Prostitusi di Kota Santri

Oleh: Rindoe Arrayah

       Hingga saat ini, prostitusi sepertinya masih menjadi ajang bergengsi dalam meraup pundi-pundi materi. Miris memang. Apalagi kemajuan teknologi semakin mendukung kinerja mereka. Cukup via online pun bisa dilakukan transaksi prostitusi.

Gresik, yang memiliki sebutan sebagai Kota Santri tak luput dari fenomena prostitusi ini. 

Belum lama ini, polisi Gresik membongkar praktik prostitusi berkedok warung kopi. Dalam kasus prostitusi ini polisi mengamankan dua muncikari.

"Kami amankan setelah petugas melakukan patroli dan mendapatkan informasi dari masyarakat terkait adanya praktik tindak pidana prostitusi di sebuah warung kopi. Setelah itu, petugas mengamankan pelaku, saksi dan korban," kata Wakapolres Gresik Kompol Dhyno Indra Setyadi di Mapolres Gresik, Jumat (detiknews, 24/1/2020).

Prostitusi berkedok warung kopi di atas bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, seorang pria pemilik warung di Desa Banyuurip, Kecamatan Kedamean, Kabupaten Gresik, harus berurusan dengan polisi atas kasus prostitusi. Pemilik warung tersebut bernama Pramuji (45). Ia ditangkap pada Rabu (13/1/2020).

Dhyno menyebut, warung yang dikelola Pramuji tidak hanya menyediakan makanan dan minuman. Namun sehari-hari, ia juga menyediakan para pekerja seks komersial (PSK) yang bisa dipesan para pelanggannya (jatimnow.com, 17/1/2020).

Sungguh, menyesakkan dada. Menjelang akhir tahun 2019 kemarin, Gresik dihebohkan dengan kasus prostitusi yang melibatkan pasangan suami istri sebagai penyedia jasa prostitusi online. Ternyata, di awal tahun 2020 kasus prostitusi ini tidak berhenti. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Merajalelanya kasus prostitusi hingga merambah di Kota Santri yang cukup religi, sangat mengiris hati. Hal ini, tak lain dan tak bukan karena buah dari diterapkannya sistem demokrasi yang sangat mengagungkan kebebasan berperilaku. 

Sistem demokrasi sudah nyata rusak sejak dari awal pembentukannya, sehingga tidak mengherankan jika sampai saat ini tidak akan pernah bisa mengantarkan manusia pada kehidupan yang lebih baik.

Islam memandang, prostitusi merupakan salah satu perbuatan zina. Haram hukumnya. 

Allah Ta'ala berfirman dalam Al Qur'an surat Al Isra' ayat 32 yang artinya, "Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk."

Dalam Tafsir Ibnu Katsir juz 5/hal 72 dijelaskan bahwa Allah Ta'ala melarang hamba-Nya untuk mendekati zina, apalagi hingga berbuat zina. Perbuatan zina itu adalah 'fashiyah', yakni termasuk dosa besar dan paling buruknya jalan kemaksiatan.

Begitu juga dalam Tafsir Qurthubi juz 10/hal 253, hal-hal yang dapat menjerumuskan pada perzinaan hukumnya sama, yaitu haram. Zina itu paling buruknya jalan, karena dapat menjerumuskan ke dalam neraka dan termasuk kategori dosa besar.

Islam, sebagai agama yang paripurna dan sempurna memiliki solusi dalam mengatasi maraknya prostitusi. Ada lima jalur yang harus ditempuh.

Jalur pertama, penegakan hukum/sanksi tegas kepada semua pelaku prostitusi, meliputi muncikari atau germo, PSK dan pemakai jasanya.

Jalur kedua, penyediaan lapangan kerja. Faktor kemiskinan yang seringkali dijadikan alasan utama PSK terjun ke lembah prostitusi tidak perlu terjadi bila negara memberikan jaminan kebutuhan hidup setiap anggota masyarakat. Termasuk penyediaan lapangan kerja, terutama bagi kaum laki-laki yang memiliki kewajiban sebagai pencari nafkah utama untuk keluarga. Bukannya dibebankan kepada perempuan.

Selanjutnya jalur ketiga, yaitu pendidikan yang sejalan. Pendidikan bermutu dan bebas biaya akan memberikan bekal kepandaian dan keahlian pada setiap orang agar mampu bekerja dan berkarya dengan cara yang baik dan halal. Pendidikan juga menanamkan nilai dasar tentang benar dan salah serta standar-standar hidup yang boleh dilakukan dan tidak. Sehingga, alasan PSK yang kembali ke tempat prostitusi setelah mendapat pembinaan keterampilan karena lebih sulit mendapat uang dari hasil menjahit dibanding melacur tidak akan terjadi bila ada penanaman kuat tentang standar benar dan salah.

Lalu jalur keempat, yaitu sosial. Pembentukan pembinaan untuk membentuk keluarga harmonis merupakan penyelesaian jalur sosial yang juga harus menjadi perhatian pemerintah. Sangat penting juga pembentukan lingkungan sosial yang tidak permisif terhadap kemaksiatan, sehingga pelaku prostitusi akan mendapat kontrol sosial dari lingkungan setempat.

Terakhir jalur kelima adalah kemauan politik. Penyelesaian prostitusi membutuhkan diterapkannya kebijakan yang didasari syariat Islam. Harus dibuat undang-undang yang tegas untuk mengatur keharaman bisnis apapun yang terkait dengan prostitusi.

Kelima jalur di atas hanya akan bisa tercipta dan terlaksana secara sempurna, jika ada sebuah institusi yang memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam menerapkan syariat Islam, yaitu Khilafah.

Khilafah adalah junnah (perisai) yang bisa membentengi masyarakat dari segala hal yang berbau maksiat.

Wallahu a'lam bishowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak