Solusi Ketahanan Keluarga Mampukah Hentikan Wabah Global LGBT?




Penulis : Arista Indriani 
(Praktisi Pendidikan)

Kasus Reynhard Sinaga menggemparkan publik, tidak hanya Inggris dan Indonesia tetapi juga dunia. Reynhard Sinaga disebut-sebut sebagai predator seks terbesar dalam sejarah Inggris ("most prolific rapist in British legal history"). Berdasarkan Putusan Pengadilan Manchester, Reynhard terbukti bersalah melakukan kejahatan seksual terhadap 48 pria berbeda selama kurun waktu 2015-2017.
Polisi Inggris bahkan menyebut Reynhard diduga telah mencabuli kurang lebih 195 pria muda yang tidak sadarkan diri dengan modus pemberian obat bius GHB (gamma-hydroxybutyric acid). Dugaan ini tentu bukan tanpa sebab, karena polisi inggris telah menemukan ratusan video kejahatan seksual yang dilakukan dan direkam oleh Reynhard sendiri sebesar 3,28 terabytes di dalam telepon genggam miliknya. Hal ini menjadikannya dijerat hukuman kurungan seumur hidup.
Bertolak dari kasus tersebut, banyak respon tanggapan dari tanah air. Salah satunya dari Aliansi Cinta Keluarga (Aila) Indonesia yang menghimbau pemerintah untuk memperkuat ketahanan keluarga. Sebab dengan strategi itulah generasi penerus bangsa akan terbentengi dari kebejatan moral semacam Reynhard Sinaga.
“Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhannya, berwawasan luas, dan memiliki keimanan yang kuat, adalah keharusan,” kata Ketua Aila, Rita Soebagyo, dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (9/1/2020).
Begitupula Wali Kota Depok Mohammad Idris menghimbau untuk merazia aktivitas kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Selain itu, Idris juga mewacanakan membentuk Crisis Center untuk korban LGBT.
Diketahui Reynhard dahulu merupakan warga Depok, dan sampai saat ini keluarganya tinggal di Depok. Idris menginstruksikan jajarannya untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penyebaran perilaku tersebut. Intsruksi itu disebut agar kasus seperti Reynhard tidak terjadi di Depok.
"Peningkatan upaya pencegahan ini guna memperkuat ketahanan keluarga, khususnya perlindungan terhadap anak," kata Idris di Balai Kota Depok, seperti dikutip dari situs resmi Pemkot Depok, Senin (13/1/2019). Artikel itu diunggah pada Jumat (10/1/2020).
Tentu saja kasus ini tidak bisa dianggap remeh, belum lagi jika kita melihat data pelaku LGBT di tanah air. Bukan tidak mungkin kasus serupa bisa terjadi di negeri tercinta Indonesia. Siapapun bisa menjadi korban, tidak menutup kemungkinan keluarga dan orang-orang yang kita sayangi.
Di Indonesia, dalam laporan akhir 2017 Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), kampanye LGBT yang berorientasi pada seksual menyimpang dilakukan secara masif dan terorganisasi. Gerakan berskala global ini sudah mengintai anak-anak Indonesia sebagai sasaran untuk memperluas jumlah komunitas mereka. Diantaranya tidak sedikit yang menyasar anak-anak sebagai korban. (inews.id, 28/2/2017)
Bahkan untuk mendukung komunitas ini, sebuah badan PBB, United Nations Development Programme (UNDP) menjalin kemitraan regional dengan Kedutaan Swedia di Bangkok, Thailand dan USAID. Dana sebesar US$ 8 juta atau sekitar Rp 108 miliar pun dikucurkan dengan fokus ke empat negara: Indonesia, China, Filipina dan Thailand. (detikNews,17/02/2016). Pantas saja pergerakan mereka begitu masif, serta mampu mengadakan acara-acara besar sampai skala internasional.
Ketahanan keluarga memang sangat penting, Pendidikan berbasis aqidah sejak usia dini di rumah sangat penting, agar anak memiliki imunitas. Namun, memperkuat ketahanan keluarga bukan solusi yang dapat menyelesaikan persoalan LGBT. Karena ini merupakan masalah yang sistemis, apalagi didukung gerakan global yang terus mengampanyekannya.
Memberangus LGBT hingga ke akar-akarnya dan permanen tidak dapat ditempuh dengan hanya memperkuat ketahanan keluarga melainkan dengan menerapkan syariat Islam. Lantas, bagaimana Islam menuntaskannya?
Islam adalah satu-satunya sistem yang mampu menyelesaikan persoalan LGBT, karena memiliki standard benar-salah yang baku dan sahih. Kesahihan Islam telah dijamin wahyu. Syariat Islam memosisikan aktivitas liwath alias homoseksual sebagai perbuatan buruk dan tercela.
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini).” (QS Al-A’raf 7: 80)
Aktivitas liwath diposisikan sebagai keharaman dan pelakunya berdosa sehingga kelak akan diazab Allah SWT dengan siksa nan pedih di neraka. Namun, Allah Swt. Yang Maha Pengampun memberikan kesempatan di dunia bagi pelaku liwath untuk bertobat dengan sebenar-benarnya (tobat nasuha). Salah satu wujud tobat bagi pelaku liwath adalah dihukum di dunia. Hukuman ini adalah sebagai penebus dosanya, sehingga kelak di akhirat dia termasuk orang yang bersih dari dosa liwath. Hukuman bagi pelaku liwath adalah hukuman mati. Hal ini sekaligus sebagai pencegah orang lain meniru perilakunya.
“Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Nabi Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Tirmidzi dan yang lainnya, disahihkan Syekh Al-Albani)
Hukuman bagi pelaku liwath ini adalah opsi terakhir dari serangkaian langkah edukasi untuk pencegahan. Khilafah sebagai institusi Islam membentuk akidah Islam yang kukuh di tengah masyarakat melalui pendidikan formal dan dakwah Islam. Sehingga masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertakwa pada Allah Swt, bukan masyarakat yang mengumbar hawa nafsu.
Khilafah juga menerapkan syariat untuk menjaga interaksi laki-laki dan perempuan maupun sesama laki-laki dan sesama perempuan. Misalnya terkait penjagaan aurat, ada aurat yang tetap harus ditutup meski di hadapan sesama jenis. Ada larangan telanjang, mandi bersama, tidur satu selimut, menceritakan jima’ suami-istri dll. meski pada sesama lelaki maupun perempuan. Juga larangan berperilaku dan berpakaian yang tidak sesuai jenis kelaminnya.
Demikianlah Islam menuntun individu menjaga dirinya dengan landasan takwa, mengarahkan pendidikan keluarga sejalan dengan fitrah insani, menerapkan sistem pendidikan dan penataan informasi-media yang sejalan dan memberlakukan sanksi menjerakan.
Dan pada akhirnya, khilafah yang menerapkan Islam kaffah adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah LGBT. Semoga hal ini menjadikan kesadaran masyarakat untuk mewujudkan solusi Islam dalam kehidupan pribadi, masyarakat maupun bernegara. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak