Oleh : Heni Kusmawati, S.Pd.
Member Akademi Menulis Kreatif Bima
Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo. Dua orang mengaku sebagai raja dan ratu. Toto Santoso yang menyebut diri Sinuhun dan ratunya, Fanni Aminadia. Sang raja mengaku, ia menerima wangsit dari leluhur dan Raja Sanjaya keturunan Raja Mataram untuk meneruskan pendirian Kerajaan Mataram di Kecamatan Bayan, Purworejo. Dia meyakinkan kepada setiap orang yang menjadi pengikutnya, jika ingin bernasib baik maka harus bergabung dengan Keraton Agung Sejagat.
Salah seorang sosiolog dari Universitas Padjajaran menilai bahwa motif kehadiran Keraton Agung Sejagat adalah masalah ekonomi. Hal ini terlihat dari cara merekrut anggota kerajaan adalah dengan mendaftar menggunakan uang 3 juta. Setelah bergabung, kehidupannya akan menjadi lebih baik dan mereka juga akan digaji per bulan dengan dollar (cnnIndonesia.com, 16/1/2020).
Di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang tidak menentu, seperti harga setiap kebutuhan masyarakat terus melonjak, hasil pertanian atau perkebunan anjlok. Wajarlah jika mereka mencari jalan keluar dari masalah tersebut meskipun yang dilakukan adalah sebuah kesalahan. Salah satunya dengan menciptakan kelompok atau kerajaan yang tidak logis atau sekedar menjadi pengikut kerajaan tersebut.
Munculnya kerajaan seperti Keraton Agung Sejagat adalah perkara yang biasa saat ini. Sebelumnya ada Kerajaan Ubur-Ubur, Gafatar, dan yang terbaru Sunda Empire. Hal ini terus berulang dengan motif yang sama meskipun namanya berbeda.
Inilah buah penerapan sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan urusan agama dengan kehidupan. Sehingga, rakyat hanya takut kepada Allah saat beribadah. Sementara di luar hal itu tidak ada rasa takut sedikit pun kepada-Nya. Sistem kapitalisme hanya menyejahterakan pihak tertentu yakni swasta atau pemilik modal.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak pernah berpihak kepada rakyat tetapi justru berpihak pada swasta. Sebut saja kebijakan impor. Negara Indonesia yang terkenal dengan sumber daya alam melimpah, seperti tambang garam, minyak bumi, hasil pertanian, perkebunan dan lain-lain. Semestinya tidak ada alasan untuk melakukan impor. Namun apalah daya, Indonesia sejak awal telah memberikan jalan kepada pihak swasta untuk mengeruk sumber daya alam yang ada di dalamnya melalui penanaman modal atau investasi. Sehingga, wajar berbagai kebijakan selalu berpihak kepada pemilik modal bukan rakyat. Hal ini menjadi bukti bahwa sistem ini telah gagal menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Rakyat justru dibiarkan mencari jalan keluar sendiri dalam menghadapi masalah hidup.
Karenanya muncullah orang-orang yang tidak waras alias stres. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Bahtiar menyebut kerajaan-kerajaan baru, seperti Keraton Agung Sejagat (KAS) dan Sunda Empire dikelola oleh orang yang tidak waras. (CnnIndonesia.com, 17/1/2020).
Tak hanya itu, sistem ini telah menjadikan pemerintah seolah tak peduli dengan kondisi rakyat yang dipimpinnya. Pemerintah tidak bersikap tegas terhadap pelaku bahkan cenderung membiarkan pelaku berbuat sesukanya. Buktinya, kelompok atau kerajaan seperti ini terus berulang hingga meresahkan masyarakat dan banyak korban yang mengalami kerugian harta.
Berbeda dengan sistem Islam. Sistem yang sempurna dan paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Dari sistem pendidikan, kesehatan, pergaulan, ekonomi dan lain-lain. Ketika seluruh kebutuhan terpenuhi, masyarakat yang mengalami stres tidak akan dijumpai. Apalagi sistem Islam menjadikan ketakwaan individu senantiasa ada dalam diri setiap kaum muslim Allah Swt. berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (TQS. Al-Hasyr : 18).
Adanya ketakwaan individu, seseorang akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah Swt. tatkala menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Jika aturan Islam dijalankan oleh individu, masyarakat, dan negara, maka fenomena rapuhnya akidah masyarakat tidak akan masif sebagaimana dalam sistem kapitalisme saat ini.
Wallahu a'lam bishshawab.