Oleh : Alin FM
Praktisi Multimedia dan Penulis
Kasus Jiwasraya mengagetkan masyarakat di Indonesia. Potensi gagal bayar klaim nasabah di Jiwasraya seolah-olah terjadi secara tiba-tiba. Masyarakat pun mempertanyakan kinerja beberapa pihak seperti lembaga otoritas pengawasan dan pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN. Efektivitas fungsi pengawasan pun dipertanyakan.
Jiwasraya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang asuransi, dan mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara. Nasabahnya pun bervariasi, termasuk nasabah-nasabah premium, yaitu nasabah yang seharusnya telah memahami risiko yang akan dihadapinya dalam pengambilan keputusan. Keberadaan nasabah premium ini dapat dilihat dari produk saving plan yang memberikan yield yang cukup tinggi dibandingkan deposito.
PT Asuransi Jiwasraya mengalami tekanan likuiditas sehingga ekuitas perseroan tercatat negatif Rp 23,92 Triliun pada September 2019. Selain itu, Jiasraya membutuhkan uang sebesar Rp 32,89 triliun untuk kembali sehat. Kementerian BUMN menyebut masalah yang terjadi di merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime), sebab kejahatan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan ruang dari regulasi yang sudah ditetapkan oleh otoritas terkaait. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya kerugian negara oleh Jiwasraya sebesar Rp 10,4 triliun karena menggoreng saham investasi. Pihak yang terkait mulai tingkat direksi, general manager, dan pihak lain di luar Jiwasraya.
Skandal Jiwasraya ini membuktikan kesekian kalinya bahwa penguasa telah gagal mengurusi urusan keuangan rakyat. Rakyat selalu dibuat hilang harapan kesejahteraan. Akibatnya, depresi sosial tak terelakan. Rakyat pun akan menunjukkan sikapnya yang ekstrem, terlebih mereka harus kehilangan uangnya. Ada hak-hak yang telah dikorbankan dengan tidak menunaikan kewajiban. Sungguh, kondisi ini juga mengonfirmasi tata kelola negara dan perangkat negara yang bobrok. Jauh dari ekspektasi yang diinginkan rakyat.
Jiwasraya, investor yang menggiurkan
Skema Jiwasraya sangat menarik bagi investor. Apalagi ditambah dengan embel-embel bahwa Jiwasraya adalah BUMN. Artinya, setiap saat Jiwasraya mengalami masalah, masih ada harapan negara akan mengeluarkan dana talangan (bailout).
Jiwasraya menggandeng bank-bank raksasa untuk memasarkan JS Plan; skema ini disebut dengan bancassurance. Ini mempermudah Jiwasraya mengakses dana publik. Berkat skema ini, pengeluaran Jiwasraya berkurang karena tidak perlu menggaji agen asuransi untuk mencapai area-area yang jauh.
Dengan kata lain, bukan agen-agen Jiwasraya, tapi bank-bank yang menjadi mitra Jiwasraya-lah yang secara langsung berhadapan dengan nasabah. Bank-bank itu adalah BRI, BTN, KEB Hana Indonesia, DBS Indonesia, ANZ Indonesia, QNB Indonesia, Standard Chartered Bank, dan Bank Victoria International.
Perpaduan antara skema yang menggiurkan buat investor (“taman 1 panen 5” dan suku bunga yang tinggi), embel-embel BUMN, dan pemasaran dalam bentuk bancassurance, membuat JS Plan menjadi salah satu produk Jiwasraya yang sangat laris sejak diluncurkan pada 2013—hingga akhirnya perusahaan ini dinyatakan tak mampu membayar kewajibannya pada 2018.
Pada 2015, Jiwasraya menyedot uang publik sebesar Rp5,15 triliun dari hasil menjual premi JS Plan, atau setara dengan lebih dari 50% dari pendapatan perusahaan dari total premi asuransi pada tahun itu. Angka ini meningkat menjadi Rp12,57 triliun pada 2016 atau setara dengan 69,5% dari total premi di tahun itu. Angka penarikan uang publik oleh Jiwasraya terus naik pada 2017 menjadi Rp12,57 triliun atau setara dengan 75,3% pendapatan Jiwasraya dari premi pada tahun yang sama.
Cerita manis bagi Jiwasraya dan produknya, JS Plan, berakhir pada 2018, ketika pendapatan penjualan premi dari produk ini menukik menjadi hanya Rp5,46 triliun rupiah, atau hanya 51,1% dari pendapatan Jiwasraya dari premi tahun tersebut.
Akhir 2018, perusahaan mengumumkan gagal bayar klaim sebesar Rp802 miliar dan dengan cepat, angka gagal bayar ini tumbuh menjadi Rp12,4 triliun pada akhir 2019. Gagal bayar klaim ini berdampak pada sekitar 17 ribu nasabah Jiwasraya pemilik polis JS Plan.
Pada akhir 2019, Risk-Based Capital (RBC, instrumen untuk mengukur kesehatan keuangan perusahaan asuransi, yaitu rasio kecukupan modal terhadap kewajiban membayar terhadap pemegang polis) sudah mencapai -802%! Angka sehat RBC dalam dunia asuransi, sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan No.424.KMK.06/2003, adalah sebesar 120%.
Finansial Kapitalisme awal kehancuran jiwasraya
Dalam dunia finansial Kapitalisme, pemilik modal atau kapitalis atau personifikasi dari modal, mendapatkan keuntungan tanpa bekerja. Uang-kapital atau modallah yang bekerja untuknya. Dalam bahasa sehari-hari fenomenon ini disebut “investasi”.
Dalam kasus Jiwasraya, sangat mudah dilihat bahwa pada dasarnya yang terlibat adalah para pemiliki modal. Produk Jiwasraya yang memicu terjadinya gagal bayar bernama “JS Plan”. JS Plan adalah program asuransi yang di dalamnya tercakup investasi sekaligus perlindungan.
Polis asuransi JS Plan berharga antara Rp100 juta hingga Rp5 miliar. Seorang nasabah boleh membeli lebih dari 1 polis asuransi. Artinya, seorang nasabah dapat berinvestasi lebih dari 5 miliar rupiah. Butuh seorang yang memiliki modal (minimal Rp100 juta) untuk dapat menjadi nasabah JS Plan.
Dari situ terlihat bahwa relasi yang terbangun dalam program JS Plan pada dasarnya adalah relasi antara pemilik modal yang menginvestasikan uangnya dengan Jiwasraya yang mengelolanya.
JS Plan menjadi titik bertemunya kepentingan para pemilik modal yang ingin mendapatkan keuntungan tanpa memproduksi, dan perusahaan asuransi yang ingin menarik modal sebanyak mungkin dari publik.
JS Plan memiliki jangka waktu selama satu tahun. Artinya, setelah satu tahun uang nasabah tertanam di Jiwasraya, nasabah dapat mengambil uang awalnya (dalam dunia asuransi disebut “pokok”), plus dengan bunga yang dia peroleh selama satu tahun tersebut.
Meskipun investasi melalui pembelian premi asuransi hanya berjangka satu tahun, tapi skema perlindungan yang yang didapatkan melalui program JS Plan mencapai lima tahun. Skema ini saya sebut saja sebagai skema “tanam 1 (tahun) panen 5 (tahun)”.
Selain “tanam 1 panen 5,” skema lain adalah tingkat bunga dari JS Plan. Sejak diluncurkan pada 2013, JS Plan menawarkan bunga berkisar antara 9-13%. Tingkat bunga ini termasuk tinggi apabila dibandingkan, misalnya, dengan tingkat suku bunga deposito pada 2018 yang berada pada kisaran 5,2-7%
Asuransi dalam Perspektif Islam
Islam sebagai agama yang bersifat komprehensif dan holistik mengatur semua aspek kehidupan umat manusia baik dari sisi hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan dirinya sendiri, sebagaimana perintah Allah Swt. dalam firman-Nya yang artinya
“Hai orang-orang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kafah (menyeluruh) dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al Baqarah: 208).
Dalil di atas menunjukkan inStruksi Allah Swt. untuk manusia agar senantiasa mengamalkan ajaran Islam secara total dan menyeluruh. Artinya manusia yang mengamalkan hanya sebagian atau pun memilih perintah Allah Swt. merupakan pengikut setan.
Postulat di atas pun menegaskan bahwa apabila manusia melanggar perintah Allah Swt. maka ia akan menerima konsukensi logis dari perbuatannya dalam bentuk siksaan dan azab Allah Swt..
Maraknya pelanggaran atas perintah Allah Swt. semakin menguat setelah runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah, di mana nampak jelas bahwa pemahaman manusia tentang agamanya mengalami kemunduran besar bahkan mereka mengikuti aturan-aturan yang bertentangan syariat Islam, termasuk asuransi.
Menurut Taqiyyuddin An-Nabhani, praktek asuransi yang berkembang di masyararakat adalah haram, baik dari aspek akad atau transaksi, maupun aspek jaminan atau janji perusahaan asuransi kepada pihak tertanggung.
Pendapat Taqiyyuddin senada dengan ulama kontemporer, yaitu Sayyid Sabiq, Yusuf Qardhawidan Abdullah al- qalqii bahwa asuransi itu haram dengan segala bentuknya.
Alasan keharaman asuransi adalah bahwa asuransi sama dengan judi, asuransi mengandung unsur ketidakpastian, mengandung riba, premi yang dibayarkan akan diputar dalam praktik riba, serta hidup dan matinya manusia dijadikan aspek bisnis yang artinya mendahului takdir Allah Swt. (Hasan Hamid, Asuransi dalam Hukum Islam, Insan Media, 2008).
Menurut Taqiyyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Mafahim Hizb al-Tahrir menyatakan bahwa seseorang dalam melakukan sesuatu maka sudah tentu memiliki tujuan atas perbuatannya tersebut.
Tujuan ini yang disebut nilai perbuatan (qimatul al-amaal), jika tidak tentulah perbuatannya menjadi sia-sia, dan sebaliknya ia harus memperhatikan tercapainya nilai-nilai perbuatan yang melatarbelakanginya. (Taqiyyuddin An-Nabhani, Mafahim Hizbuttahrir, HTI Press, 2005).
Dalam pembahasanya masalah asuransi, Taqiyyuddin An-Nabhani melakukan kajian dan analisis terhadap ide dasar dari transaksi (akad) dalam asuransi tersebut. Karena faktanya banyak kaum muslimin yang terlibat dalam transaksi asuransi. Dalam hal ini Taqiyyuddin An-Nabhani lebih memfokuskan dalam kajian akad, jaminan yang diberikan persahaan asuransi kepada pihak tertanggung.
Kedua pihak harus saling menjaga dan mengaitkan diri dalam akadperjanjian yang telah disepakati. Sedangkan pada aspek jaminan menurut Taqiyyuddin An-Nabhani adalah pemindahan harta pihak penjamin kepada pihak yang dijamin dalam menunaikan suatu hak. (Taqiyuddin An-Nabhani, an Nidzamu al-Islam al-Iqtishadi fi al-Islam).
Dalam konteks jaminan terhadap jiwa baik perorangan maupun individu, menurut Taqiyyuddin An-Nabhani yang dibenarkan hanyalah jaminan risiko yang dialami oleh seseorang, dalam hal ini jika pihak tertanggung meninggal maka pihak asuransi memberikan sejumlah uang kepada anak, istri, atau ahli waris dari pihak yang tertanggung.
Oleh sebab itu, terdapat perbedaan antara jaminan risiko dengan jaminan jiwa, di mana jaminan jiwa telah diberikan oleh Allah Swt., di mana tidak ada seorang pun yang bisa menunda maupun mempercepat datangnya ajal seseorang. Sebagaimana fiman Allah Swt. yang artinya:
“Tiap-tiap umat punya batas waktu, maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkan barang sesaat pun dan tidak (pula) mampu memajukannya.” (TQS Al A’raf: 34)