Oleh : Ulfatun Ni'mah S Si
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Masyarakat miskin dan pedagang kecil kembali dibuat ketar-ketir oleh pemerintah, lantaran subsidi LPG 3kg alias gas melon akan dicabut.
Plt. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, nantinya gas melon akan dijual dengan harga normal di toko maupun dipasar. Subsidi diberikan terbatas hanya bagi mereka yang berhak menerima dan terdaftar (Tirto.id, 19/01/2020).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga menjelaskan soal kebijakan pemerintah yang akan mencabut subsidi elpiji 3 kilogram dengan alasan subsidi yang dilakukan saat ini kurang efisien dan tidak tepat sasaran.
Di samping itu, Pemerintah juga berencana membatasi pembelian gas melon menjadi 3 tabung gas perbulan dari hitung-hitungan kebutuhan rakyat miskin. Menurut Djoko jika ada pembelian lebih dari itu, Pemerintah pantas curiga jangan-jangan subsidi salah sasaran.
Iwan (49), pedagang soto di kawasan Sabang, Jakarta Pusat mengaku bakal terbebani dengan perubahan skema subsidi itu. Pasalnya, kebutuhan gas melonnya mencapai 3tabung untuk 2 hari. Dalam seminggu berarti
minimal ada 9 tabung gas yang ia butuhkan. Kalau pembelian tabungnya dibatasi seperti rencana Ditjen Migas, praktis ia akan terpukul kenaikan harga drastis.
Saat ini harga gas kisaran Rp 18-20 ribu per tabung dan bisa membengkak Rp 37-40 ribu per tabung tanpa subsidi. Bila Pemerintah mengatakan salah sasaran, bukankah saat ini kita hidup di alam kapitalisme yang memproduksi mayoritas masyarakat ekonomi ke bawah?
Lantas benarkah pencabutan subsidi LPG yang dibuat semata-mata untuk mengurangi beban APBN? ataukah memang pencabutan subsidi ini hanya untuk kepentingan korporat semata?
Kelangkaan dan mahalnya harga gas sebenarnya merupakan kesalahan dalam pengelolaan energi. Cara pandang neoliberal telah merasuk jiwa penguasa negeri. Walhasil banyak kesalahan dalam pengelolaan energi.
Dalam sistem kapitalis memaksa pemerintah berperan sebagai regulator semata, sementara pengelolaan diserahkan kepada asing, pengelolaan energi diprivatisasi, dan ternyata banyak yang korupsi.
Belum lagi penguasa ikut berambisi meraup keuntungan dari energi. Akhirnya 85% lebih tambang migas dikuasai asing. Sementara lingkungan rusak parah, hutang pun makin bertumpuk, kembali rakyat yang menanggung.
Islam memandang gas sebagai harta milik umum, maka pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara (Khalifah). Bukan diserahkan kepada pengelola asing atau korporasi dengan alasan apapun.
Masyarakat sejatinya adalah pemilik gas dan berhak untuk menikmatinya ( tentu dalam koridor syar'i), menghalangi masyarakat dalam menikmati barang miliknya adalah kezaliman yang besar, yang dipertanggung jawabkan di akhirat.
Sehingga memang diperlukan peran negara untuk mengelolanya.
Hal ini dapat diwujudkan bila sistem Islam diterapkan.
Sistem yang bukan berpandangan bisnis semata dengan rakyatnya, tapi sistem yang memiliki kekuatan untuk mengatur negara yang berani menolak skenario asing, menindak spekulan, membuat tata kota dan perilaku yang tidak boros energi. Sistem ini pula yang mendorong individu bertaqwa untuk tidak rakus dan hemat energi.
Wallahu'alam bish-showab.
Tags
Opini