Penurunan kemiskinan, tak cukup diatas kertas saja!




Oleh: Marvha Mirandha
(Aktivis Mahasiswi)

BUPATI Ponorogo Ipong Muchlissoni memastikan kinerja Pemkab Ponorogo selama empat tahun terakhir membaik. Hal ini terbukti dari penurunan tingkat angka kemiskinan yang cukup signifikan. Pada 2019 ini, angka kemiskinan di Ponorogo sudah beradadi bawah 10 persen. Hal ini diutarakan Bupati Ipong di depan para pejabat Pemkab Ponorogo yang baru saja dilantik dalam Pelantikan dan Pengambilan Sumpah Jabatan Tinggi Pratama, Administrator, Pengawas, dan Fungsional di lingkungan Pemkab Ponorogo, Selasa (31/12/2019). Disebutkannya, indikator utama kinerja Pemkab Ponorogo sudah baik adalah penurunan angka kemiskinan menuju satu digit atau di bawah 10 persen pada 2019 ini. “Pada 2015, angka kemiskinan di Ponorogo mencapai 13,6 persen. 2016 angkanya 12,7 persen. Angka itu terus menurun menjadi 9,38 persen di tahun ini. Itu artinya, apa yang kita upayakan dari semua sektor telah membuahkan hasil,” tuturnya.(Ponorogogo.id)

Jika kita melihat catatan diatas kertas memang sungguh menggembirakan. Angka kemiskinan kian tahun kian turun. Namun fakta dilapangan masih mencengangkan. Pada Maret 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis standar garis kemiskinan masyarakat Indonesia adalah Rp 425.250 per kapita per bulan. Hal tersebut menunjukkan bahwa orang miskin Indonesia memiliki pendapatan sebesar Rp 14.175 (Kompas.com)

Jika kita menelisik secara teliti akan kita dapati bagaimana bisa pendapatan sekitar 15.000 mampu memenuhi dan mencukupi kebutuhan rakyat ditengah naiknya berbagai harga bahan pokok. Jika bahan bahan pokok saja tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan sebesar itu maka kita tentu tak bisa berbicara banyak mengenai kebutuan rakyat yang lain seperti halnya kebutuhan akan pendidikan dan kesehatan yang notabene semua hal itu tidak bisa didapatkan secara gratis.

 Dimana pendidikan dan kesehatan yang bagus dapat diperoleh dengan adanya biaya yang memadai. Lantas benarkah penurunan kemiskinan ini seindah dengan fakta yang terjadi ditengah tengah masyarakat? Lalu, jika ini dijadikan sebagai salah satu prestasi yang senantiasa dibanggakan untuk apakah sebenarnya ini?

Jika ditengah tengah rakyat masih saja belum merasa kebutuhannya terpenuhi. Namun seperti yang kita ketahui pemerintah terus merasa optimis dan menganggap perekonomian kian membaik. Hal ini tentu jauh berbeda jika kita berkaca pada islam. Dalam Islam, kemiskinan tidak dinilai dari besar pengeluaran atau pendapatan, tetapi dari pemenuhan kebutuhan asasiyah (pokok) secara perorangan. Kebutuhan pokok itu mencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak. Bahkan dalam Islam, orang baru dikatakan kaya atau sejahtara jika memiliki kelebihan harta di atas 50 dirham atau setara dengan 148,75 gram perak, atau senilai dengan emas seharga itu, Yang telah digunakan untuk segala kebutuhan. Tentu saja ini berbanding jauh dari fakta yang kita dapati saat ini.
Islam juga menuntaskan masalah kemiskinan dengan cara yang Allah ridhoi. Ada beberapa cara yang dilakukan untuk mengentaskan kemiskinan. Pertama: Secara individual, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Kedua: Secara jama’i (kolektif) Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Dikatakan bahwa setiap muslim adalah bersaudara.

Ketiga: Allah SWT memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok. Dimana kebutuhan pokok dalam islam meliputi sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Dan islam memastikan setiap pemimpin memenuhi kewajibannya terhadap rakyatnya.

Semua itu hanya dapat diwujudkan dengan adanya sistem islam dimana orientasinya adalah keridhoan Allah bukan seperti liberalisme dan kapitalisme yang mengagungkan materi dan kebebasan diatas segalanya. Wall

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak