Oleh : Ainul Mizan
1 Januari 2020 menjadi awal menapaki tahun yang baru. Mau tidak mau kita harus berani mengucapkan selamat tinggal 2019. Demikianlah, setiap ada pertemuan tentunya dibarengi dengan adanya perpisahan.
Waktu akan terus bergulir. Di taman waktulah akan dipanen kebaikan dan atau keburukan. Orang yang beruntung dan bahagia adalah yang hari ini lebih baik dari kemarin serta yang hari esok lebih baik dari hari ini.
Agar bangsa dan negeri ini di hari esok yakni di tahun 2020 menjadi lebih baik, tentunya harus membuka lembaran jejak rekamnya di tahun 2019. Tujuannya tiada lain untuk melakukan koreksi dan perbaikan.
Di tahun 2019, masih terdapat PR besar yang merupakan catatan buram perjalanan bangsa dan negeri ini. Catatan buram ini begitu membekas dan menjadi noda sejarah. Bencana alam, penegakkan keadilan dan tragedi politik menjadi belenggu.
Bencana alam yang bertubi - tubi terjadi di tahun 2019. Gempa bumi di Lombok, Gempa dan tsunami di Palu dan lainnya. Terjadinya bencana beruntun tersebut menyisakan sebuah tanda tanya besar. Apakah ini teguran atau adzab?
Untuk menjawabnya bisa dengan kacamata teguran atas dosa dan kesalahan. Bisa juga merupakan adzab.
Ada sementara pihak yang menyangkal jika bencana alam itu ada hubungannya dengan kemaksiatan. Dalam hal ini patut kita renungkan bersama ayat al -Qur'an surat Ar Ruum ayat 41 yang artinya: Telah nyata tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan ulah tangan manusia, agar Kami menimpakan pada mereka sebagian dari apa mereka perbuat. Mudah mudah mereka kembali.
Tidak perlu congkak menyatakan bahwa bencana alam yang terjadi hanya gejala alam. Semestinya melakukan koreksi adakah kesalahan dan kemaksiatan dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara?
Teror yang berupa kriminalisasi dan penistaan terhadap ajaran Islam. Khilafah dan jihad masih menjadi primadona untuk dikriminalkan. Padahal keduanya adalah ajaran Islam. Bahkan tidak tanggung - tanggung disebut sebagai paham radikal dan menebar teror. Begitu pula celana cingkrang dan cadar dijadikan sebagai ciri - ciri yang melekat pada orang - orang yang berpaham radikal. Entri poinnya adalah agar umat takut dengan agamanya sendiri.
Di sisi lain, tragedi mewarnai kehidupan politik dan pemerintahan negeri ini. Pemilu 2019 yang telah usai menyisakan air mata dan ganasnya kekuasaan. Meninggalnya sekitar 700 orang petugas KPPS dan kecurangan surat suara menghiasi polemik Pemilu 2019. Walaupun akhirnya diputuskan dan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019 - 2024 yang dijabat oleh Pak Jokowi dan KH Makruf Amien. Gelombang protes besar besaran terhadap keputusan KPU terjadi di bulan Mei 2019. Tidak mengherankan bila disebut Pemilu 2019 merupakan pemilu terburuk selama pelaksanaan pemilu di negeri ini.
Dalam hal pemberantasan korupsi terjadi bergulir upaya revisi UU KPK. Salah satu poin yang dianggap merupakan pelemahan terhadap KPK yakni dengan adanya Dewan Pengawas telah memicu gelombang demonstrasi mahasiswa.
Dan uniknya di penghujung tahun 2019, Indonesia digemparkan dengan skandal megakorupsi Jiwasraya sebesar Rp 13,7 trilyun. Disinyalir kasus korupsi jiwasraya berkaitan dengan pembiayaan pilpres 2019.
Juga yang menjadi PR besar adalah kasus kabut asap yang dipicu korporasi yang rakus, kelompok separatis OPM yang melakukan makar, utang luar negeri yang menumpuk dan 22 juta warga negara yang kelaparan. Kesimpulannya bahwa karut marutnya kehidupan bangsa dan negeri ini di tahun 2019, hampir di semua bidang kehidupan.
Maka memasuki tahun 2020 ini, tidak sekedar menyatakan selamat datang 2020, akan tetapi harus melakukan upaya mencari solusi atas semua persoalan di tahun 2019. Tentunya langkah yang bijaksana adalah dengan menemukan pokok persoalan yang melahirkan karut marut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Asas kehidupan yang bercorak sekulerisme, yakni memisahkan peran agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara, telah melahirkan para penyelenggara negara yang mengabaikan halal dan haram. Bahkan mereka berani menjadikan pancasila sebagai tameng guna menutupi praktek politik oportunis dan kehidupan permisif yang dilakukannya.
Oleh karena itu guna menyudahi karut marut negeri ini, mari bersama - sama kembali kepada falsafah dan nilai luhur bangsa yang mayoritasnya muslim ini. Tentunya mengadopsi aturan kehidupan yang berasal dari Islam merupakan langkah bijak dan benar dalam mengimplementasikan nilai - nilai pancasila.
Kalau masih saja menggunakan asas sekulerisme untuk menterjemahkan pancasila, tentunya hanya akan melahirkan multi paradoks. Lantas apakah liberalisme ekonomi dan budaya itu sesuai dengan pancasila? apakah mengkriminalisasi ajaran Islam itu sesuai dengan pancasila? Apakah memberi ijin kepada korporasi asing untuk mengeruk kekayaan alam indonesia sesuai dengan pancasila?
Akhirnya ucapan Selamat datang 2020 bermakna komitmen bangsa untuk menyudahi karut marut kehidupannya dengan mengambil khasanah aturan kehidupan dari Islam yang dipeluk mayoritas bangsa ini. Bukankah garansi yang diberikan Islam itu sudah sangat jelas. Mengambil aturan Islam dalam mengatur kehidupan artinya mewujudkan rahmat bagi kehidupan bangsa dan negara serta kemanusiaan.
Terbersit sebuah pertanyaan, mengapa harus mengambil aturan hidup dari khasanah Islam? Alasannya adalah tentunya bangsa dan negeri ini tidak ingin jatuh ke dalam lobang yang sama hingga dua kali atau bahkan berkali - kali dengan mengabaikan aturan Islam.
#Penulis tinggal di Malang