Sistem Pendidikan Islam, Pencetak Intelektual Beradab



Oleh: Ita Mumtaz 



Paradoks output pendidikan kita nyatanya telah menjadi fenomena tersendiri. Memang benar apa yang dilontarkan oleh Prof.Dr.Mahfud MD, Menko Polhukam, bahwa banyak lulusan Perguruan Tinggi yang menjadi ‘tukang’. Artinya mereka bekerja sesuai pesanan. Begitu pula, tak sedikit dari mereka yang terjerumus dalam lembah kotor, sebagai koruptor. 

Walhasil, sang profesor pun memiliki harapan besar kepada para lulusan Perguruan Tinggi, yakni agar mereka menjadi sosok intelektual dan berakhlak baik.
“Jadilah ulul albab, orang yang cerdas dan mulia akhlak. Ini sebuah tantangan bagi perguruan tinggi." (Vivanews.com/21-12-2019)

Mirisnya, para "tukang" dan pejabat  koruptor adalah lulusan dari Perguruan Tinggi ternama. Seharusnya tercetak dari sana manusia yang cerdas seutuhnya, beriman dan bertaqwa, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Sebagaimana yang dicanangkan dalam tujuan pendidikan nasional. Nyatanya yang terjadi adalah sebaliknya, yakni krisis moral dan rakus akan harta dunia. 

Tidak terlalu mengherankan jika mendapati fakta yang demikian. Karena sistem pendidikan yang diadopsi saat ini adalah turunan dari sistem hidup kapitalis, dimana asasnya adalah sekulerisme. Proses pendidikan dalam tatanan kapitalisme tak ubahnya adalah sebuah upaya agar setelah lulus mendapatkan tiket untuk masuk ke dunia kerja. Menikmati pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan, hidup nyaman, bisa membeli berbagai macam selera. Dengan begitu, tercapailah segala cita. Bahagia tiada tara pun sukses dirasa.

Bagaimana dengan masalah akhlak dan ketakwaan? Itu adalah urusan ke sekian. Justru jika diberikan pelajaran agama Islam, bisa-bisa menjadi pelajar atau mahasiswa yang radikal dan militan. Makanya anak kecil pun dilarang untuk diajarkan tentang batasan pergaulan laki-laki dan perempuan. Demikian opini yang senantiasa dihembuskan dalam suasana kapitalis saat ini. 

Kesimpulannya, belajar agama tak lagi penting. Belajar ilmu terapan tidak boleh dipadu dengan Islam. Sehingga, sangat wajar jika tingginya pendidikan yang dicapai tidak ada korelasi dengan ketakwaan dan akhlak. 

Begitulah sesungguhnya target dari para kapital. Mereka menciduk generasi muslim terbaik untuk dijadikan robot dalam industri kapitalisme. Tenaga kerja terampil dan murah sangat dibutuhkan demi mendulang keuntungan besar dengan menekan modal dan biaya produksi. Menjajah pemikiran negeri Islam serta mengeruk kekayaan dan sumber daya alam pun tak segan dilakukan demi ambisi dunia.

Maka, dunia pendidikan dikuasai oleh kapitalisme untuk menghasilkan sumber daya manusia yang bisa disetir untuk mengokohkan hegemoninya. Karena asasnya kapitalisme-sekulerisme, maka orientasi dari kurikulum yang pengajaran tentu saja pemisahan agama dari kehidupan. 

Sungguh sangat berlawanan dengan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islamiyah. Asas akidah akan memancarkan kurikulum yang khas dan unik. Tercakup di dalamnya penanaman keimanan kepada Allah yang sangat kokoh, pembentukan kepribadian Islam kuat, tak luput pula target penguasaan sains dan teknologi demi kemajuan peradaban Islam. Sehingga terlahir generasi yang cerdas sekaligus bertakwa, jauh dari kehidupan yang menghamba pada syahwat dunia.

Jika kita telisik kurikulum pendidikan yang ada, maka akidah Islam bukan menjadi landasan. Asas pendidikan adalah sekuleris, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Belajar ilmu matematika, sains, ekonomi, sejarah, dan lain-lain harus dipisahkan dari agama. Sehingga akan menjadi pelajar yang kering, jauh dari ruh Islam. Niat dan motivasi belajar tak lagi tertata, yakni demi menggapai kemuliaan dan mendapat kebermanfaatan sesuai kabar gembira yang disampaikan Allah bagi orang-orang yang beriman.

Sebagaimana yang digambarkan dalam sebuah hadits. Dari Abu Musa al-Asy’ari r.a, Rosulullah Saw bersabda,“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah utus aku untuk mendakwahkannya laksana hujan deras yang membasahi bumi. Di muka bumi itu ada tanah yang baik sehingga bisa menampung air dan menumbuhkan berbagai jenis pohon dan tanam-tanaman. Adapula jenis tanah yang tandus sehingga bisa menampung air saja dan orang-orang mendapatkan manfaat darinya. Mereka mengambil air minum untuk mereka sendiri, untuk ternak, dan untuk mengairi tanaman. Hujan itu juga menimpa tanah yang licin, ia tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanam-tanaman. Demikian itulah perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah kemudian ajaran yang kusampaikan kepadanya memberi manfaat bagi dirinya. Dia mengetahui ilmu dan mengajarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mau peduli dengan agama dan tidak mau menerima hidayah Allah yang aku sampaikan.” (HR. Bukhari)

Sistem pendidikan Islam telah terbukti mampu melahirkan sosok-sosok hebat seperti Imam Syafi’i, Ibnu Sina dan Al-Khawarizmi. Mereka adalah para ulama sekaligus ahli kedokteran, ahli matematika, pakar astronomi. 

Saat ini, akankah kita menemukan generasi unggul yang tidak hanya hafal Al-Qur’an, faqih fiddin, tapi juga seorang politikus dan negarawan sejati? Generasi dengan kualitas seperti ini hanya lahir dari sistem pendidikan Islam dalam tatanan pemerintahan Islam. 
Wallahu A’lam bish-shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak