Oleh : Muslihah Saiful
Melihat hijaunya sawah yang ditanami padi membawa suasana tenang dan tentram. Tahukah anda bahwa padi tidak mungkin berbuah jika tumbuh sendiri tanpa dipelihara? kalaupun berbuah bisa dipastikan tidak optimal tak seperti yang dipelihara dengan penuh upaya.
Coba ingat pernahkah anda melihat padi tumbuh liar tanpa ditanam dan tanpa dipelihara? terus terang saja biarpun saya sejak kecil tumbuh di desa, tak pernah melihat padi tumbuh liar tanpa dipelihara.
Petani betul-betul menjaga agar padi tumbuh dan hasil melimpah. Sawah disiapkan sebelum ditanami padi, jika siap, padi ditanam, dipupuk, disemprot anti hama dan jika tumbuh gulma dicabut agar tidak mengganggu pertumbuhan padi sampai berbuah hingga siap dipanen.
Berbeda dengan rumput. Rumput akan tumbuh dimana saja. Tanpa perlu ditanam asal dibiarkan tak dicabut, rumput akan tumbuh subur. Bahkan di sawah yang ditanami padi, rumput pun tumbuh sendiri.
Demikian pula dengan kebenaran. Kebenaran yang datang dari Sang Pencipta tidak mungkin tumbuh sendiri tanpa ada yang menanam dan memelihara.
Contoh sholat, bagaimana seorang anak bisa dan paham sholat, tentu harus ada yang mengajari, mengingatkan di setiap waktu, sambil ditanamkan aqidah yang shohih padanya. Nah pada saat ia baligh orang tua tidak berpayah-payah memarahi sang anak hanya karena sang anak malas menjalankan sholat.
Apakah anak bisa sholat dengan sendirinya? Tentu tidak. Perlu ada yang mengajari, menanamkan sejak dini, mengapa kita sholat, untuk apa kita sholat dan apa konsekwensinya jika tidak sholat.
Seorang anak jika sekali meninggalkan sholat dibiarkan, akan mencoba mengulanginya di lain hari. Jika orangtua membiarkan anaknya dengan alasan kasihan capek sudah sore baru pulang sekolah. Atau tidak dibangunkan sholat subuh dengan alasan kasihan semalam mengerjakan tugas sekolah hingga larut malam. Maka anak tidak akan merasa berdosa saat meninggalkan sholat.
Demikian juga saat anak melakukan maksiat. Misal tidak menutup aurat saat keluar rumah. Orangtua membiarkan dengan alasan masih kecil, nanti kalau sudah baligh akan sulit membiasakan diri menutup aurat. Apalagi jika orangtua tidak mengingatkan atau memberi informasi akan kewajiban menutup aurat. Artinya membiarkan sang anak tidak menutup aurat meski sudah baligh. Tidak ada informasi, tidak ada teguran tidak ada yang mengingatkan. Ditambah lingkungan yang sama demikian. Apa mungkin anak bisa faham kewajiban?
Itu baru dalam ranah pribadi, apalagi dalam ranah umum tentu aturan harus berperan. Berpacaran misalnya, adalah kemaksiatan kepada Allah yang tidak boleh dibiarkan. "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya (mendekati zina) adalah perbuatan yang menjijikkan" (TQS Al Isra' ayat 32).
Jika pacaran dibiarkan membudaya, dianggap biasa dan tidak berdosa, maka perzinahan juga akan dianggap biasa. Padahal pacaran itu melanggar aturan Alloh dalam surat Al Isra ayat 32.
Sedangkan dalam terjemah Al Quran surat An Nur ayat 2 dinyatakan "Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah ada belas kasihan untuk keduanya yang mencegah kamu menjalankan agama (hukum) Allah. Jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian".
Lalu siapa yang harus menjalankan hukum itu? tentu adalah negara. Karena hukum tak mungkin dilepaskan dari negara. Maka yang mempunyai kewajiban melaksanakan hukum, ya tentu negara. Maka saat negara melakukan pembiaran terhadap orang yang pacaran apalagi berzina, maka berarti negara melakukan kejahatan.
Sudah bisa difahami jika pacaran dibiarkan akan mengakibatkan perzinahan. Saat terjadi perzinahan akan berakibat kehamilan diluar nikah. Banyak kasus anak melakukan pembunuhan terhadap anaknya, bisa dengan aborsi atau bahkan setelah lahir diawali pacaran.Wallahu a'lam Bish-ashowab