Resolusi 2020, Islam Kaffah



Oleh: Salsa Farica


Kata resolusi sering kita temukan setiap awal tahun. Yang mana  seseorang akan berjanji untuk melakukan tindakan perbaikan diri yang dilakukan pada hari tahun baru. Mungkin ada beberapa resolusi pada tahun 2019 yang belum terlaksana secara menyeluruh, sehingga berharap di tahun 2020 ini semua bisa terlaksana.

Seperti saat ini, isu dedolarisasi berpotensi menjadi butterfly effect bagi Paman Sam. Mengapa? Karena power concept Amerika Serikat (AS) di lentera geopolitik selama ini, selain mengkedepankan power militer, politik dan power ekonomi secara simultan, juga karena faktor dolar selaku mata uang utama (currency world), terutama semenjak Paman Sam —secara sepihak— keluar dari Bretton World Agreement tahun 1971-an dimana The Fed dapat mencetak dolar tanpa perlu lagi berjamin emas.

Apakah ini berarti, bahwa pasca 1971 banyak beredar dolar bodong atau dolar berseri ganda? Belum ada penelitian soal itu. Dan konsekuensi atas keluarnya AS dari Bretton Woods Agreement, lahirlah rezim petrodollar di Saudi Arabia, misalnya, cuma berbasis transaksi minyak dalam jumlah tertentu, The Fed boleh mencetak dolar semaunya.

Ketika sekarang muncul gerakan ‘buang dolar dan kembali ke emas’ yang digagas Mahathir Mohamad, PM Malaysia dalam KTT Kuala Lumpur (23/12/2019), sepertinya fenomena di atas merupakan isu yang berpotensi melemahkan hegemoni AS selaku superpower.
“Apakah AS akan berpangku tangan dengan bergulirnya isu dedolarisasi? Tentu tidak.

Para think tank Paman Sam, entah itu CIA, atau NSA, Rand Co dan lain-lain niscaya membuat manuver dalam rangka melindungi US dollar. Kenapa? Jika kelak muncul “tsunami dolar,” yakni dolar berbondong–bondong kembali ke negeri asalnya dan menjadi tumpukan kertas tidak berharga, maka inilah titik awal hancurnya AS.

Ilustrasi dalam hal perlidungan AS kepada dolar pernah terjadi pada awal Abad ke-21, yakni ketika Saddam Husein hendak mengganti semua transaksi minyak dan cadangan devisanya ke euro (sebelumnya dolar), seketika Irak diserbu secara terbuka oleh koalisi militer pimpinan Paman Sam berpintu isu (hoax): “Saddam menyimpan senjata pemusnah massal”. Pun demikian tatkala Gaddafi akan menggunakan Dirham sebagai mata uang dan semua transaksi minyak di Libya, ia pun diserbu NATO hingga luluh lantak berpintu isu pelanggaran HAM via Resolusi PBB Nomor 1973/No Fly Zone. Kedua negara tersebut, kini seperti negara tidak bertuan akibat “keberanian” Saddam dan Gaddafi melawan hegemoni superpower.

Pertanyaannya adalah, “Apakah AS akan bersikap sama terhadap kelompok negara yang menggagas gerakan kembali ke emas dan buang dolar, sebagaimana ia bertindak kepada Irak dan Libya dahulu?” Lantas, bagaimana manuver Cina menyikapi isu Uighur yang kian menebal di panggung global?

Tak boleh dipungkiri, rivalitas antara Cina versus AS yang kian meruncing di satu sisi, niscaya akan memanfaatkan isu dedolarisasi
untuk kepentingan nasionalnya.

Di sisi lain, keberanian Mahathir menggulirkan gerakan ‘buang dolar dan kembali ke emas’ pada KTT Kuala Lumpur, disinyalir ada dukungan diam-diam dari Cina. Ini analisa geopolitik berbasis bukti pola (pattern evidence). Dan inilah peperangan senyap antara Cina melawan AS yang berlangsung masif di panggung global. Entah siapa kelak pemenang silent warfare tersebut. Atau pola peperangan berubah menjadi terbuka secara militer. Belum ada hipotesa secara pasti. Tiba-tiba saya teringat statement Bung Karno beberapa tahun lalu, “Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut“.

Dengan maraknya persoalan ditahun 2019 yang tak bisa diselesaikan dengan system hari ini (kapitalisme), kesadaran umat mestinya mengarah pada penyelesaian persoalan dengan Islam.

Penyelesaian dengan solusi Islam tentu bukan hanya berharap pada satu aspek maslahat . Misal, di bidang ekonomi dengan meninggalkan praktik Bancassurance agar tidak terulang kasus jiwasraya, atau melakukan dedolarirasi dan menggunakan dinar agar nilai tukar uang kita stabil. Melainkan solusi Islam harus diambil secara total mulai dari akar hingga daun, dari asas dan seluruh sistemnya.

Secara Imani, kita yakin tegaknya seluruh syariat Allah akan mendatangkan maslahat. Dan secara empiris maupun historis, khilafah adalah system politik yang terbukti mengatasi beragam krisis yang hari ini tak mampu diatasi. Hasil pemberlakuan khilafah adalah kehidupan sejahtera, mulia dan jaya.

Dengan demikian, siapa yang tidak akan rindu untuk segera merasakan  hidup dalam naungan Islam. Semoga dengan memahamkan bahwa sistem Islam dalam institusi negara bisa benar-benar terwujud di tahun 2020 ini. Aamiin.

Wallahua'lam bisshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak