#Day25Part3
By : Messy Lena
Baru-baru ini, cukup banyak tanda seseorang yang memiliki pengalaman pendidikan yang bagus, tetapi begitu mudahnya mengikuti aliran keagamaan yang menyimpang. Ajaran-ajaran keagamaan yang sesat pun tidak membuat mereka berpikir kritis dan cerdas. Padahal dengan taraf pendidikan tinggi yang disandang, kesesatan suatu aliran dapat difilter secara pribadi. Menjamurnya pengikut aliran sesat dari orang terpelajar, disebabkan salah satunya karena salah dalam memilih guru.
Akibat salah dalam berguru seseorang yang semula baik pemahaman agamanya menjadi liberal dan sekular. Ketika di pesantren belajar tafsir, fiqih, dan lain-lain. Tetapi begitu masuk perguruan tinggi, disebabkan cara pandangnya yang masih lemah dan tak punya prinsip yang kuat, akhirnya selera belajarnya berbelok. Terlalu kagum dan taqlid buta dengan kajian orientalis. Mereka lalu mengganti tafsir dengan hermeneutik. Toleransi diganti pluralisme. Fiqih diganti dengan paham humanisme. Dan seterusnya.
Syekh Zarnunji dalam Ta’lim Muta’allim menjelaskan, dalam memilih guru sebaiknya guru yang lebih pandai, wara', lebih tua, Ilmu dapat diperoleh dengan enam hal, yaitu: cerdas, tekun, sabar, punya biaya, memperoleh petunjuk guru, dan waktu yang lama.
Imam Malik memperingatkan bahwa ilmu agama tidak boleh diambil dari empat golongan:
1. Orang yang bodoh dan menampakkan kebodohannya.
Perlunya kita selektif dalam memilih guru seperti guru yang cerdas, faqih, beradab dan lain-lain. Bukan belajar kepada guru yang bodoh dan membodohi.
Memilih guru yang bodoh dan membodohi bukannya mendapatkan pelajaran dan hikmah kehidupan. Malah akan menyesatkan kita dari jalan kebenaran. Sedangkan guru tersebut tidak memiliki ilmu, lantas ilmu apa yang akan diajarkan kepada muridnya?
Sebab, orang yang belajar agama, hakekatnya sedang membangun ideologi. Ketika sumber ilmunya orang yang bodoh, akan terbentuk ideologi sesat dari muridnya.
Karena itu, kita terheran ketika seorang doktor alumni Australia dijadikan referensi ilmu agama. Kita terheran, ketika manusia liberal, dijadikan rujukan dan dimintai penjelasan tentang masalah islam. Kita terheran, ketika pembela orang kafir, dijadikan acuan dalam bidang tafsir al-Qur’an.
«إِذَا وُسِدَ الأَمْرُ إلى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»
“Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”. (HR Bukhari)
Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bodoh. Maka tunggulah kehancuran akan datang.
2. Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia.
Menerima kebenaran itu boleh dari siapa saja, tidak memandang usia dan jabatan keilmuan. Kita boleh mengambil ilmu dari anak kecil, asalkan itu adalah benar-benar suatu kebenaran dan dipastikan itu valid.
Untuk apa memiliki guru yang matang dari segi usia dan jabatan keilmuan. Namun, apa yang disampaikan adalah suatu kedustaan. Sungguh, keberadaan guru seperti ini sangat berbahaya ditengah masyarakat.
“Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada perbuatan baik, dan perbuatan baik menunjukkan kepada surga dan sesungguhnya seseorang yang membiasakan jujur ia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan, sesungguhnya dusta menunjukkan kepada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa menunjukkan kepada neraka, dan sesungguhnya seseorang yang biasa berdusta ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari Muslim).
3. Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan menyebarkannya
Sepintar apapun dan seluas apapun pengetahuan seseorang bila tidak memiliki sanad guru, maka dalam Islam keilmuannya tidak sah. Serta tidak pantas diangkat sebagai seorang guru alim. Sebab, ia hanya akan mengikuti hawa nafsunya saja.
Ibnu Mubarok meriwayatkan: Sanad adalah bagian dari agama, seandainya tanpa Isnad seseorang bisa berkata sekehendak hati’. (Muslim, Shahih Muslim, 1/87).
Imam Malik berkata: Jangan mengambil ilmu dari orang ahli bid’ah, serta janganlah menukilnya dari orang yang tak diketahui darimana ia mendapatkannya, dan tidak pula dari siapapun yang dalam perkataannya.
Sanad ilmu menunjukkan pentingnya otoritas dalam ilmu agama. Lebih-lebih Muslim yang masih awam yang tidak memiliki kemampuan menggali dan meneliti suatu persoalan dalam ilmu agama, wajib memiliki guru yang membimbingnya.
Maka perlu memilih guru yang jelas sanadnya agar kita yakin bahwa guru tersebut berbicara menurut llmu, bukan menurut nafsu.
4. Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (tidak faqih)
Perlunya kita selektif dalam memilih guru, yaitu wajib memilih guru yang ahli dalam bidangnya. Sebab, jika segala sesuatu tidak dikembalikan kepada ahlinya bisa berakibat sesat lagi menyesatkan.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS An-Nisa:58)
Para ulama dahulu mengajarkan, sebelum memilih seorang guru, diteliti dahulu kredibilitas, otoritas dan kualitasnya.
Karena itulah, semua mukmin menyadari memilih guru dan mengambil sumber ilmu, akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah. Jika dia jelas menyimpang, membela kekufuran, dan tak faqih dalam bidangnya. Tinggalkan guru seperti itu dan pilih guru yang lebih faqih dalam bidangnya.
Padahal dalam Islam, mencari ilmu dan guru itu harus hati-hati. Ibnu Sirin meriwayatkan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka hati-hatilah kalian dari manakah kalian mengambil agama kalian” (HR Muslim).
Semoga kita Allah jauhkan dari tipe guru yang dikatakan oleh Imam Malik, atau kita tidak termasuk dalam golongan guru yang merugi tersebut.
Yuk! Lebih selektif lagi dalam memilih guru dalam berilmu, apalagi dalam ilmu agama.
BUKITTINGGI, 25 Januari 2020
#kompaknulis
#opey2020bersamarevowriter