impor hanyalah akal-akalan untuk mengeruk keuntungan di tahun politik. Dengan mengabaikan urusan rakyat. 
Terbukti dengan membiarkan  beras bertumpuk membusuk, padahal banyak orang orang kelaparan, busung lapar hingga stunting.
Miris. 

Islam Kaffah Solusi Hakiki

Kesempurnaan Islam sebagai agama dan pandangan hidup telah memberikan keamanan dan kenyamanan bagi para pengembannya selama berabad abad.
 
Dibarengi dengan keimanan hanya kepada Allah SWT, ketundukan bukti dari kecintaannya kepada Allah Sang Pencipta, diwujudkan dengan mencintai terhadap sesama sebagai amanah yang akan dipertanggung jawabkan kelak dalam perjumpaan dengan-Nya.

Seorang pemimpin umat (Kholifah) yang akan memastikan, kesempurnaan Islam bisa diterapkan sebagai solusi, dan hanya kepada Allahlah ketundukan dialamatkan.

Rasulullah SAW bersabda, yang artinya, 

“..Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR Ahmad, Bukhari)

Artinya, di antara kepentingan kehadiran pemerintah dan negara adalah pengurus pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu publik.  Baik pangan, air bersih, sandang, dan papan.  Sehingga setiap individu masyarakat terjamin pemenuhannya secara ma’ruf (mensejahterakan). 

Perbuatan Rasulullah Saw yang begitu insaniah dilanjutkan oleh para Khulafaur Raasyidiin, sehingga kesejahteraan hidup benar-benar dirasakan setiap individu masyarakat. Satu orang saja yang mengalami kelaparan segera diatasi.  Seperti tindakan Khalifah Umar bin Khathab yang bersegera memenuhi kebutuhan pangan keluarga miskin dengan stok pangan dari Baitul Mal secara memadai.

Islam adalah solusi bagi semua permasalahan, menuntaskan segala ketidakadilan. Islam agama yang memancarkan sistem aturan dari dalam Islam itu sendiri. Dengan ketaatannya terhadap aturan Islam , bukan hanya menyelamatkan nyawa nyawa orang lain, tapi juga menyelamatkan jiwa orang lain, dan dirinya ketika bertemu Robb nya, Allah SWT.

Sungguh Allah SWT telah mengingatkan dalam Alquran, surat Al-Maidah, ayat 50, yang artinya, 

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik dari pada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”


Wallahu a'lam bishshowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak