Ulfatun Ni'mah SSi
(Pemerhati kebijakan publik)
Pemindahan ibukota menjadi perbincangan hangat sejak beberapa bulan terakhir. Tak hanya menjadi perbincangan dalam negeri, isu ini juga menjadi perhatian investor diluar negeri.
Dalam proyek pembangunan ibukota baru, pemerintah akan banyak melibatkan asing. Kepala ekonom BCA, David Summual di Jakarta melaporkan bahwa untuk pemindahan ibukota, banyak bicara dengan investor luar, ini bisa menjadi pendorong industri misalnya semen dan properti.
Sebagaimana dilansir dalam laman Tempo.co (16/1/2020), Presiden Joko Widodo menjelaskan alasannya menempatkan tiga tokoh asing sebagai dewan pengarah pembangunan ibu kota baru. Tiga orang tersebut adalah Putra Mahkota Abu Dhabi Mohamed bin Zayed (MBZ),
CEO SoftBank Masayoshi Son, dan eks perdana menteri Inggris Tony Blair.
Tiga orang di atas dinilai Jokowi memiliki pengalaman yang baik dibidang pembangunan kota. Keputusan Jokowi membuka kran sangat lebar terhadap asing menunjukkan memang Jokowi tak paham substansi Pertahanan.
Pegiat media sosial Zeing Wei Jian juga menilai Jokowi tidak menguasai bidang pertahanan keamanan, hubungan luar negeri dan ideologi pemerintahan. Konsepnya mentah, hampa, kosong.
Menyerahkan sepenuhnya pengelolaan pembangunan ibukota baru kepada asing (pihak swasta) sama halnya tindakan bunuh diri secara langsung. Sebab pihak swasta sarat kepentingan untuk menguasai seluruh aset yang nantinya akan dibangun di pusat jantung ibukota.
Berbagai skema telah disiapkan swasta guna pembangunan ibukota. Tentunya bila diserahkan kepada swasta, pemerintah perlu memperhatikan pihak swasta mana. Diharapkan bisa menjembatani apa yang diinginkan oleh pemerintah. Alih-alih memberikan kebaikan malah Swasta merugikan negara, Pasalnya dalam hal ini swasta sangat memperhitungkan resiko keuntungan yang akan diperoleh.
Keterlibatan pihak swasta asing akan membahayakan pertahanan dan keamanan negara, bahkan membahayakan kadaulatan negara. Pasalnya, pertahanan negara adalah aspek penting bagi eksistensi entitas sebuah negara. Tanpa pertahanan, negara bisa dikendalikan asing baik secara langsung maupun menggunakan politik proksi.
Sangatlah jelas bila keterlibatan tokoh-tokoh asing dalam pembangunan ibukota baru sebenarnya sudah terlihat dalam beberapa Minggu terakhir, setelah kunjungan Jokowi ke UEA. Di sana, MBZ pun memastikan negaranya sudah menyiapkan dana US$ 22,8 miliar untuk berinvestasi di Indonesia.
Belum lagi nampaknya pemindahan ibukota akan memberikan karpet merah kepada investor asing lebih besar khususnya investor dari China. Dengan kewenangan yang lebih luas tersebut, maka arus investasi China diperkirakan akan semakin masif. Tentu saja bersama para pejabat lainnya yang merangkap sebagai pengusaha, jaringan bisnis mereka akan semakin menggurita.
Kebijakan pemindahan ibukota harus dikaji ulang baik secara akademik dan kebutuhan jangka panjang. Tidak mengganggu siklus kehidupan ekonomi jangka pendek dan panjang, baik sektoral, regional maupun nasional. Sosialisasi dan jajak pendapat dari publik sangat penting.
Tidak hanya untuk koreksi tetapi juga untuk kualitas kebijakan yang dikeluarkan lebih baik. Apakah tepat pemerintah mengeluarkan kebijakan pemindahan ibukota? dan siapa yang diuntungkan dalam hal pemindahan ibukota?
Harusnya yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini bukan memindahkan ibukota negara, tetapi meningkatkan produktivitas kinerja ekonomi dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, dengan perbaikan teknologi dan inovasi sebagai upaya meningkatkan daya saing. Dengan perbaikan berbagai sarana dan prasarana infrastruktur yang mendukung industri manufakturnya.
Disamping itu kebijakan pemindahan ibukota juga perlu dikaji ulang layak atau tidaknya dari aspek ekonomi, dan juga aspek lainnya seperti politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, lingkungan, administrasi, tata kelola dan pemerintahan.
Jangan sampai rakyat atau rumah tangga yang dirugikan, termasuk Pemerintah, karena Pemerintah sebagai representasi rakyat. Jika Pemerintah sebagai public regulator yang dirugikan, tentu kerugian nya akan dirasakan langsung juga oleh masyarakat. Jangan sampai regulasi itu hanya menguntungkan pihak swasta baik dalam maupun luar negeri karena proporsi perannya sangat terbuka.
Indonesia harus memiliki keberanian untuk melepaskan diri dari cengkeraman asing menjadi negara besar yang berdaulat apalagi sudah memiliki modal yang luar biasa, posisi negara strategis, jumlah penduduk muslim mayoritas, kekayaan alam yang terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Sayangnya sebagai sebuah negara, Indonesia belum memiliki keberanian untuk melepaskan diri dari cengkeraman asing melindungi rakyatnya dan memberikan mekanisme penjagaan negara.
Wajar bila hal ini terjadi pada Indonesia, karena selama ini Indonesia belum memiliki kemandirian, Indonesia hanyalah pengekor dan akan berada pada posisi pengekor bila tetap menjadikan kapitalisme sebagai kiblat dalam urusan kenegaraan, politik, ekonomi serta masalah kehidupan lainnya.
Alhasil, tidak ada jalan lain untuk keluar dari krisis ketidakmandiriran dan ketidakpercayaan. Semua ini hanya bisa terjadi jika Indonesia menjadi bagian Khilafah Islamiyah. Sistem itu tak hanya akan menerapkan Islam secara paripurna dan mengembalikan kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Namun juga membendung dan mengusir penjajahan dari negeri ini dan negeri-negeri muslim lainnya. Wallahu a' lam bish-Showab.
Tags
Opini