Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Muslimah Penulis Sidoarjo
Kembali kasus bunuh diri siswa terjadi. Kali ini menimpa seorang siswi berinisial SN (14), tercatat sebagai pelajar dari SMP 147 Ciracas. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menduga persoalan keluarga menjadi pemicu SN melakukan dugaan bunuh diri. Pelajar berusia 14 tahun itu diduga meregang nyawa setelah melompat dari lantai 4 sekolahnya di SMP 147 Ciracas, Jakarta Timur (Merdeka.com, 21/1/2020).
Dugaan masalah keluarga melatarbelakangi SN melakukan aksinya itu terungkap setelah KPAI bertemu pihak SMP 147 Ciracas dan dinas pendidikan pada Senin (20/1) kemarin. Dari pertemuan itu terungkap bahwa orang tua SN sudah bercerai dan dia memilih tinggal bersama ibunya. Sedangkan ibunya baru meninggal dunia.
Demikian keterangan dari Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti.
Dugaan KPAI itu diperkuat dengan jejak digital ditemukan dari media sosial SN. Menurut KPAI, belakangan SN kerap menuliskan kalimat rindu terhadap ibunya. Menurut Retno, SN belum menemukan sosok pengganti ibunya khususnya di lingkungan sekolah.
Sungguh terlampau murah harga sebuah nyawa manusia. Muncul pemahaman hilangnya nyawa adalah harga yang setimpal ketika seseorang menghadapi kesulitan dan menemui jalan buntu tak ada solusi guna mengentaskannya. Ironi!
Sebelumnya telah banyak catatan kasus seorang pelajar yang nekat bunuh diri dari alasan sepele hingga berat seperti dibully ,belum bayar SPP ,menunggak uang sekolah, persoalan karena ancaman komunitas, hingga pada persoalan keluarga. Persoalan terakhir lebih besar prosentasenya menyebabkan seseorang nekat menghabisi nyawanya.
Setiap orang mempunyai persoalan tak terkecuali pelajar , apalagi pelajar di era milenial hari ini ternyata banyak hal yang mengakibatkan munculnya depresi secara periodik dan sistemik. Untuk urusan belajarnya saja sudah menyita waktu menguras pikiran ditambah dengan beratnya kehidupan yang dijalani oleh dirinya berikut keluarganya.
Keluarga hari ini jauh dari kata ideal dimana sebuah rumah adalah tempat kembalinya bagi setiap anggota keluarga seberapa pun banyaknya kegiatan diluar rumah , keluarga tetap menjadi tempat paling favorit untuk menumpahkan segala penat kehidupan sepanjang hari di luar rumah. Namun kini keluarga beralih fungsi, bapak yang terlalu lelah, ibu yang ikut menanggung beban ekonomi, hubungan mereka yang hanya sebatas say hello tak beda dengan suasana terminal.
Belajar hari ini pun menanggung derita yang tak kalah beratnya dibandingkan dengan yang amal lain. Yang terparah adalah dari kurikulum yang terlalu banyak teoritis. Sehingga ada banyak yang harus dipelajari sejak mereka tak hingga kuliah. Yang mayoritas tak relevan dengan kebutuhan hidup mereka. Padahal ketrampilan hidup juga perlu apalagi untuk usia pra baligh dan baligh. masa pubertas adalah masa terkritis bagi seorang anak.
Waktu mereka telah habis untuk mengerjakan pekerjaan sekolah. Sementara porsi belajar agama secara benar dan mendalam terabaikan. Hanya ada dibangku-bangku TPQ atau Diniyah. Sekolah Islampun hanya secara formalitas ada kurikulum agama. Yang dipelajari lebih banyak Islam secara keilmuan. Yang tak banyak menyumbang perubahan pada masyarakat.
Padahal masyarakat adalah kancah kehidupan yang sebenarnya hampir-hampir anak didik kita tak mendapatkan kesempatan untuk terjun ke dalamnya, padahal inilah kelas belajar sesungguhnya. Yang mampu membangun simpati dan kepekaan mereka.
Dimana dapat secara langsung diketahui segala kebutuhan masyarakat menjadi tolok ukur sejahtera atau tidak dan bagaimana negara menyelesaikannya. Faktanya, berbagai kebutuhan itu rakyat sendirilah yang memenuhi. Para kepala keluarga tak hanya bekerja untuk mencari nafkah keluarga sebagaimana disyariatkan dalam Islam. Namun juga menanggung beban apa yang semestinya menjadi kewajiban negara yaitu, jaminan pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Maka tak ayal, anak sebagai bagian dari keluarga dan masyarakat terikut imbasnya. Terutama mereka yang terhalang aksesnya akibat kelemahan akal dan fisik. Terlahir dalam keluarga berantakan, single parent, cacat dan lain sebagainya. Meskipun UUD 1945 mencantumkannya sebagai kewajiban negara dalam pasal-pasalnya namun faktanya, itu bukan menjadi urusan negara.
Negara hadir bukan sebagai pelayan umat namun pelayan korporasi. Mayoritas masyarakat kesulitan mengakses sumber-sumber ekonomi adalah akibat fungsi pelayanan negara beralih menjadi praktik dagang. Rakyat dianggap beban sebab tak menghasilkan keuntungan sebagaimana para investor itu.
Semakin memuncak keadaan demikian, memicu berbagai tindak kriminal, hingga pada titik tertinggi keputus adaan muncul. Beratnya beban hidup, tak mendapatkan dukungan moralitas memadai bahkan agama yang dia anut sekalipun tak mampu menjadi solusi sebab telah dikebiri fungsinya hingga hanya sebagai penuntut ibadah harian seseorang.
Lantas kemana mengadu jika penat hati jika tak dibawa mati? selama sistem yang buruk ini tidak diganti dengan sistem dari Yang Maha Hidup yaitu Allah maka selamanya seakan langit tak terbuka untuk setiap permohonan. Dan Tuhan bisa saja tinggal diantara lipatan lembaran kitab suci. Wallahu a' lam Bish-Showab.
Tags
Opini