Oleh : Lilik Yani
Ketika karya diapresiasi, semangat akan bangkit berlipat kali
Apa hal itu kalian rasakan saat ini?
Lantas, ketika karyamu tak dihargai
Apakah kalian berhenti hanya sampai di sini?
*******
Menjadi pejuang literasi, menjadikan aktivitas menulis bagaikan makan asam garam setiap hari. Segala daya diupayakan agar ide atau gagasan dalam benak bisa dituangkan menjadi karya yang bisa dinikmati.
Sebagus apapun gagasan, jika masih dalam benak, maka hanyalah sebuah angan-angan pribadi. Terasa penuh di pikiran dan memusingkan diri. Tapi setelah dikeluarkan, baik secara lesan maupun tulisan, maka pikiran jadi ringan dan hati lapang.
Dalam hal ini, saya bicara tentang karya bentuk tulisan. Jadi gagasan yang sudah dituangkan dalam bentuk tulisan, lalu diposting ke media massa baik online maupun offline. Atau diposting ke akun pribadi. Sehingga karya kita akan bisa dinikmati orang lain.
Masalahnya apakah orang lain memberi respon terhadap karya kita?
Ada yang memberi respon, baik positip maupun negatif. Ada pula yang tidak memberi respon.
* Respon positip : Inilah respon yang paling banyak dinanti. Karena berpotensi menambah percaya diri.Tambah bersemangat untuk menciptakan karya lagi. Tambah bergairah untuk mengeluarkan segala potensi dalam diri.
* Respon negatif : Tidak semua orang siap menerima kritik. Padahal sebenarnya untuk membangun. Dalam arti, agar penulisan berikutnya lebih rapi, minimalis typo, isinya lebih menarik, lebih sopan pemilihan kata, dan semacamnya demi kebaikan.
* Tidak ada respon : Terbukti tidak adanya jejak yang ditinggalkan oleh pembaca. Ini bukan berarti tulisan tak ada yang menghampiri lho. Bisa saja sudah dikunjungi dan dibaca, tapi lupa atau tidak sempat memberi jejak. Apakah like, komentar, beri stiker, atau bahkan bagikan. Karena terburu-buru, lowbatt, tuntutan amanah lain hingga tulisan terlewatkan, atau sudah berganti halaman. Dalam hal ini, tidak ada faktor kesengajaan.
Ada juga jenis orang yang suka membaca tulisan kita, tapi tidak memberi jejak respon apapun, biasa disebut silent reader alias pembaca rahasia. Biasanya sengaja tidak mau memperlihatkan identitasnya, karena tak ingin dikenal (diketahui). Jadinya kurang bagus ya, secara etika.
Ternyata tidak sedikit, orang yang memilih "gelar" silent reader. Terbukti, banyak teman-teman saya, di berbagai komunitas. Mereka tahu aktivitas saya, bulan ini sedang mengambil tema apa? Mereka juga memuji, mensupport bahkan mengikuti ide atau gagasan yang saya sampaikan. Tapi saya lihat di akun, tak ada jejak nama mereka yang ditinggalkan.
Di komunitas lain, membicarakan tulisan saya yang berisi gagasan "baru" menurut mereka. Padahal sama-sama beraqidah Islam. Kitabnya sama, Rasulnya sama, tapi dianggap ajaran aneh yang perlu dilenyapkan. Ahh, beraninya mereka memantang Allah.
Dalam komunitas lain lagi, teman-teman jadi tahu kalau saya habis menjalankan umroh karena melihat tulisan serial saya Spiritual Journey di bulan Desember 2019. Mereka ikut senang, karena serasa dibawa ke haramain saat membaca kisah saya. Tapi tak ada jejak sedikitpun di beranda saya, sebagai bukti mereka berkunjung.
Lainlagi teman-teman komunitas kajian, mengetahui aktivitas saya saat jadi leader OPEy part 1. Lalu bertanya-tanya lewat wapri. Aneh ya. Mengapa tidak langsung menulis di kolom komentar untuk menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran.
Ada lagi orang-orang yang tak saya kenal, hanya berteman lewat facebook. Mengomentari tulisan saya lewat linimasa. Mendiskusikan persoalan yang menurutnya masih asing. Walau sama aqidahnya. Yang saya herankan, mengapa juga tidak mau langsung menulis di kolom komentar. Yang bisa direspon, tidak hanya oleh saya pribadi, tapi bisa saja oleh pembaca lain, sehingga akan memperkaya tsaqofah Islam.
Apa beratnya sih, memberi jejak jika betul berkunjung dan membaca karya kita? Tidak menyalahkan pembaca yang sibuk, atau tidak ada waktu, dll yang tidak disengaja. Kalau silent reader, rasanya memang sengaja tak mau menampakkan diri. Jika waktu minimalis, atau tak cakap merangkai kata, sebenarnya bisa membuat jejak dengan klik like. Tapi kembali lagi, memang para silent reader tak ingin jati dirinya diketahui. Ehm.
//Sikap yang Bisa Kita Ambil//
Adalah hak pengunjung untuk memberi jejak atau tidak dari kunjungan ke akun kita. Dan hak mereka juga mau memberi respon positif atau negatif. Yang bisa kita lakukan adalah mengontrol sikap diri kita sendiri.
Jika banyak respon positip yang kita peroleh, senang pastinya. Dan menambah semangat untuk melahirkan karya lebih memukau. Jangan sampai, pujian itu membuatmu melayang hingga ke awan, lalu lupa diri. Cukup puas dengan karya yang sudah ada. Dan tak kunjung beranjak menatap respon positip yang terpatri. Itu yang tidak benar. Karena dakwah literasi harus bergerak menerjang segala lini. Demi meraih ridlo Illahi.
Ketika respon negatif yang diterima. Jadikan pembelajaran diri. Kritik membangun adalah bentuk cinta dari para sahabat yang ingin menyelamatkan kita. Demi perbaikan tulisan, dan menjadi muhasabah diri. Agar bisa menggetarkan banyak hati, mendapat pencerahan melalui wasilah tulisan kita nanti.
So, jangan bersedih hati karena datangnya kritik. Jadikan pemantik semangat untuk segera bangkit merubah diri. Mungkin adanya kritik ini akan terus menjadi pengingat diri. Agar kita lebih hati-hati dan bisa jadi merupakan bentuk kasih sayang Allah agar kita tidak lupa diri. InsyaAllah.
Sedangkan untuk menghadapi silent reader. Tentunya kita tak bisa memintanya apalagi memaksanya untuk memberi respon atau jejak diri. Karena dalam dirinya ada keinginan menyembunyikan diri. Tapi jika memungkinkan, sampaikan saja dengan hati-hati. Agar tak menyinggung dan sakit hati. Dalam Islam ada ajaran etika untuk permisi. Saat masuk beranda orang, upayakan mengenalkan diri. Salah satunya meninggalkan jejak yang sangat dihargai.
Atau mungkin ini bentuk kasih sayang Allah lainnya. Agar kita tak saling berbangga. Karena nikmat Allah yang mengalir begitu banyaknya. Setiap tulisan direspon positip dari para pembaca. Jika ada sebagian yang memilih silent reader, mungkin ini sebagai pengendali. Agar kita tidak membanggakan diri, khawatir jadi lupa diri.
Kita berharap saja agar apa yang dibaca para silent reader, kita ikhlas dan meridloi. Semoga banyak ilmu yang bisa mereka pahami, lalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hingga suatu saat ketika hari hisab datang, maka mereka hadir menjadi saksi. Bahwa mereka tahu ilmu dan amal setelah membaca tulisan kita.
MasyaAllah, sebuah surprise yang datang tak dinanti. Mungkin saja bentuk kasih sayang Allah, agar kita tak berbangga diri. Tetapi selalu waspada dan hati-hati. Bahwa setiap aktivitas harus dihadapkan pada Allah Illahi Rabbi.
Maka apapun yang terjadi, syukuri karunia Allah. Adanya jejak atau tidak, jangan menghalangi niat menulis untuk dakwah, menebarkan benih-benih kebenaran Islam. Itu aktivitas dakwah yang tidak boleh berhenti.
Luruskan niat dakwah lillah. Sertakan Allah di setiap prosesnya. Jangan lupa iringi doa dan harapan agar Islam yang kita perjuangkan menang dan kembali memimpin dunia. Semoga atas setiap upaya yang kita niatkan menolong agama Allah, akan berbuah manis pada saatnya. Berupa pahala yang terus mengalir dan ridlo Allah mengijinkan kita menapaki jannah.
Wallahu a'lam bisshawab