Oleh: Aishaa Rahma (Founder Sekolah Bunda Sholihah)
Warga Indonesia siap-siap merogoh kocek lebih dalam untuk menikmati sejumlah layanan di tahun 2020. Sebab, pemerintah telah memutuskan untuk mengerek sejumlah tarif mulai dari cukai rokok, iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, tarif listrik dan juga tarif tol. Berikut daftar kenaikan yang dilansir melalui CNBC Indonesia (Jumat 3/1)
Dimulai dari tarif tol. Layanan transportasi ini mengalami lonjakan harga. Sejumlah ruas tol dipastikan naik pada Januari 2020. Hal itu didasarkan oleh Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan dan Pasal 68 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol. Dalam kedua beleid itu disebutkan evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) berdasarkan tarif lama yang disesuaikan dengan pengaruh inflasi kota tempat tol berada.
Terbaru, PT Lintas Marga Sedaya selaku pengelola Ruas Tol Cikopo-Palimanan yang kini memilki brand name ASTRA Infra Toll Road Cikopo-Palimanan (ASTRA Tol Cikopo-Palimanan) mulai memberlakukan penyesuaian tarif. Hal itu berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 1219/KPTS/M/2019 tanggal 27 Desember 2019 tentang Penyesuaian Tarif Tol Pada Jalan Tol Cikopo-Palimanan. Penyesuaian itu mulai berlaku pada 3 Januari 2020, pukul 00.00 WIB. Berdasarkan rilis LMS yang diterima CNBC Indonesia, untuk golongan I naik menjadi Rp 107.500 dari Rp 102.000. Sedangkan golongan II naik menjadi Rp 177.000 dari Rp 153.000. Setelah ini, tarif sejumlah ruas tol juga akan mengalami kenaikan, misalnya Tol Dalam Kota Jakarta, Belawan-Medan-Tanjung Morawa, Nusa Dua-Ngurah Rai-Benoa, dan Surabaya-Gempol.
Berikutnya rokok. Kenaikan harga rokok berbanding lurus dengan kenaikan tarif cukai. Pemerintah telah resmi menetapkan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 tentang tarif cukai hasil tembakau, keputusan tersebut mulai berlaku tepat 1 Januari 2020. Kenaikan tarif cukai rokok terbesar yakni ada pada jenis rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) yaitu sebesar 29,96%. Untuk cukai rokok jenis Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) naik sebesar 25,42%, Sigaret Kretek Mesin (SKM) 23,49%, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) 12,84%. Hal ini menyedot perhatian di kalangan penjual maupun pembeli. Sebab, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok hingga 35% di tingkat pengecer bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dan melemahkan daya beli masyarakat.
Selanjutnya yang turut terdampak kenaikan harga, yakni iuran BPJS Kesehatan. Mulai dari Penerima Bantuan Iuran (PBI), iuran naik dari Rp 23.000 menjadi Rp 42.000 per jiwa. Besaran iuran ini juga berlaku bagi peserta yang didaftarkan oleh pemda (PBI APBD). Iuran PBI dibayar penuh oleh APBN. Sedangkan peserta didaftarkan oleh pemda dibayar penuh oleh APBD.
Kemudian Pekerja Penerima Upah Pemerintah (PPU-P), yang terdiri dari ASN/TNI/POLRI, semula besaran iuran adalah 5% dari gaji pokok dan tunjangan keluarga, di mana 3% ditanggung oleh pemerintah dan 2% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan. Kebijakan terbaru, besarannya diubah menjadi 5% dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi, dan tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan bagi PNS Daerah, dengan batas sebesar Rp 12 juta, di mana 4% ditanggung oleh pemerintah dan 1% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan. Selanjutnya, Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU-BU), semula 5% dari total upah dengan batas atas upah sebesar Rp 8 juta, di mana 4% ditanggung oleh pemberi kerja dan 1% ditanggung oleh pekerja, diubah menjadi 5% dari total upah dengan batas atas upah sebesar Rp 12 juta, di mana 4% ditanggung oleh pemberi kerja dan 1% ditanggung oleh pekerja. Termasuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU)/Peserta Mandiri, mulai kelas 3 naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per jiwa, kelas 2 naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per jiwa, kelas 1 naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per jiwa.
Tak ketinggalan tarif parkir di Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta turut menaikkan tarif parkir kendaraan bermotor. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan disebut tidak ingin kenaikan tarif parkir ditunda-tunda. Dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 31 Tahun 2017, tarif parkir diatur untuk mobil minimal Rp 3 ribu/jam dan maksimal Rp 12 ribu/jam, sedangkan untuk motor minimal Rp 2 ribu/jam dan maksimal Rp 6 ribu/jam. Nantinya lokasi parkir yang mengalami kenaikan tarif adalah yang dikelola Dishub DKI. Sedangkan untuk lokasi parkir yang dikelola swasta akan dibahas lebih lanjut. Sayangnya Pemprov DKI Jakarta belum menentukan berapa besaran kenaikan tarif parkir tersebut.
Tiket Damri ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta juga mengalami kenaikan tarif. DAMRI berkisar Rp 10.000-15.000 untuk setiap rute. Adapun rute termahal adalah rute Sukabumi-Bandara Soetta yang dipatok Rp 115.000, atau naik dibanding sebelumnya Rp 100.000. Dengan kenaikan tarif, DAMRI mengaku akan meningkatkan pelayanan dan keselamatan dengan menambah fasilitas dan pelayanan seperti AC, Wi-Fi, charging spot, tempat sampah, toilet, bagasi, video music, alat pemecah kaca, serta alat pemadam api ringan (APAR).
Kenaikan harga serentak ini benar-benar menjadi kado pahit awal tahun. Dikala perekonomian lesu, pemerintah justru menambah beban rakyat dengan kebijakan yang sama sekali tak bijak. Belum lagi soal upah buruh yang akan memberlakukan tarif sesuai jam. Hal tersebut mengacu berdasarkan Undang-Undang Omnibus Law, Pemerintah berencana menggodok skema upah per jam untuk mendukung fleksibilitas tenaga kerja. Upah per jam tersebut diberikan bagi tenaga kerja yang berada di bawah ketentuan waktu kerja di Indonesia.
Multi Problem Ekonomi
Tahun 2020 nampaknya bukan tahun yang ramah untuk kantong. Pasalnya, awal tahun ini masyarakat dihadiahi dengan sederet kenaikan harga mulai barang konsumsi, tarif transportasi, hingga layanan kesehatan. Beberapa tarif yang mengalami kenaikan tersebut ditetapkan pada barang dan jasa yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Jika harga-harga naik tentu inflasi tak terelakkan. Walau pemerintah menargetkan inflasi tahun 2020 berada di angka 3,1% dan masih berada di kisaran ideal 3,5% ± 1. Sejauh ini pemerintah mengklaim bahwa tingkat inflasi yang rendah dalam lima tahun ini merupakan bentuk keberhasilan dalam menjaga stabilitas harga dan distribusi. CNBC Indonesia (31/12/2019)
Akan tetapi perlu diperhatikan juga rendahnya inflasi tidak selalu mengindikasikan keberhasilan pemerintah dalam menjaga kestabilan harga. Inflasi yang rendah juga dapat dipicu dari sisi permintaan yang rendah akibat daya beli masyarakat yang juga lemah. Terlepas dari tujuan pemerintah ingin menekan angka perokok di kalangan remaja maupun menyehatkan kembali keuangan BPJS Kesehatan, pemerintah juga perlu menimbang segala risiko yang mungkin terjadi dari kebijakan yang diambil. Pemerintah juga harus mampu meracik kebijakan yang efektif demi mencapai tujuan utama berdirinya bangsa Indonesia yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Namun apa mau dikata, beragam fakta lonjakan harga yang menjadi suguhan rakyat di pembukaan tahun 2020, menggambarkan bahwa berbagai kebijakan pemerintah nyatanya sama sekali tidak menyentuh perbaikan ekonomi. Alih alih solusi, kenaikan harga justru menjadi beban baru bagi rakyat, untuk membayar ganti rugi atas kesalahan para birokrat dalam mengelola negara. Bergesernya perilaku politikus yang tidak dapat membuktikan janji janjinya dan gemar mengumbar statement ini, seolah hilang ingatan dengan pertarungan pemilu yang mengobral jargon manis demi mendongkrak suara rakyat.
Tampaknya mereka lupa, atau sengaja melupakan sumpah dan pengabdian terhadap segenap anak cucu bangsa ini, sehingga tak memiliki kepekaan terhadap jerit dan tangisan rakyat. Bahkan, mereka menutup mata jika ada cukong-cukong pengusaha yang sengaja mencabik-cabik harta rakyat, dengan berbagai persekongkolan yang dibuat seolah demi kesejahteraan rakyat. Itu semua terjadi lantaran mata nurani mereka telah silau oleh upeti dan bingkisan yang telah mereka terima, hingga tak peduli jika rakyat yang menjadi tumbalnya.
Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintahan saat ini, nyatanya tak mampu menurunkan angka pengangguran, yang terjadi malah terus mengalami peningkatan, ditambah derasnya arus migrasi, lemahnya penegakan hukum, serta membengkaknya anggaran anggaran kabinet yang obesitas, justru menunjukkan lemahnya kemampuan para birokrat orde ini dalam mewujudkan ekonomi sejahtera.
Beban hidup yang dirasakan dan ditanggung rakyat kian bertambah, disisi lain kesulitan peluang dalam menambah penghasilan pun tidak ada lapangannya. Kalaulah ada hanya sekedar buruh upah, sebab kenyataannya, jarang rakyat Indonesia menjadi tuan atas tanahnya. Parahnya, di tengah situasi yang memprihatinkan acapkali kita disuguhi kabar berita 'ekonomi kita terus meroket' seolah sebagai oase bagi masyarakat, bahwa ekonomi nasional Indonesia sedang baik baik saja, padahal kenyataannya hanya kamuflase belaka.
Menyelesaikan Masalah Ekonomi dengan Cara Islam
Permasalahan ekonomi yang kian pelik sesungguhnya berpangkal pada buruknya birokrasi dalam mengelola dan mendistribusikan kekayaan negeri. Kesalahan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan saat ini adalah, bahwa upaya perbaikan ekonomi difokuskan hanya melalui pajak, peningkatan produksi, baik produksi total negara maupun pendapatan perkapita, bukan pada masalah distribusinya. Dalam hal ini, sistem ekonomi kapitalis tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah sebab kekayaan negara tidak ditata sebagaimana mestinya.
Akibatnya, pemerintahan yang silih berganti selalu mengarahkan pandangannya pada pertumbuhan produksi serta peningkatan pendapatan rata rata penduduk. Padahal dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya produksi, telah terjadi penumpukan kekayaan hanya pada segelintir orang.
Sedangkan dalam Islam, penyelesaian problematika umat dengan cara yang luarbiasa. Dari sistem ekonomi, negara Islam harus memastikan kegiatan ekonomi baik yang menyangkut produksi, distribusi maupun konsumsi dari barang dan jasa, layanan publik, transportasi, berlangsung sesuai ketentuan syariah. Tidak ada yang saling mendzalimi, sebab Islam telah menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, investasi, mata uang, perpajakan dan sebagainya, yang memungkinkan setiap orang mempunyai akses untuk mendapatkan kekayaan tanpa merugikan atau dirugikan orang lain.
Selain itu, negara juga menggunakan pola distribusi non ekonomi guna mendistribusikan kekayaan kepada pihak-pihak yang secara ekonomi tetap belum mendapatkan kekayaan, melalui instrumen seperti zakat, shodaqoh, hibah dan pemberian negara. Dengan cara ini, pihak yang secara ekonomi tertinggal tidak semakin tersisihkan.
Berbicara sumberdaya alam, sistem ekonomi kapitalis memberikan peluang kepada perusahaan swasta, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk mengambil keuntungan dari sumberdaya alam yang dimiliki sebuah negara melalui pemberian ijin konsesi pertambangan, hak penguasaan hutan, atau hak istimewa lain. Sementara, sumberdaya alam yang sudah dikelola oleh perusahaan negara juga tak luput dari sasaran. Cepat atau lambat semua akan dialihkan juga kepada perusahaan swasta melalui kebijakan privatisasi. Akibatnya, tentu saja hasil sumberdaya alam lebih banyak dinikmati oleh perusahaan swasta, sementara rakyat justru harus menghadapi kesulitan. Efek privatisasi pasti akan terjadi lonjakan harga, hal ini dimanfaatkan oleh perusahaan swasta sebagai jalan meraup untung lebih besar.
Sedangkan Islam menetapkan sumber daya alam khususnya energi sebagai salah satu kekayaan milik umum. Rasulullah Saw bersabda : "umat Islam berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api." (Hr. Ahmad). Sebagai pemilik, maka seluruh rakyat harus bisa menikmati hasil dari sumberdaya alam tersebut. Karena itu, negara wajib mengelola sumberdaya alam dengan sebaik-baiknya, bisa melalui perusahaan milik negara (BUMN), untuk kesejahteraan rakyat. Negara tidak boleh sama sekali menyerahkan aset sumber daya alam kepada pihak swasta. Sebab tindakan ini sama saja dengan menyerahkan sesuatu yang bukan miliknya kepada pihak lain yang tentu akan merugikan sang pemilik, yakni rakyat. Daulah Islam akan memastikan bahwa rakyat bisa mendapatkan keuntungan dari sumber-sumber daya alam miliknya itu, khususnya sumberdaya energi, dengan jalan memberikannya secara gratis atau dengan harga yang terjangkau bagi seluruh warga.
Begitu pula dengan pajak. Dalam sistem kapitalisme, pendapatan utama negara melalui pajak sudah seperti rentenir, negara akan terus berusaha meningkatkan perolehan pajak dengan berbagai upaya. Hasilnya, rakyat makin terbebani. Pajak penghasilan akan menggerogoti gaji dan pendapatan rakyat, pajak penjualan membuat beban belanja berbagai kebutuhan pokok menjadi semakin meningkat, sedangkan pajak atas bahan bakar minyak mencekik pelaku industri dan petani.
Berbeda dengan Islam. Islam memiliki cara tersendiri untuk mengatur pendapatan negara. diantaranya diperoleh dari hasil kepemilikan umum seperti minyak dan gas, dari sektor pertanian seperti 'kharaj', dari sektor industri seperti zakat atas barang dagangan, dll. Dengan demikian khalifah mampu memperoleh pemasukan yang besar. Pada saat yang sama mampu mendorong aktivitas ekonomi yang luar biasa. Mengenai pajak, Islam membebaskan manusia dari beban pajak yang zdalim. Kalaupun ada pajak, itu hanya dipungut dari orang yang masuk kategori kaya dan sifatnya hanya sementara hingga kebutuhan dana tercukupi.
Melalui penerapan sistem ekonomi Islam yang benar dan konsisten, Baitul maal dari Daulah khilafah diyakini akan mampu meraup dana yang besar. Selanjutnya dana tersebut akan dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan, khususnya sektor kewajiban layanan publik atau PSO (Public Service Obligation), yang meliputi sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur (jalan, jembatan, listrik, air, tol, telepon, dan lainnya). Termasuk membiayai industri berat, seperti industri persenjataan, industri baja, dan sebagainya. Demikian pula dengan proyek-proyek besar seperti pembangunan bendungan, dan jaringan telekomunikasi di seluruh negeri, kredit bebas bunga untuk menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat, serta bantuan negara untuk rakyat yang memerlukan. Semua itu akan dapat direalisasikan tanpa melibatkan investasi atau pinjaman asing. Maka, jika Indonesia bersyariah, Insyaallah berkah! Wallahu a'lam.