Oleh: Pahriati, S.Si
(Guru di Tabalong)
Tahun 2019 telah berlalu. Setumpuk masalah masih membayangi langkah Indonesia ke depan. Tak terkecuali di dunia pendidikan. Siapapun pasti merasakan kacaunya pendidikan saat ini.
Tingginya biaya membuat banyak anak putus sekolah. Meski ada program sekolah gratis, kartu pintar, beragam beasiswa, dll. Nyatanya itu belum mampu menjadi solusi jitu. Jika ingin sekolah berkualitas, mau tak mau harus mengeluarkan dana yang besar. Bagi yang tak mampu, harus bersabar dengan fasilitas yang seadanya.
Dari sisi lulusan, kualitas masih sangat rendah. Dalam survei kualitas pendidikan yang dirilis oleh Programme for International Student Assessment (PISA), pada Selasa (3/12) di Paris, menempatkan Indonesia di peringkat ke-72 dari 77 negara. Survei PISA merupakan rujukan dalam menilai kualitas pendidikan di dunia, yang menilai kemampuan membaca, matematika dan sains. (detikNews.com, 6/12/2019)
Belum lagi jika melihat kualitas dari sisi akhlak (perilaku). Degradasi moral generasi muda yang notabene anak sekolah, dari tahun ke tahun terasa semakin parah. Anak-anak hidup dengan bebasnya. Pacaran hingga hamil di luar nikah lalu aborsi. Terjerumus pada narkoba atau dunia prostitusi. Pelaku kriminal. Tak ada rasa hormat terhadap guru, orangtua, dan sesama. Ketagihan game online atau fans maniak para idol. Kelakuan yang membuat hati terasa miris.
Kisah kelam para guru juga masih mewarnai dunia pendidikan. Gaji yang tak seberapa, terutama guru honorer. Tuntutan kerja dan beban administratif. Tekanan dari orangtua siswa. Bahkan menghadapi penganiayaan dari anak didiknya.
Itu hanyalah sekelumit masalah yang membelenggu dunia pendidikan kita. Jika demikian keadaannya, bagaimana mungkin akan tercipta generasi yang cemerlang. Apa yang menjadi penyebabnya? Lalu apa yang mesti kita lakukan? Inilah yang patut kita renungkan.
Jika kita mau memandang lebih jauh, persoalan ini muncul karena pendidikan kita bersandar pada sistem sekuler-kapitalisme. Sistem ini telah mengesampingkan agama dalam pengelolaannya. Tujuan pendidikan diarahkan guna memenuhi kebutuhan pasar kerja dan mendapatkan keuntungan materi semata.
Pasca dilantik sebagai Menteri Pendidikan yang baru, Nadiem Makarim mengatakan akan menciptakan link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Artinya anak didik akan diarahkan agar bisa bersaing di dunia kerja. Ada empat hal yang akan dirombak oleh Nadiem: Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Namun sesungguhnya gebrakan tersebut belum menyentuh akar masalah. Hanya berkutat pada teknis semata.
Nadiem juga mengatakan akan menciptakan pendidikan berbasis kompetensi dan berbasis karakter. Namun karakter yang seperti apa? Ketika anak dididik tanpa landasan akidah yang benar, lalu diberikan kebebasan berpikir dan bertingkah laku, maka yang terjadi generasi justru akan tambah rusak.
Pendidikan kapitalistik ini menciptakan manusia robotik. Hebat secara teknis keterampilan dan penguasaan teknologi, namun miskin adab, bahkan tak punya hati. Akhirnya lahir manusia yang individualis dan rentan stres. Mereka tak peduli dengan orang lain. Bahkan tak segan memangsa teman sendiri demi meraih keuntungan pribadi.
Model pendidikan seperti ini adalah model pendidikan yang diajarkan oleh Barat. Banyak orang terpesona dengan kemajuan Barat dari sisi pembangunan dan teknologi. Tapi luput memperhatikan bobroknya kehidupan di balik semua itu.
Lantas mengapa kita tidak mencoba menengok bagaimana sistem pendidikan dalam Islam. Padahal dunia telah mencatat sejarah kegemilangan Islam. Bahkan Barat berutang besar terhadap dunia Islam dalam upaya mengembangkan teknologinya.
Di masa kekhilafahan Islam, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Terlahir para ilmuwan yang memberikan jasa besar untuk dunia. Ibnu Sina atau yang dikenal dengan Avicenna dikukuhkan sebagai bapak kedokteran. Al-Khawarizmi, penemu angka nol dan penggagas algoritma yang menjadi bagian penting dalam perkembangan internet. Maryam Al-Asturlabi, menciptakan alat Astrolobe yang digunakan untuk navigasi. Dan sederet nama ilmuwan lainnya. Meski kemudian sejarah mereka sebagian telah dikaburkan.
Lantas mengapa di masa itu Islam mampu mencapai puncak kejayaannya? Jawabnya karena Khilafah menjalankan sistem Islam secara sempurna. Sistem pendidikan didukung dengan sistem ekonomi, sosial, hukum, dan pemerintahan yang bersandar pada Islam.
Pendidikan dalam Islam menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Pendidikan ditujukan untuk membentuk manusia yang memiliki kepribadian Islam (memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai dengan Islam). Kurikulum yang diterapkan, baik dari sisi materi maupun metode penyampaiannya serta jenjang pendidikan disesuaikan dengan asas dan tujuan.
Sejak pra sekolah, seorang anak sudah ditanamkan akidah oleh keluarga khususnya orangtua. Begitu pula ketika memasuki dunia pendidikan, akidah tetap harus dikuatkan. Mereka diberi pemahaman berbagai ilmu sesuai jenjang pendidikan. Mereka juga dibekali dengan keterampilan agar mampu survive menghadapi kehidupan.
Jadi, pendidikan tidak semata-mata hanya menciptakan manusia yang siap kerja. Akan tetapi harus dibarengi dengan pembinaan akidah, akhlak, dan pemahaman (tsaqafah) yang benar.
Hal lain yang harus diperhatikan, sarana dan prasarana sekolah disediakan secara gratis oleh negara. Ini tentu harus di-backup oleh sistem ekonomi Islam. Dengan demikian, orang yang menuntut ilmu tidak perlu dipusingkan dengan biaya. Mereka fokus belajar dan mengembangkan inovasi untuk kebaikan bersama.
Sistem seperti itulah yang mampu mewujudkan generasi harapan. Generasi yang akan membangun peradaban gilang gemilang. Tidakkah kita merindukannya? Mari bersama memperjuangkannya. []