Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo
Sering mendengar kalimat sabar subur atau yang sabar disayang Allah? saking tenarnya kata-kata itu sampai gak sadar bahwa sabar itu sebenarnya gak mudah. Sabar itu gak selalu identik dengan orang yang sudah berumur, atau tua.
Seperti pagi ini dalam perjalanan pulang dari antar anak ke sekolah. Di sebuah lampu merah, deretan motor berada paling depan, begitu lampu kuning menyala, beberapa orang langsung tancap gas. Sebagian lagi masih bersabar dan patuh hingga beberapa detik kemudian lampu hijau menyala.
Dalam hati berkata, bukankah tadi itu pelajaran hidup di depan mata. Nyata di contohkan Allah. Baik yang jalan duluan maupun yang jalan sesudah lampu hijau menyala, tetap sama-sama sampai tujuan. Bisa jadi juga sama-sama selamat. Tapi ada nilai plus yang membedakan, sepele tapi luar biasa akibatnya.
Para pendengung demokrasi seringkali berbuat demikian. Apalagi yang berasal dari partai Islam. Mereka seringkali potong jalan dan pragmatis. Yang mereka percaya perubahan bisa diadakan ya melalui pemilu dan parlemen. Kalau sekarang gagal ya nanti pas pemilu pilih pemimpin baru lagi. Parlemen diisi orang Islam lebih banyak lagi.
Begitu terus berulang, dikecewakan berkali-kali selalu tumbuh harapan baru juga berkali-kali. Sementara kelompok lain mengatakan gak bisa kita mengadakan perubahan lewat demokrasi. Sebab landasannya beda. Demokrasi memisahkan agama dari kehidupan. Otomatis ketika menyelesaikan persoalan ya akhirnya pakai aturan manusia. Padahal manusianya berbeda tingkat sabar, intelegensianya dan kesadaran politiknya.
Pendapat nyinyir selanjutnya, kalau nunggu dakwah bakalan lama terjadinya perubahan, padahal rakyat sudah sangat menderita. Makanya kenapa marak upaya-upaya islahiyyah ( perbaikan ) seperti periksa kesehatan gratis, pekan nasi bungkus, sunat massal, santunan anak yatim, pendirian sekolah, rumah sakit, sekolah dan lain-lain. Padahal semua itu peran negara, mengapa kita yang mesti ruwet?
Bisa jadi hasilnya akan sama-sama sampai tujuan. Namun di sisi keberkahan dan keridoan Allah tidak ada. Sebab mereka menempuh jalan perubahan itu melalui demokrasi yang jelas dilaknat Allah SWT. Sudahlah perubahan yang terjadi hanya sebagian kecil, ditambah sikap arogan kita dengan menolak syariat untuk memimpin mendatangkan azab Allah yang lebih besar dari persangkaan kita.
Alangkah bijak jika memilih sabar, menjalani dakwah pencerahan dan pembinaan dengan maksimal dan keiklasan. Sebab seringkali rejeki itu bukan berupa nominal, namun disegerakannya Nasrullah itu juga bagian dari rejeki. Jika kita flashback beberapa tahun sebelum sekarang, dakwah jilbab susah, banyak pelajar yang terpakasa menerima sanksi karena mereka berjilbab ke sekolah. Dengan dakwah kini jilbab menjadi trend muslimah.
Dulu Al Liwa dan Ar Royya tidak dikenal, hanya tersimpan dalam buku-buku fikih atau Sunnah, yang itupun sekarang juga dihapus oleh kemendag. Kini, polisi saja bangga berfoto ria dengan pegang salah satunya, Al Liwa atau Ar Royya. Secara logika manusia gak sampai kepada hari ini efeknya, tapi memang nyata.
Banyak lagi yang jika kita peka, di sekeliling kita menyajikan fakta bahwa perubahan dengan dakwah itu lebih meluas dan lebih diterima. So, bersabar dalam konteks menuju jalan perubahan itu hukumnya wajib. Kita tidak ingin perjalanan penuh onak duri ini ternyata hanya menyisakan api neraka di kehidupan akhirat kita. Nauzubillah. Wallahu a' lam Bish-Showab.
Tags
inspirasi